Korupsi KTP Elektronik
14 Nama jadi Amunisi KPK
Chairul Imam berharap KPK berani membuka 14 nama yang sudah mengembalikan uang terkait proyek e-KTP.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah pihak yang disebut dalam dakwaan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima uang dari korupsi proyek e-KTP, membantah terlibat dikaitkan dalam kasus tersebut.
Mantan Direktur Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan Agung, Chairul Imam menganggap, bantahan dari pihak yang diduga terlibat, hal yang lumrah.
"Yang selalu langsung mengakui dakwaan jaksa itu hanya maling jemuran," kata Chairul saat diskusi "Perang Politik E-KTP" di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (18/3/2017) kemarin.
Diungkapkan Chairul Imam, makin tinggi jabatan, semakin canggih tingkat kejahatan yang dilakukan maka kecenderungan pelaku tidak akan mau mengakuinya.
Bahkan ada pula pelaku yang berani melapor ke polisi saat namanya dicantumkan.
Ia kemudian berharap KPK, berani membuka 14 nama yang sudah mengembalikan uang terkait proyek e-KTP.
Seharusnya nama-nama itu segera diproses dan dijadikan tersangka oleh penyidik KPK.
"Mereka yang kembalikan uang negara, sesuai Undang-undang kan tidak akan menghapus sikap pidana dari pelaku. Orang yang mengembalikan berarti kan pengakuan dia. Dia menerima berarti, ya sudah tersangkakan," tegasnya.
Dikonfirmasi soal nama anggota DPR RI yang mengembalikan uang tidak dibeberkan dalam dakwaaan, menurut Chairul Imam memang tidak lazim.
Namun di sisi lain, bisa saja KPK menyembunyikan nama-nama itu untuk dijadikan amunisi dalam persidangan demi menjerat pelaku yang lain.
"Nama mereka yang menerima uang tidak disebutkan di dakwaan menurut saya itu tidak lazim. Sebaiknya dibuka saja tapi bisa jadi ini strategi KPK. Kita tidak tahu," tambahnya.
Sementara itu, pernyataan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo di Istana Negara beberapa waktu lalu terkait dugaan kasus korupsi e-KTP, disayangkan.
Salah seorang peneliti ICW Agus Sunaryanto menganggap, seharusnya pimpinan KPK menjaga bicara dan menyerahkan sepenuhnya pada juru bicara yang sudah memiliki strategis khusus menyampaikan kasus korupsi e-KTP.
"Pimpinan itu harusnya jaga bicara, serahkan saja pada Jubir. Dia pasti punya strategi khusus. Ini belum apa-apa pimpinan sudah mau mengalihkan dengan menyatakan ada kasus besar yang lain," saran Agus.
Pengamat Politik dari Indo Barometer Muhammad Qodari kemudian mengingatkan, citra KPK akan rusak apabila timbul pernyataan genit dari pimpinan KPK.
"Kerja KPK bisa rusak kalau timbul pernyataan-pernyataan genit dari pimpinan KPK. Saat ini pernyataan itu sudah mulai muncul," ungkap M Qodari.
Agus Sunaryanto mengingatkan kembali agar KPK tidak melibatkan diri dalam kepentingan politik. Persoalan korupsi e-KTP tidak hanya merugikan negara dalam jumlah besar.
Namun kasus tersebut juga melibatkan berbagai nama elite politik yang beberapa di antaranya masih menjadi pimpinan DPR, anggota DPR, serta ketua umum partai.
Baca: Polisi Belum Mau Ungkap Nama Tersangka Kasus Pungli di Samarinda
"KPK jangan berusaha menceburkan diri dalam politik. Karena tidak berpolitik saja, KPK akan mendapat serangan politik," ujar Agus.
Untuk itu, sikap kehati-hatian KPK dalam bertindak sangat diperlukan dengan tetap menjaga, fokus pada wilayah hukum. Dengan demikian, KPK akan tetap mendapat dukungan masyarakat.
Dua hari lalu, Serikat Karyawan Perum Percetakan Indonesia (PNRI) menyatakan dukungan kepada KPK dalam mengungkap kasus dugaan korupsi e-KTP ini.
Ketua umum Serikat Karyawan PNRI Anggraini Mutiasari di Gedung KPK menyatakan karyawan merasa dirugikan dengan adanya pengerjaan proyek e-KTP.
Menurut Anggraini, sejak tahun 2014 hingga 2016, karyawan tidak lagi mendapatkan jasa produksi.
"Kami sampaikan kepada KPK untuk mengusut tuntas segala yang merugikan negara, maupun khususnya di Perum Percetakan negara RI untuk segera dapat diselesaikan," katanya.
"Setiap akhir tahun kami peroleh jasa produksi kesejahteraan, tetapi sejak 2014 sampai 2016, pasca pengerjaan e-KTP kami tidak lagi dapat jasa produksi. Kesejahteraan menurun," ucap Anggraini.
Dalam kesempatan itu, Anggraini juga menyerahkan bukti kejanggalan laporan keuangan kepada KPK. Dalam surat dakwaan, PNRI mendapatkan pembayaran Rp 1,6 triliun.
Namun terjadi selisih setelah dilakukan pemeriksaan dengan laporan keuangan.
"Ada selisih sekitar Rp 1,3 triliun. Perum PNRI merasa tidak menerima dan tidak ada laporannya itu. Yang di data, di laporan keuangan yang sudah diaudit," ujar Anggraini.
Saat ini, proses persidangan telah masuk pada tahap pemeriksaan saksi terdakwa dua terdakwa mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Sugiharto, dan mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Irman. (tribun/ther/kcm)