Pesawat Merpati Jatuh
Jatuh Dua Kali, KPK Diminta Usut Mark Up Pengadaan Merpati MA-60
Direktur Eksekutif Indonesia Development Monitoring Munatsir Mustaman menilai, pengadaan pesawat Merpati tipe MA-60 diduga syarat mark up.
Penulis:
Rachmat Hidayat
Editor:
Ade Mayasanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Indonesia Development Monitoring Munatsir Mustaman menilai, pengadaan pesawat Merpati tipe MA-60 diduga syarat mark up. Pasalnya, satu unit pesawat dihargai 14,3 dollar AS. Padahal, harga normal untuk pesawat MA60 yang baru hanya 11,1 juta dollar AS.
"Mark up ini dilakukan kementerian BUMN, Bappenas dan Departemen keuangan serta departemen Perhubungan," kata Direktur Eksekutif Indonesia Development Monitoring Munatsir Mustaman kepada Tribunnews.com di Jakarta, Sabtu (7/5/2011).
Munatsir menduga, kongkalikong ini melibatkan sebuah perusahaan berinisial PG yang dipimpin M. Perusahaan ini berkantor di bilangan Pluit, Jakarta Utara.
"Untuk memuluskan proyek pengadaan pesawat MA 60 kepada Merpati dengan jaminan pemerintah Indonesia dibantu oleh staf khusus SBY," ungkapnya.
Munatsir menambahkan, keikutsertaan perusahaan PG ini penuh kejanggalan lantaran perusahaan tersebut tidak memiliki pengalaman dalam dunia penerbangan.
"Dengan dua kali kecelakaan pesawat Merpati MA 60 di Kupang dan di Kaimana, diduga mark up dilakukan dalam pengadaan, banyak kompenen pendukung untuk flight safety yang dikurangi," imbuhnya seraya mengemukakan, Direksi Merpati saat ini hanya meneruskan kontrak pengadaan pesawat yang sudah terjadi sejak tahun 2009.
"Segera saja KPK dan Kejaksaan membentuk tim untuk memeriksa dugaan mark up yang dilakukan oleh PT PG ini," urainya.
Untuk diketahui, pesawat Merpati tipe MA-60 berkapasitas 50 orang jatuh di Kaimana, Papua, Sabtu (7/5/2011) siang. Pesawat itu khusus dibeli Merpati untuk transportasi di Indonesia Bagian Timur.
Pesawat MA-60 merupakan buatan Xian Aircraft Industri, China. Pesawat ini berkapasitas penumpang 65 kursi. Merpati mulai mengoperasikannya tahun 2009, dan biasa beroperasi menjangkau 200 kabupaten di Indonesia Timur.
Pesawat terbang itu merupakan pengganti dua armada lama yakni Fokker 27 dan CN-235. Meskipun buatan China, komponen utama MA-60 menggunakan teknologi barat. Sama persis dengan yang digunakan pesawat buatan Italia-Prancis, ATR, serta yang digunakan Bombardier buatan Brasil.
Mesin MA-60 menggunakan Pratt Whitney dari Amerika Serikat. China hanya mendesain bingkai udara yang aslinya dari Antanov. Pengadaan pesawat MA-60 untuk merpati ini dimulai pada saat manajemen merpati di pimpin oleh alm Bambang Bakti. Total untuk pengadaan pesawat MA 60 adalah 15 pesawat dengan nilai 215 juta dollar. Satu unit pesawat dihargai 14,3 dollar AS. Padahal, harga normal untuk pesawat MA60 yang baru hanya 11,1 juta dollar AS.