Baasyir Bebas
Abu Bakar Baasyir Dibebaskan Jokowi, Terpidana Mati juga Ingin Dibebaskan
Direktur LBH Masyarakat, Ricky Gunawan mengindikasikan ada unsur politik atas rencana pemerintah membebaskan terpidana terorisme, Abu Bakar Baasyir
Editor:
Yulis Sulistyawan
Terdapat 51 orang dengan masa tunggu lebih dari 10 tahun tanpa kejelasan yang mempengaruhi kondisi psikologis.
Bahkan 21 orang di antara telah masuk ke dalam daftar tunggu pidana mati lebih dari 15 tahun.

Selain itu, pemberian amnesti kepada Baiq Nuril dan Meiliana, mereka yang dinilai mengalami kriminalisasi. Baiq Nuril, korban kekerasan seksual yang dikriminalisasi dengan UU ITE dan harus berada di bawah bayang-bayang pidana 6 bulan penjara.
Sedangkan, kasus Meliana juga harus diperhatikan oleh presiden, lagi-lagi pasal tentang penodaan agama menyerang kelompok agama minoritas.
Baca: Fadli Zon Nilai Pembebasan Abu Bakar Baasyir Manuver Politik Jokowi Raih Simpati Umat Islam
Hal ini terjadi karena praktik penegakkan hukum yang diskriminatif dalam Pasal 156a KUHP.
"Presiden dengan nilai kemanusiaan yang dianutnya harus juga menginisiasi untuk dilakukan perubahan terhadap rumusan pasal karet tentang penodaan agama yang diskriminatif terhadap kelompok minoritas agama," kata Anggara.
Terakhir, presiden harus secara seksama mempertimbangkan grasi.

Khusus untuk terpidana mati kasus narkotika, Presiden Joko Widodo telah secara jelas menyatakan akan menolak seluruh permohonan grasi yang diajukan.
Berdasarkan catatan ICJR pada 2016 dan 2017, presiden menolak seluruh permohonan grasi untuk terpidana mati kasus narkotika, berdasarkan Putusan MK No. 56/PUU-XIII/2015.
Melalui putusan itu, dia menjelaskan, MK mengisyaratkan dalam hal mengeluarkan Keputusan Presiden mengenai grasi, Presiden terikat pada ketentuan Pasal 11 ayat (1) UU Grasi.
Baca: Baasyir Bebas, Jubir BPN : Publik Bisa Menilai Ada Kaitannya dengan Politik
Pasal ini telah jelas memerintahkan pertimbangan yang diberikan presiden adalah pertimbangan yang layak, dengan melakukan pemeriksaan secara mendalam, tidak secara buta menolak permohonan kasus tertent secara umum.
"Secara filosofis, grasi memang lebih bersifat kemanusiaan karena merupakan bentuk belas kasih atau pengampunan yang diberikan kepala negara kepada seorang terpidana," kata Anggara.

Sehingga pertimbangan pada faktor kemanusiaan yang sangat bersifat individual dan subjektif harus dilakukan, tidak dapat diletakkan dalam konsep pukul rata seperti pada terpidana khusus kasus narkotika yang diterapkan presiden.
Anggara menambahkan, dalam kasus terpidana mati perempuan kasus narkotika jelas, perempuan kerap menjadi korban perdagangan orang lewat penipuan dan penyalahgunaan relasi kuasa sindikat narkotika.
"Harusnya Presiden memperhatikan aspek ini," tambahnya.
Baca: 4 Fakta Terbaru Abu Bakar Baasyir Bebas, Tuai Protes hingga Isu Politik dan Kata Maruf Amin
Apresiasi dari MUI