Terjadi Fenomena Penyimpangan Implementasi DBHCHT
Implementasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) memperlihatkan fenomena penyimpangan. Ini tidak saja
Editor:
Widiyabuana Slay

TRIBUNNEWS.COM - Implementasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) memperlihatkan fenomena penyimpangan. Ini tidak saja terjadi pada tahap implementasi berupa penggelembungan anggaran program, namun juga pada penentuan prioritas sasaran bentuk-bentuk program yang dibuat pemerintah daerah (pemda) setempat.
Hal ini dikemukakan peneliti Indonesia Berdikari, Pradnanda Berbudi, saat memaparkan kesimpulan hasil penelitian tim riset IB di lima sentra tembakau yaitu propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Barat di Jakarta, Selasa (23/7/2013), seperti tertulis dalam rilis yang diterima redaksi Tribunnews.com.
Menurut Nanda, sumber distorsi berawal dari produk perundang-undangan pada tingkat nasional yaitu UU Cukai yang dirumuskan serampangan. “Celakanya ketika ditelisik, sumber distorsi berawal dari UU Cukai yang dirumuskan serampangan,” tegasnya.
Lebih lanjut dijelaskan Nanda, rumusan yang serampangan ini setidaknya dapat dilihat dari tiga hal. Pertama, jika menelisih nomenklatur yang digunakan ialah Dana Bagi Hasil (DBH), namun regulasi yang mengatur DBH-CHT adalah perundang-undangan yang “independen” dari konsepsi perundang-undangan otonomi daerah secara umum.
Kedua, papar Nanda, Undang-Undang No 39 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Perubahan Atas Undang-Undang No 11 Tahun 1995 Tentang Cukai sebagai landasan filosofis dan normatif tata kelola cukai dan eksistensi DBH CHT, ternyata tidak mengamanatkan adanya Peraturan Pemerintah (PP), melainkan langsung melompat pada regulasi di tingkat Kementerian Keuangan.
“Regulasi ini ternyata berdampak membuka celah begitu besar bagi Kementerian Keuangan memberikan tafsiran manasuka (arbitrary),” ujar Nanda.
Dan ketiga, lanjut Nanda, tafsiran manasuka Kemenkeu inilah sumber mula distorsi kebijakan desentralisasi keuangan, baik itu pada tingkat kebijakan maupun implementasi.
“Ini terlihat kasat mata ketika kita bicara tugas pengawasan serta pemberian sanksi terhadap penggunaan cukai tembakau, yaitu ketentuan Peraturan Menteri Keuangan No. 84/PMK.07/2008,” jelasnya.
Nanda mengritik bahwa aturan ini tampak sangat ambigu. Apabila penggunaan DBH CHT mengindikasikan penyimpangan, maka indikasi tersebut akan ditindaklanjuti sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Sayangnya, pemberian sanksi penyalahgunaan ternyata hanya berupa sanksi administratif dan bukan berupa sanksi pidana,” kata Nanda.