Korupsi e KTP
KPK Mengaku Sulit Kembalikan Kerugian Negara Akibat Korupsi KTP Elektronik Rp 2,3 Triliun
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku sulit mengambalikan seluruh uang kerugian negara Rp 2,3 triliun akibat korupsi pengadaan KTP elektronik.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eri Komar Sinaga
TRIBUNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku sulit mengambalikan seluruh uang kerugian negara Rp 2,3 triliun akibat korupsi pengadaan KTP elektronik.
Wakil Ketua KPK La Ode Muhamad Syarif mengatakan tidak mungkin mendapatkan kembali uang yang sudah hilang tersebut seluruhnya.
"Pasti juga hampir mustahil tidak bisa ambil semua. Kalau jumlah barang susutnya sudah banyak," kata Syarif di Jakarta, Kamis (17/11/2016).
Syarif memastikan pihaknya akan terus berusaha agar uang negara Rp 2,3 triliun bisa kembali masuk ke kas negara.
Berkenaan dengan itu, Syarif mengatakan KPK akan menjerat kembali tersangka baru baik dari swasta atau dari unsur pemerintah.
"Memang agak melelahkan karena kasus ini lama, tapi ini intensif. Maka masih memerlukan waktu. Saya bisa pastikan e-KTP tidak bisa selesai tahun ini, Januari pasti akan ada," kata dia.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan Pemerintah telah membayar lunas proyek pengadaan KTP elektronik.
Menurut dia, uang tersebut dibayarkan ke rekening konsorsium pemenang tender.
Alexander Marwata mengatakan pihaknya akan mengikuti aliran uang dari rekening konsorsium.
Hanya saja, Alexander mengingatkan hal tersebut bukan perkara mudah karena banyak transaksi dilakukan secara tunai.
"Ini masih dalam porses siapa-siapa saja yang memperoleh aliran dana itu, ini bukan pekerjaan gampang karena menyangkut ribuan transaksi dan ada transaski tunai," katanya.
Sementara itu, Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan pihaknya telah menjalin bekerja sama dengan pihak Corrupt Practices Investigation Bureau atau Biro Investigasi Korupsi di Singapura.
Kata Agus, KPK akan mengirimkan penyidiknua ke Singapura untuk bertemu CPIB guna menelusuri aliran uang tesebut karena para pelaku diduga berada di Singapura.
"Sehari dua hari lagi ada penyidik kita yang pergi ke sana untuk kemudian (memeriksa saksi) kan ada beberapa orang yang tidak ada di Indonesia," kata Agus Rahardjo saat dihubungi terpisah.