Jumat, 22 Agustus 2025
Majelis Perwakilan Rakyt Republik Indonesia

Perubahan Iklim dan PPHN untuk Ketahanan Pangan

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menyoroti perubahan iklim dan PPHN untuk ketahanan pangan di Indonesia.

Editor: Content Writer
Doc. MPR
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengatakan potensi menurunnya produktivitas sektor pertanian tanaman pangan akibat perubahan iklim akan menghadirkan tantangan serius bagi masa depan generasi anak-cucu.

Strategi negara-bangsa untuk merespons tantangan itu idealnya mulai dirumuskan dan disepakati sejak sekarang. Dan, demi konsistensi serta ketaatan penyelenggara pemerintahan, kesepakatan atas strategi pembangunan sektor pertanian tanaman pangan itu akan ditetapkan dalam Pokok-pokok Halauan Negara (PPHN).

Karena berfungsi sebagai arah dasar pembangunan nasional, PPHN patut dan wajib memberi penekanan khusus tentang masa depan aspek ketahanan pangan negara-bangsa. Masalah ini perlu mendapat perhatian khusus, karena perubahan iklim dengan segala eksesnya berpotensi melemahkan ketahanan pangan nasional di masa depan.

Para ahli, termasuk Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), sudah membuat penelitian dan perkiraan tentang dampak perubahan iklim terhadap sektor tanaman pangan di dalam negeri.

Penelitian itu mengingatkan semua elemen masyarakat bahwa akan terjadi penurunan produksi tanaman pangan akibat pola musim yang tak menentu. Karena banjir atau durasi kekeringan yang panjang, produksi tanaman pangan di Jawa berpotensi turun sekitar lima (5) persen pada 2025, dan 10 persen pada 2050.

"Maka, PPHN harus menyikapi dan menetapkan masa depan ketahanan pangan nasional sebagai target negara-bangsa, agar semua komponen bangsa peduli. Selain itu, aspek ketahanan pangan nasional di masa depan harus ditetapkan dalam PPHN agar setiap penyelenggaran pemerintahan, baik pusat maupun daerah, taat dan konsisten bekerja mewujudkan ketahanan pangan," ucap pria yang akrab disapa Bamsoet itu dalam Catatan Ketua MPR RI, Senin (11/7/2022).

Lebih lanjut, Dosen Fakultas Hukum, Ilmu Sosial & Ilmu Politik (FHISIP) Universitas Terbuka ini mengatakan ekses perubahan iklim tampak begitu nyata sepanjang dasawarsa terakhir ini.

Ekses itu bahkan dirasakan pada hampir semua aspek kehidupan, dan merata di seluruh dunia. Ditandai oleh naiknya suhu permukaan bumi, perubahan iklim menyebabkan terjadinya kekacauan pola musim.

"Pola musim yang sulit diprediksi tentu saja berdampak signifikan pada sektor pertanian tanaman pangan. Dari aspek kesuburan, daya dukung lahan terus menurun. Hasil penelitian para ahli juga menyebutkan bahwa dari aspek volume, ketersediaan air pun semakin berkurang dengan kualitas yang terus menurun. Gangguan pada sektor pertanian tanaman pangan bertambah dengan munculnya faktor perusak seperti hama wereng batang coklat," jelasnya. 

Sebagaimana dijelaskan para ahli, hama wereng batang coklat merupakan hama tanaman padi. Hama ini tumbuh-kembang pada lingkungan mikroklimat (iklim mikro) yang lembab. Salah satu penyebab Kelembaban lingkungan adalah tingginya curah hujan pada periode kemarau.

Bamsoet mengatakan kecenderungan seperti itu mengakibatkan produktivitas sektor pertanian pun terus menurun dari waktu ke waktu. Bahkan, publik pun tentu sudah pernah menyimak pemberitaan tentang gagal panen yang dialami para petani tanaman pangan di beberapa daerah di dalam negeri. Upaya beradaptasi dengan coba merubah musim tanam pun menjadi tidak mudah karena cuaca yang serba tak menentu itu.

Hancurnya sektor pertanian tanaman pangan akibat perubahan iklim sudah dialami Madagaskar, sebuah negara di Samudra Hindia yang berseberangan dengan pantai timur Benua Afrika. Tahun 2021 lalu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melaporkan bahwa Madagaskar menjadi negara pertama yang mengalami bencana kelaparan akibat perubahan iklim. Durasi kekeringan yang panjang menyebabkan sektor pertanian tanaman pangan di negara itu gagal panen.

Di dalam negeri, informasi tentang petani lokal yang gagal panen akhir-akhir ini pun sudah akrab di telinga sebagian masyarakat, karena contoh kasusnya tidak sedikit dan terjadi di banyak daerah. Misalnya, menjelang akhir 2021, sekitar 578,5 hektar lahan padi di empat daerah di Jambi gagal panen akibat curah hujan tinggi.

Belum lama ini, di Kabupaten Garut, Jawa Barat, ratusan hektar tanaman tomat dan cabai rusak karena tingginya curah hujan. Sudah barang tentu banyak petani gagal panen. Harga cabai yang mahal belakangan ini pun disebabkan banyak petani gagal panen.

Contoh kasus lain yang juga wajib dicermati adalah pengalaman komunitas petani kopi Gayo di Aceh yang mengalami penurunan produktivitas sampai 30 persen akibat perubahan iklim.

Halaman
12
Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan