Jumat, 22 Agustus 2025

Pilpres 2024

Setelah Mantan Hakim MK & Direktur Eksekutif PVRI, Giliran SETARA Institute Desak Anwar Usman Mundur

SETARA Institute mendesak Anwar Usman mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Hakim MK.

Editor: Dewi Agustina
Tribunnews.com/Ibriza Fasti Ifhami
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman usai menjalani pemeriksaan kedua oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) di gedung MKRI Jakarta Pusat, Jumat (3/11/2023). SETARA Institute mendesak Anwar Usman mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Hakim MK. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - SETARA Institute mendesak Anwar Usman mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Hakim MK.

"Untuk memulihkan marwah mahkamah, SETARA Institute mendesak Anwar Usman mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Hakim MK, sehingga tidak lagi membebani mahkamah," ungkap Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Ismail Hasani dalam keterangannya, Rabu (8/11/2023).

Baca juga: Profil Anwar Usman, Sempat Didesak Mundur dari MK Setelah Nikahi Adik Jokowi

Ismail Hasani mengatakan desakan mundur itu lantaran Anwar Usman telah melakukan pelanggaran berat.

Seperti diketahui Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) telah menjatuhkan putusan atas sembilan hakim konstitusi.

Salah satunya, Anwar Usman divonis melakukan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim kategori berat.

Sanksi untuk Anwar Usman adalah diberhentikan dari Ketua MK dan dilarang mengikuti sidang untuk jenis perkara yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.

Menurut Ismail, putusan MKMK ini tetap kontributif menjaga integritas kelembagaan MK, sekalipun gagal memulihkan kematian demokrasi yang diproduksi melalui Putusan 90/PUU-XXI/2023.

"Putusan MKMK menjadi opium dan obat penawar sesaat atas amarah publik yang kecewa dan marah dengan Putusan 90/PUU-XXI/2023, yang menjadi puncak kejahatan konstitusi (constitutional evil) dan matinya demokrasi di Indonesia," kata dia.

Ismail menilai kemarahan publik bukan hanya soal kandidasi Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Jokowi, yang melaju pesat menjadi calon wakil presiden dengan landasan Putusan 90.

Baca juga: MKMK Larang Anwar Usman Terlibat Sidang Sengketa Hasil Pilpres 2024

Tetapi yang utama justru karena peragaan kekuasaan yang merusak hukum dan konstitusi guna mencapai kehendak dan kekuasaan.

"Demokrasi telah menjelma menjadi vetokrasi, dimana sekelompok orang dan kelompok kepentingan yang sangat terbatas, mengorkestrasi Mahkamah Konstitusi untuk memuluskan Gibran Rakabuming Raka mengikuti kandidasi Pilpres dengan dengan memblokir kehendak demokrasi dan konstitusi," ujarnya.

Menurut Ismail, fakta bahwa Anwar Usman melakukan pelanggaran berat, secara moral dan politik telah menjadi bukti bahwa Putusan 90 bukan diputus Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana irah-irah dalam putusan MK, tetapi demi kepentingan memupuk kuasa.

"Secara moral dan politik, Putusan 90 kehilangan legitimasi," kata dia.

Sementara itu MK hari ini, Rabu (8/11/2023) akan menyidangkan perkara uji materiil syarat Capres dan Cawapres dan juga menyidangkan perkara uji formil atas Putusan 90 yang diajukan Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar.

"Atas nama Konstitusi bisa mengoreksi Putusan 90, meski tidak akan mampu menahan laju Gibran masuk gelanggang Pilpres, karena syarat verifikasi calon presiden dan calon wakil presiden, juga diagendakan akan diumumkan pada hari ini," kata dia.

Mantan Hakim MK dan Direktur PVRI Juga Desak Anwar Usman Mundur

Desakan agar Anwar Usman mundur sebelumnya juga diungkapkan sejumlah mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK).

Maruarar Siahaan, hakim konstitusi periode 2003-2008 mengatakan, harusnya Anwar mengundurkan diri.

Baca juga: Ganjarist Nilai Seharusnya Anwar Usman Mundur atau Diberhentikan Sebagai Hakim MK

"Oleh karena itu barangkali ini agar efektif, kalau di shame culture di mana ada shame culture itu sudah tidak usah saya terjemahkan. Semua orang akan mundur kalau keadaan seperti ini," ujar Maruarar kepada wartawan di kawasan Jakarta Pusat, Selasa (7/11/2023) malam.

Menurutnya, pemecatan itu memang bukan kewenangan MKMK.

"Karena sorry to say, Pak Anwar iparnya presiden. Yang mengeluarkan keputusan pemberhentian nanti ya Pak Presiden," ujar Maruarar.

Adapun tujuh mantan hakim konstitusi melakukan pertemuan tadi malam di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat. 

Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie  di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Selasa (7/11/2023).
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Selasa (7/11/2023). (Tribunnews.com/ Ibriza Fasti Ifhami)

Pertemuan ini sebagai respons dari putusan sidang MKMK yang mencopot Anwar Usman sebagai Ketua MK.

Lima orang hadir secara langsung, yakni: Hamdan Zoelva, Harjono, Achmad Sodiki, Aswanto, dan Maruarar Siahaan.

Sementara dua lainnya hadir secara daring, yakni: Maria Farida Indrati dan I Dewa Gede Palguna.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Public Virtue Research Institute (PVRI) Yansen Dinata juga mendesak agar Anwar Usman mundur.

"Menurut saya, Anwar Usman sebagai pejabat publik dan terbukti bersalah. Tapi malu dan tahu diri sudah menjadi budaya langka di perpolitikan kita, sehingga mundur dari jabatan setelah dinyatakan bersalah boleh jadi tidak terbayang di benak pejabat. Anwar Usman kalau tahu diri, ya lebih baik mundur," ujar Yansen kepada Kompas.com, Selasa (7/11/2023).

Yansen juga menilai bahwa semestinya MKMK memberikan sanksi pemberhentian dengan tidak hormat kepada Anwar Usman karena terbukti melanggar etik berat. 

Dia mengatakan, sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua MK tanpa memberhentikan sebagai Hakim MK dinilai tidak bisa mengembalikan kepercayaan publik.

"Jika membiarkan Anwar Usman tetap di dalam MK, maka sama artinya dengan membolehkan pelaku nepotisme tetap memegang kuasa di ruang konstitusi. Dampak jangka panjangnya, tidak menutup kemungkinan jika MK di kemudian hari bisa digunakan kembali untuk kepentingan oligarki," kata Yansen.

Sebagai informasi, Hakim Konstitusi Anwar Usman dicopot dari jabatannya sebagai Ketua MK.

Hal tersebut ditegaskan dalam putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) terkait laporan dugaan pelanggaran etik mengenai Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.

"Hakim Terlapor terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan," ucap Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie, dalam sidang di gedung MK, Selasa (7/11/2023).

"Menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi kepada Hakim Terlapor," tegas Jimly.

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan