Pilpres 2024
Keteguhan 2 Hakim MK Dissenting Opinion sejak Putusan Usia Cawapres hingga Sengketa Pilpres 2024
Dua Hakim MK, Saldi Isra dan Arief Hidayat, sudah menyatakan dissenting opinion sejak putusan usia cawapres sampai hasil sengketa Pilpres 2024.
Penulis:
Pravitri Retno Widyastuti
Editor:
Wahyu Gilang Putranto
TRIBUNNEWS.com - Tiga Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan beda pendapat atau dissenting opinion terhadap putusan MK yang menolak gugatan kubu 01, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, dan kubu 03, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, terkait sengketa Pilpres 2024, Senin (22/4/2024).
Mereka adalah Enny Nurbaningsih, Saldi Isra, dan Arief Hidayat.
Diketahui, Saldi dan Arief sebelumnya sempat menyatakan dissenting opinion saat MK mengabulkan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait batas usia capres-cawapres yang diajukan mahasiswa asal Kota Solo, Jawa Tengah, Almas Tsaqibbiru.
Pada pertengahan Oktober 2023 lalu, MK mengabulkan perkara tersebut sebagian.
"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," ucap Ketua MK saat itu, Anwar Usman, dalam sidang putusan, Senin (16/10/2023).
Anwar berpendapat, perkara yang diajukan Almas beralasan menurut hukum untuk sebagian.
MK menyatakan Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD NRI 1945.
Karena itu, lanjut Anwar, MK mengubah isi Pasal 169 huruf (q) UU 7/2017 menjadi, "Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk kepala daerah."
Dalam kesempatan itu, empat hakim MK mengajukan dissenting opinion, yaitu Wahiduddin Adams, Saldi Isra, dan Arief Hidayat, dan Suhartoyo.
Baca selengkapnya soal dissenting opinion putusan batas usia capres-cawapres >>>
Putusan sengketa Pilpres 2024
Bersama Hakim MK Enny Nurbaningsih, Saldi Isra dan Arief Hidayat kembali mengajukan dissenting opinion dalam sidang putusan sengketa Pilpres 2024, Senin (22/4/2024).
Baca juga: Gugatan Ganjar-Mahfud Ditolak MK, Bernasib Sama Seperti Anies-Muhaimin, 3 Hakim Dissenting Opinion
Ketiganya sama-sama mengajukan dissenting opinion terhadap putusan MK yang menolak gugatan kubu 01, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, dan kubu 03, Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
1. Dissenting opinion Saldi Isra

Saat membacakan dissenting opinion miliknya, Saldi Isra menyoroti politisasi bantuan sosial (bansos) dan keterlibatan pejabat negara.
Secara umum, kata Saldi, ia melihat adanya pengelolaan anggaran negara yang berdekatan dengan penyelenggaran pemilu.
Tak hanya itu, Saldi juga memberikan komentar soal penyaluran bansos seiring dengan kunjungan kerja Presiden.
"Berdasarkan pertimbangan hukum dan fakta tersebut, pembagian bansos atau nama lainnya untuk kepentingan elektoral menjadi tidak mungkin untuk dinafikan sama sekali."
"Oleh karena itu, saya mengemban kewajiban moral (moral obligation) untuk mengingatkan guna mengantisipasi dan mencegah terjadinya pengulangan atas keadaan serupa dalam setiap kontestasi pemilu," tutur Saldi, Senin.
"Dengan menyatakan dalil a quo terbukti, maka akan menjadi pesan jelas dan efek kejut (deterrent effect) kepada semua calon kontestan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah bulan November 2024 yang akan datang untuk tidak melakukan hal serupa."
"Dengan demikian, saya berkeyakinan bahwa dalil Pemohon terkait dengan politisasi bansos beralasan menurut hukum," imbuhnya.
Lebih lanjut, Saldi meyakini ada ketidaknetralan dari sebagian Pj kepala daerah, termasuk perngkat daerah, selama pemilu kemarin.
Ia menilai, ketidaknetralan abdi negara membuat pemilu yang diselenggarakan tidak berintegritas.
Baca juga: Anies Tinggalkan Gedung MK usai Kekalahan, Eks Gubernur DKI Beri Pernyataan di Markas AMIN Sore Ini
"Semua ini bermuara pada terselenggaranya pemilu yang tidak beritegritas," jelas Saldi Isra.
Terkait alasan yang disampaikan kubu Anies-Muhaimin mengenai bansos dan netralitas pejabat, Saldi menganggapnya beralasan menurut hukum.
Saldi pun berpendapat MK seharusnya memerintahkan pemungutan suara ulang (PSU) di beberapa daerah.
"Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, dalil pemohon sepanjang berkenaan dengan politisasi bansos dan mobilisasi aparat atau aparatur negara atau penyelenggara negara adalah beralasan menurut hukum."
"Oleh karena itu, demi menjaga integritas penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil, maka seharusnya Mahkamah (Konstitusi) memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang di beberapa daerah sebagaimana disebut dalam pertimbangan hukum di atas," urainya.
Saldi juga sempat menyinggung pemilu di era Orde Baru yang menurutnya memang berjalan sesuai aturan, tapi tetap curang.
Secara empirik, jelasnya, pemilu di era Orde Baru tidak adil lantaran ada faktor keberpihakan pemerintah pada salah satu calon.
"Pemilu di masa Orde Baru pun berjalan memenuhi segala prosedur yang ada, yaitu dilaksanakan dengan memenuhi standar mekanisme yang ditentukan dalam UU Pemilu saat itu," ungkap Saldi.
"Namun, secara empirik, pemilu Orde Baru tetap dinilai curang karena secara substansial pelaksanaan pemilunya berjalan dengan tidak fair."
"Baik karena faktor pemihakan pemerintah pada salah satu kontestan pemilu, maupun karena faktor praktik penyelenggaraan pemilu yang tidak memberi ruang kontestasi yang adil bagi semua kontestan pemilu," jelas dia.
2. Dissenting opinion Arief Hidayat

Sementara itu, Arief Hidayat dalam dissenting opinion-nya, meyakini bahwa rezim Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah berpihak pada satu pasangan Pilpres 2024.
Ia menilai apa yang dilakukan Presiden dan jajarannya terkesan menyuburkan politik dinasti.
"Apa yang dilakukan Presiden seolah mencoba menyuburkan spirit politik dinasti yang dibungkus oleh virus nepotisme sempit dan berpotensi mengancam tata nilai demokrasi ke depan," ungkap Arief, Senin, dikutip dari Kompas.com.
Lebih lanjut, Arif memperjelas bahwa sejak Pilpres 2004 hingga 2019, belum pernah ditemukan keterlibatan pemerintah dalam urusan pilpres.
Baca juga: Gugatan Sengketa Pilpres Kubu 01 dan 03 Ditolak MK, Din Syamsuddin: Innalillahi Wainailihi Rojiun
Tetapi, menurutnya, pada gelaran Pilpres 2024, Presiden dan jajarannya terang-terangan menunjukkan dukungan kepada satu pasangan.
Karena itu, Arief berpendapat MK seharusnya tidak boleh hanya sekedar berhukum melalui pendekatan yang formal-legalistik-dogmatis yang hanya menghasilkan rumusan hukum yang rigid, kaku, dan bersifat prosedural dalam hal mengadili sengketa Pilpres 2024.
Ia menilai MK sepatutnya berhukum secara informal-nonlegalistik-ekstensif yang menghasilkan rumusan hukum yang progresif, solutif, dan substantif tatkala melihat adanya pelanggaran terhadap asas-asas pemilu.
"Pada Pemilihan Presiden/Wakil Presiden 2024, terjadi hiruk pikuk dan kegaduhan disebabkan secara terang-terangan Presiden dan aparaturnya bersikap tak netral bahkan mendukung pasangan calon presiden tertentu."
"Apa yang dilakukan pemerintahan Presiden Jokowi dengan segenap struktur politik kementerian dan lembaga dari tingkat pusat hingga level daerah telah bertindak partisan dan memihak calon pasangan tertentu," ujar Arief.
"Tindakan ini secara jelas telah mencederai sistem keadilan Pemilu (electoral justice) yang termuat tidak hanya di dalam berbagai instrumen hukum internasional, tetapi juga diadopsi di dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang mensyaratkan bahwa penyelenggaraan lemilu harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil."
"Pada titik inilah Pemerintah telah melakukan pelanggaran Pemilu secara terstruktur dan sistematis," lanjutnya.
(Tribunnews.com/Pravitri Retno W/Rizki Sandi Saputra/Ibriza Fasti Ifhami, Kompas.com/Vitorio Mantalean)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.