Selasa, 12 Agustus 2025

Pilpres 2024

MKMK Nilai Dissenting Opinion Arief Hidayat Tak Langgar Kode Etik: Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman

Dissenting opinion atau pendapat berbeda Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam Putusan 90/PUU-XXI/2023 dinyatakan tak melanggar kode etik.

Editor: Adi Suhendi
Warta Kota/Henry Lopulalan
Hakim Konstitusi Arief Hidayat. 

Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dissenting opinion atau pendapat berbeda Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam Putusan 90/PUU-XXI/2023 dinyatakan tak melanggar kode etik.

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menyatakan hal tersebut, dalam sidang pengucapan putusan terkait laporan dugaan pelanggaran etik dan perilaku hakim untuk Hakim Terlapor Arief Hidayat, di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat.

"Hakim Terlapor tidak terbukti melakukan pelanggaran tehadap kode etik dan perilaku hakim sepanjang terkait pendapat berbeda atau dissenting opinion," tegas Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie, dalam persidangan, Selasa (7/11/2023).

Terkait hal itu, Jimly mengatakan, memang seyogyanya pendapat berbeda membahas kontra argumentasi hukum dari substansi perkara yang termuat pada bagian pertimbangan hukum putusan.

Sehingga, terlihat jelas perbedaan ide gagasan yang dipersoalkan.

Baca juga: Pengamat Yakini Jika MKMK Putus Hakim MK Langgar Etik, Bisa Mendegradasikan Prabowo-Gibran

"Namun, jikalau hakim ingin membahas dari sudut pandang berbeda yang tidak terkait dengan pokok perkara, seperti membahas perspektif prosedural yang berkaitan dengan hukum acara. Hal itu pun tidak bermasalah," ucap Jimly.

"Sebab pada hakikatnya pendapat berbeda seorang hakim merupakan wujud independensi personal dan bagian dari kemerdekaan kekuasaan kehakiman," sambungnya.

Dengan demikian, kata Jimly, dalil Para Pelapor terkait dengan isu dissenting opinion Hakim Arief Hidayat pada Putusan 90/PUU-XXI/2023 tidak beralasan menurut hukum dan harus dikesampingkan.

Baca juga: Bakal Dibacakan Sore Ini, Hasil Putusan MKMK Dikhawatirkan Masuk Angin

Meski demikian, MKMK menyatakan Hakim Konstitusi Arief Hidayat melanggar kode etik karena dianggap merendahkan martabat Mahkamah Konstitusi di ruang publik.

"Hakim Terlapor terbukti melanggar Sapta Karsa Hutama, Prinsip Kepantasan dan Kesopanan sepanjang terkait dengan pernyataan di ruang publik yang merendahkan martabat MK," ucap Jimly, dalam persidangan, Selasa (7/11/2023).

Oleh karena perbuatannya itu, Jimly menegaskan, dijatuhkan sanski berupa teguran tertulis terhadap Hakim Konstitusi Arief Hidayat.

"Menjatuhkan sanksi teguran tertulis," kata Jimly.

Selain itu, Jimly menyampaikan, Hakim Arief Hidayat secara bersama-sama dengan hakim lainnya juga terbukti melakukan pelanggaran terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi menyangkut kebocoran informasi rahasi rapat permusyarawatan hakim (RPH) dan pembiaran praktik benturan kepentingan para hakim konstitusi dalan penanganan perkara.

"Menjatuhkan sanksi teguran secara lisan secara kolektif terhadap Hakim Terlapor dan hakim konstifusi lainnya," ucapnya.

Putusan pelanggaran etik terhadap Hakim Konstitusi Arief Hidayat tercatat melalui Putusan MKMK Nomor 4/MKMK/L/11/2023.

Adapun Para Pelapor yang mengajukan laporan pelanggaran etik terhadap Arief Hidayat, yakni Lembaga Bantuan Hukum Cipta Karya Keadilan, Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia, Advokat Pengawal Konstitusi, Advokat Lisan.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan terkait batas usia capres-cawapres dalam Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum lewat sidang pleno putusan yang digelar di Gedung MK, Jakarta pada Senin (16/10/2023).

Putusan ini terkait gugatan dari mahasiswa yang bernama Almas Tsaqibbirru Re A dengan kuasa hukum Arif Sahudi, Utomo Kurniawan, dkk dengan nomor gugatan 90/PUU-XXI/2023 dibacakan oleh Manahan Sitompul selaku Hakim Anggota.

Pada gugatan ini, pemohon ingin MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah baik di Tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.

"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Anwar Usman, di dalam persidangan, Senin (16/10/2023).

Sehingga Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilu selengkapnya berbunyi:

"Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah."

Namun, putusan tersebut kontroversial. Bahkan, dinilai tidak sah oleh sejumlah pakar, karena adanya dugaan konflik kepentingan antara Ketua MK Anwar Usman dengan keponakannya, yakni putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabumingraka (36).

Terkait hal itu, pemohon perkara 90/PUU-XXI/2023, Almas Tsaqqibbiru, merupakan penggemar dari Gibran, yang juga menjabat Wali Kota Solo.

Adapun putusan tersebut diduga memuluskan langkah Gibran maju sebagai calon wakil presiden (cawapres) pendamping Prabowo Subianto di Pilpres 2024 mendatang.

Imbasnya, saat ini MKMK telah menerima sebanyak 21 laporan terkait dugaan pelanggaran etik dan perilaku hakim terkait putusan tersebut.

MKMK juga telah memeriksa semua pelapor dan para hakim terlapor, hingga putusan terkait dugaan pelanggaran etik itu siap dibacakan, pada Selasa (7/11/2023) sore pukul 16.00 WIB, di Gedung MK, Jakarta Pusat.

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan