KPK Anggap Banyak Perdebatan Dalam Menerapkan Pidana Korporasi di Korupsi e-KTP
Banyak pihak menunggu penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menerapkan pidana korporasi pada kasus megakorupsi e-KTP.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Banyak pihak menunggu penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menerapkan pidana korporasi pada kasus megakorupsi e-KTP.
Desakan penerapan pidana korporasi juga datang dari Indonesia Corruption Watch (ICW), bahkan ICW juga meminta UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) diterapkan.
Menurut Peneliti Investigasi ICW, Tama S Langkun, secara formil tidak ada lagi perdebatan penerapan pidana korporasi karena sudah ada surat edaran dari Mahkamah Agung (MA) yang menjelaskan korporasi bisa dipidana.
Menyikapi hal itu, Wakil Pimpinan KPK, Laode M Syarif menjelaskan untuk penerapan pidana korporasi menurutnya masih banyak menuai perdebatan.
"Untuk pidana korporasi, saya pikir masih banyak perdebatan soal apakah partai politik itu dianggap korporasi atau bukan. Jadi saya pikir nggak mungkin kami melakukan pendekatan mempersamakan korporasi dengan partai politik. Jadi ini hanya individual," tutur Laode M Syarif, Selasa (4/4/2017).
Laode M Syarif menambahkan sampai saat ini tidak mungkin menyentuh partai politik tetapi pasti akan memperhatikan orang-orang yang terlibat jika ada bukti yang substansial mengenai keterlibatan mereka.