Kamis, 21 Agustus 2025

Pilpres 2024

Sentilan Megawati Dibalas Sindiran TKN Prabowo-Gibran, Pengamat Sebut Kritik Cap Orba Bukan Hal Baru

Kritik Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mendapat sindiran keras dari TPN Prabowo-Gibran

Editor: Adi Suhendi
Tribunnews.com/Fersianus Waku
Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kritik Ketua Umum DPP PDI Perjuangan atau PDIP Megawati Soekarnoputri soal penguasa bertindak seperti zaman orde baru mendapat respons dari istana hingga Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran.

Diketahui kritik Megawati dilontarkan dalam acara Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) relawan Ganjar-Mahfud seluruh Pulau Jawa, Senin (27/11/2023).

Megawati awalnya mengungkapkan penilaiannya terhadap kondisi politik tanah air saat ini.

Menurutnya, saat ini ada keadaan dimana penguasa mulai menekan rakyat.

"Kamu (penguasa) musti liat perundangan bolehkah kamu menekan rakyat mu, boleh kah kamu memberikan apapun juga kepada rakyat mu tanpa melalui perundangan yang ada di RI ini?" kata Megawati.

Lebih lanjut, Megawati mengungkapkan adanya kejengkelan yang dirasakan.

Baca juga: Soal Megawati Wanti-wanti Penguasa Bak Orde Baru, Ini Kata Istana dan TKN Prabowo-Gibran

Sehingga, dirinya turut menyinggung soal kondisi kekeluargaan yang belakangan memang menjadi polemik dalam Pilpres 2024.

"Lalu keluarganya itu sama sih? Engga deh, sorry deh. Emang keluarganya polisi juga engga lah, makan baso juga, Takut atau tidak?" tanya Megawati kepada pada sukarelawan.

"Tidak," jawab relawan.

"Yes gitu dong. Aih mustinya ibu gak boleh ngomong gitu, tapi ibu jengkel," tegas Megawati.

Lebih lanjut, dirinya bahkan sampai menyinggung kalau pemerintahan atau penguasa saat ini merupakan cerminan di masa orde baru.

Baca juga: TKN Prabowo-Gibran Bela Jokowi Sikapi Megawati Sindir Seperti Zaman Orde Baru, Singgung Menteri PDIP

Presiden ke-5 Republik Indonesia itu mengaku merasakan betul kondisi perpolitikan di masa orde baru.

"Republik ini penuh dengan pengorbanan tahu tidak? Kenapa sekarang kalian yang baru berkuasa itu mau bertindak seperti zaman orde baru?" ungkap Megawati.

"Benar tidak? merdeka, merdeka merdeka, menang kita Ganjar-Mahfud satu putaran," tegas Megawati yang diikuti teriakan 'lawan' dari para relawan yang hadir.

Menyikapi kritik Megawati tersebut, Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana mengatakan apa yang diucapkan Megawati merupakan bagian dari demokrasi.

"(Indonesia) Itu negara demokrasi ya. Semua orang bisa berpendapat, membuat penilaian. Saya kira itu cermin negara demokrasi," kata Ari di Kantor Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg), Jakarta Pusat, Selasa (28/11/2023) dilansir dari kompas.com.

Lebih lanjut, Ari tidak ingin berkomentar lebih jauh terkait kritik Megawati tersebut.

Menurut dia, penilaian yang ditujukan kepada pemerintah saat ini merupakan hak Megawati.

"Itu domain Ibu Mega untuk partai politik," kata Ari.

TKN Prabowo-Gibran Berikan Sindiran

Terpisah, Sekretaris TKN Prabowo-Gibran, Nusron Wahid mengatakan Presiden Jokowi tidak mungkin berkuasa dengan gaya zaman orde baru.

Pasalnya, kekuasaan kini terdesentralisasi ke berbagai partai politik.

Nusron pun justru menyinggung tanda-tanda orde baru itu bisa terjadi manakala sentralisasi kekuasaan hanya di tangan satu partai politik.
Ia lantas menyinggung sejumlah menteri yang diduga melakukan mobilisasi.

Nusron pun menyinggung seorang Menpan RB Azwar Anas yang juga merupakan kader PDIP.

Baginya, jika ada kasus mobilisasi ASN, maka tindakan itu hanya bisa dilakukan oleh Azwar Anas.

"Jadi kalau dikatakan mirip orde baru karena ada mobilisasi ASN yang paling bertanggung jawab terhadap mobilisasi ASN yang bisa melakukan itu adalah Menpan RB, jangan Menpan RB nya itu dari, nah saya ga sebut, dari partai tertentu," kata Nusron di Media Center Prabowo-Gibran di Jalan Sriwijaya, Jakarta Selatan, Selasa (28/11/2023).

Mobilisasi yang lain, kata Nusron, adanya potensi mobilisasi tenaga sosial perlindungan sosial seperti pendamping PKH.

"Nah itu juga hanya bisa dilakukan oleh menteri sosial dan Kementerian Sosial juga tersentralisasi oleh partai tertentu," katanya.

Nusron kemudian membahas potensi mobilisasi di tempat lain.

Dia bilang, potensi adanya mobilisasi di lembaga permasyarakatan (lapas) yang juga hanya bisa dilakukan oleh Menkumham Yassona Laoly yang berasal dari kader PDIP.

"Yang bisa dimobilisasi adalah lapas lapas ya kan lapas lapas yang itu juga kita tahu kebetulan menterinya juga datang dari partai tertentu," katanya.

Karena itu, Nusron menuturkan bahwasanya kemungkinan adanya mobilisasi para pendamping desa.

Dia bilang, hal ini hanya bisa dilakukan oleh seorang menteri yang berasal dari PDIP.

"Para pendamping pendamping desa yang bisa mempengaruhi kepala desa pembangunan desa diklaim sama ditakut-takutin kalau nggak ikut nanti nggak akan ke bagian pembangunan desa itu juga dari menterinya dari partai tertentu," katanya.

Terakhir, Nuaron menyatakan satu ciri gaya orde baru adalah intelijen negara dipakai untuk kepentingan memenangkan paslon tertentu.

Dia mengungkit kasus Pj kepala daerah diminta membuat fakta integritas memenangkan Ganjar Pranowo-Mahfud MD oleh BIN.

"Salah satu ciri lagi Orde Baru adalah Intelijen Negara itu dipakai untuk kepentingan menakut-nakutin orang kemudian membuat fakta integritas supaya memenangkan calon tertentu dan saya tahu dan kita semua paham dan itu dilakukan oleh pasangan tertentu bukan oleh Pak Jokowi dan kita juga sama-sama tahu bahwa aparatur aparatur ini juga mempunyai kedekatan dengan pihak-pihak siapa," katanya.

Sementara itu, Dewan Penasihat TPN Ganjar-Mahfud, Yenny Wahid mengatakan setiap kekuasaan memiliki ciri khasnya dan kontribusinya tersendiri bagi pembangunan Indonesia.

Ciri khas ini bahkan sudah ada sejak zaman Presiden pertama RI Soekarno hingga Presiden saat ini, Joko Widodo (Jokowi).

Yenny menyampaikan, Soekarno atau Bung Karno misalnya, memiliki kontribusi besar dalam memimpin Indonesia pada masa transisi dari bangsa terjajah menjadi bangsa yang merdeka.

Presiden kedua, Soeharto, berkontribusi meletakkan dasar-dasar pembangunan ekonomi di Indonesia pada masa kepemimpinannya.

Begitu halnya BJ Habibie yang berkontribusi di bidang teknologi karena kecerdasannya.

Sedangkan Presiden keempat yang juga merupakan ayahnya, Abdurrahman Wahid, berkontribusi dalam meletakkan dasar demokrasi dan membuka Istana untuk seluruh rakyat negeri.

"Ibu Mega membangun pranata-pranata dan institusi-institusi demokrasi dan penegakkan hukum. Pak SBY memastikan bahwa supremasi sipil tetap dipegang teguh, dan militer tidak kembali berpolitik praktis," ucap Yenny.

"Pak Jokowi membangun ekonomi dengan lompatan yang sangat luar biasa, termasuk di dalamnya soal kedaulatan ekonomi dan hilirisasi," imbuhnya.

Hal yang menjadi tantangan, kata Yenny, pemimpin masa depan harus membereskan beberapa permasalahan.

Masalah itu berada di bidang penegakan hukum hingga antikorupsi.

Karena itu, pihaknya memilih Ganjar Pranowo dan Mahfud MD yang salah satu fokusnya adalah di bidang penegakan hukum.

"Itu yang harus menjadi semangat dari pasangan Ganjar-mahfud, penegakkan demokrasi, pemberantasan korupsi, pranata-pranata demokrasi, dan iklim berdemokrasi yang sehat harus tetap dipertahankan di negara kita. Karena ini adalah titipan amanat dari masyarakat," jelas Yenny.

Pengamat Sebut Mulai Sensitif

Peneliti Pusat Riset dan Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor menilai pernyataan Megawati sebagai kritik terhadap pemerintahan Jokowi.

Namun, kata Firman, menyebut cap Orde Baru untuk mengkritik pemerintah bukanlah hal baru.

Ia menyebut fenomena ini telah terjadi pada tahun 2014 dan 2019, saat PDIP menang Pemilu.

"Tahun 2019, 2014, itu kan juga terlontar (cap pemerintah Orde Baru). Pada masa itu, sebagian kalangan juga sudah mengindikasikan bahwa praktik politik yang ada seperti Orde Baru. Jadi ini bukan hal yang betul-betul baru juga," kata Firman dilansir dari kompasTV, Selasa (28/11/2023).

Peneliti BRIN itu menyebut pernyataan soal Orde Baru menunjukkan insekuritas dan puncak kegusaran akibat PDIP dan Jokowi berpisah haluan jelang Pilpres 2024.

"Bisa jadi situasinya berbeda jika kalau memang tetap sejalan antara Pak Jokowi dan Bu Mega. Sekarang, Ibu Mega sebagai bagian dari kekuasaan sudah mulai merasakan praktik yang dirasakan oposisi selama ini," kata Firman.

"Kalau sebelumnya menjadi bagian dari kekuasaan, saat ini saya kira sudah terlepas dari kekuasaan sehingga mulai merasakan dan mulai sensitif, mengalami insekuritas dengan situasi politik yang terjadi," ujarnya. (tribunnews.com/ kompas.com/ kompas.tv)

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan