Minggu, 12 Oktober 2025

Kaleidoskop 2016

Beda Pandangan Jokowi-JK dari Partai, Pengampunan Pajak hingga Pilkada

Banyak pihak yang berselisih paham dengan pemerintah, bahkan Presiden RI Joko Widodo dan wakilnya, Jusuf Kalla sempat berbeda pendapat.

Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM/TRIBUNNEWS.COM/Laily Rachev/Setp
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), Memimpin Rapat Terbatas Membahas tentang Dosen Non PNS pada Perguruan Tinggi Negeri Baru di Kantor Presiden, Rabu (06/01/2016) TRIBUNNEWS.COM/Laily Rachev/Setpres 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nurmulia Rekso Purnomo

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tahun 2016 tidak bisa dikatakan sebagai tahun yang tenang bagi pemerintahan.

Sepanjang tahun 2016 ini banyak pihak yang berselisih paham dengan pemerintah, bahkan Presiden RI Joko Widodo dan wakilnya, Jusuf Kalla dalam beberapa kesempatan sempat berbeda pendapat.

1. Golkar
Tahun 2015 diakhiri dengan mundurnya Setya Novanto dari kursi Ketua DPR. Ia lengser setelah ditekan melalui Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), yang merupakan buntut dari kasus "Papa Minta Saham."

Saat itu baik Presiden maupun Wakil Presiden sama-sama menghujat Setya Novanto yang diduga menjual nama Joko Widodo dan Jusuf Kalla untuk minta saham Freeport.

Di awal tahun 2016 setelah Setya Novanto atau yang akrab dipanggil Setnov itu mundur dari kursi Ketua DPR, ia sempat menghilang dari pemberitaan.

Tiba-tiba nama Setnov kembali muncul setelah ia memutuskan untuk maju dalam pemilihan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar.

Kemunculan Setnov tidak membuat Jusuf Kalla yang sempat menjabat sebagai Ketua DPP Partai Golkar itu tinggal diam. Ia sempat melakukan pergerakan untuk mengantisipasi hasil pemilihan.

Di saat yang bersamaan Luhut Binsar Panjaitan, kader Partai Golkar yang saat itu masih menjabat sebagai Menteri Koordinator Politk Hukum dan HAM (Menkopolhukam), juga ikut bergerak.

Namun keduanya berada di posisi yang berbeda. Hal itu sedikit banyaknya dikonfirmasi oleh Presiden dalam sambutannya di Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar yang digelar 14 Mei lalu di Bali, yang dihadiri oleh Presiden, Wakil Presiden dan Menkopolhukam.

"Banyak yang bertanya ke saya, banyak yang juga komplain ke saya, 'Pak Presiden, kenapa Menko Polhukam mengumpulkan DPD-DPD? saya jawab Pak Luhut dulu di Dewan Pertimbangan Partai Golkar, benar enggak?" kata Jokowi.

"Lalu, masyarakat kembali bertanya tentang dukungan yang diberikan JK ke salah satu calon. Selanjutnya lagi tanya ke saya, komplain Pak kenapa Pak Wapres mengumpulkan DPD-DPD? Jawaban saya sama, Pak JK dulu kan Ketum Golkar, kan juga enggak apa-apa," ujarnya.

Dalam perhelatan tersebut Setnov menang dalam pemilihan Ketua Umum DPP Partai Golkar. Setelahnya ia kemudian mengumumkan bahwa partai berlambang pohon beringin itu mengalihkan dukungan ke koalisi pro pemerintah.

Setelah terpilih Setnov menegaskan bahwa Partai Golkar mendukung Joko Widodo pada Pemilihan Presiden 2019 mendatang.

Hubungan Joko Widodo dan Setnov akhirnya membaik, seolah-olah kasus "Papa Minta Saham" tidak pernah terjadi.

Setnov lalu berupaya mengambil kembali kursi Ketua DPR yang pernah ditinggalkannya dengan cara mengundurkan diri.

Pada 22 November ia sempat datang ke Istana untuk makan siang dengan presiden, sembari membahas soal niatnya untuk kembali menjabat ketua DPR.

Setelah pertemuan kepada wartawan ia mengatakan "Saya sudah sampaikan ke Presiden, dan Presiden juga semuanya itu beliau serahkan kepada partai. Beliau tidak ikut campur dan beliau tidak ikut memengaruhi."

Sementara itu reaksi berbeda yang disampaikan oleh Jusuf Kalla.

Sebelum Setnov menyambangi Presiden Wakil Presiden kepada wartawan mengatakan "Kalau diingat Setya Novanto kan yang minta berhenti jadi ketua."

Selain itu Jusuf Kalla yang menyebut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang diajukan Setnov seharusnya tidak bisa dijadikan dasar untuk ia kembali menjabat Ketua DPR.

Pada 30 November Setnov akhirnya kembali dilantik menjadi orang nomor satu di DPR.

2. Archandra Tahar
Di tahun 2016 ini Indonesia sempat digaduhkan soal blok Masela. Hal itu dipicu antara lain oleh konflik antara Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman (Menkomaritim), Rizal Ramli, soal bagaiamana seharusnya blok Masela dikembangkan.

Konnflik tersebut berakhir setelah Presiden memilih untuk ikut saran Rizal Ramli, untuk membangun kilang minyak di darat atau istilahnya onshore.

Konflik tersebut juga berakhir karena baik Sudirman maupun Rizal sama-sama terdepak dari kabinet.

Namun berakhirnya konflik ternyata tidak membuat kegaduhan berakhir. Presiden Joko Widodo menunjuk Arcandra Tahar, ahli perminyakan yang tinggal dan bekerja di Amerika Serikat (AS).

Arcandra Tahar adalah orang yang memberikan masukan kepada pemerintah soal pengembangan blok Masela di darat.

Setelah dilantik baru ketahuan ternyata Arcandra Tahar sempat menerima paspor AS, atau dengan kata lain menerima status kewarganegaraan AS.

Hal itu berarti ia secara tidak langsung sudah melepas statusnya sebagai Warga Negara Indonesia (WNI).

Dengan kata lain saat melantik Arcandra Tahar sebagai Menteri ESDM pada 27 Juli 2016, Presiden telah melantik seorang Warga Negara Asing (WNA), dan hal tersebut bertentangan dengan undang-undang.

Alhasil Arcandra Tahar pun dicopot dari jabatannya setelah 20 hari menjabat sebagai menteri. Untuk sementara jabatan Menteri ESDM diemban oleh Luhut Binsar Panjaitan yang sudah berstatus Menko Maritim.

Istana mengakui kesalahannya dalam melantik Arcandra Tahar, dan setelahnya pria berdarah Minang itu kembali dirangkul, dengan diberi jabatan Wakil Menteri ESDM.

Soal Arcandra Tahar Jusuf Kalla dengan enteng mengaku "Saya baru kenal kemarin, tapi orangnya baik."

Selain itu Jusuf Kalla mengaku telah terjadi kesalahan dalam penunjukan Arcandra Tahar dengan mengatakan "Bahwa dibutuhkan penyesuaian administrasi iya. Mungkin kemarin terlalu cepat sehingga penyelesaian administrasinya perlu diperbaiki."

3. Pengampunan Pajak
Kebijakan kontroversial Joko Widodo di tahun 2016 ini salah satunya adalah soal pengampunan pajak, atau tax amnesty.

Kebijakan tersebut mengakomodir para pengemplang pajak untuk meminta pengampunan dari pemerintah, setelah membayar sejumlah uang yang jumlahnya di bawah kewajiban sang pengemplang.

Kebinyakan tersebut sempat dipandang miring oleh sejumlah pihak.

Jusuf Kalla sempat berkomentar miring tentang kebijakan tersebut, yakni tentang target dari kebijakan pengampunan pajak yang mencapai Rp 165 triliun, yang diagendakan akan dicapai setelah tiga tahap pada 2017 mendatang.

Jusuf Kalla mengatakan "Yang salah bukan tax amnesty-nya, tapi penetapan targetnya yang keliru."

Ternyata pernyataan Jusuf Kalla tidak tepat, di akhir tahap pertama uang yang dikumpulkan sudah lebih dari Rp 100 triliun, atau lebih dari 50 persen target yang ditetapkan.

4. Pilkada
Siapa yang didukung oleh Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017, hal tersebut belum pernah dikonfirmasi secara langsung oleh keduanya.

Namun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang menaungi Joko Widodo atau yang dipanggil Jokowi, dan Partai Golkar yang menaungi Jusuf Kalla atau JK, mendukung petahana, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Sang petahana adalah Wakil Jokowi saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, dan keduanya dikenal dekat.

Bahkan saat umat Islam bereaksi atas ucapan Ahok terkait surat Al Maidah ayat 51, Jokowi mau untuk turun tangan menemui sejumlah pimpinan TNI dan ulama, demi meredakan situasi.

Sedangkan hubungan Ahok dengan Jusuf Kalla dapat dikatakan tidak selalu mulus. Ahok masuk Partai Golkar di masa kepemimpinan JK, dan didukung oleh JK untuk ikut Pemilihan Legislatif (Pileg).

Namun menjelang Pilkada 2012, Ahok memilih untuk kelluar dan bergabung ke Partai Gerindra.

Jusuf Kalla juga merupakan orang yang ikut mengkritik Ahok karena mengeluarkan kata-kata kasar di muka umum.

Pada Maret 2015 lalu JK sempat mengundang Ahok ke Kantor Wakil Presiden terkait perkataan kotor Ahok saat diwawancara sebagai Gubernur DKI Jakarta di KompasTV.

Tak hanya itu, Jusuf Kalla juga sempa mengkritik Ahok terkait pernyataannya soal surat Al Maidah pada akhir September lalu.

Apakah Jusuf Kalla yang mengantongi KTP DKI Jakarta itu mencoblos Ahok pada 15 Februari mendatang, hal itu belum pernah di klarifikasi olehnya.

Namun ipar Jusuf Kalla, Aksa Mahmud, yang selalu mendukung JK untuk urusan politik, beberapa kali muncul di lokasi kampanye Anies-Sandi. (nurmulia rekso)

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved