Teror Bom di Sri Lanka Mirip Pengebom Hotel JW Marriot dan Ritz-Carlton Jakarta 10 Tahun Lalu
Mirip dengan tragedi bom di JW Marriot, salah satu pengebom bunuh diri di Sri Lanka sempat check-in ke hotel bintang lima dan mengantre untuk sarapan.
Editor:
Dewi Agustina
Total ada delapan ledakan dalam teror bom di Sri Lanka, diawali enam ledakan di tiga gereja dan tiga hotel, kemudian dua ledakan di hotel dekat kebun binatang dan sebuah rumah.
Lolos dari Maut
Sementara Kieran Arasaratnam lolos dari maut.

Andai saja dia tidak kembali ke kamarnya, Arasaratnam bakal menjadi salah satu korban tewas ledakan bom yang terjadi di Sri Lanka Minggu.
Arasaratnam, seorang profesor di Imperial College London Business School, tengah menginap di Hotel Shangri-La yang menjadi salah satu lokasi serangan.
Kepada BBC dan Daily Mirror, Arasaratnam mengungkapkan dia kembali ke Sri Lanka sejak terakhir kali dia bertolak ke Inggris dengan status pengungsi 30 tahun silam.
Dia kembali demi membantu peluncuran sebuah lembaga sosial setempat.
Arasaratnam mengaku dia tengah berada di kamar ketika mendengar suara seperti "guntur".
Arasaratnam mengatakan dia bakal terkena ledakan jika saja memutuskan menunda sarapan dan kembali ke kamar karena ada barangnya yang saat itu tertinggal.

Profesor berusia 41 tahun itu awalnya meninggalkan kamar sekitar pukul 08.45 dan turun untuk sarapan.
"Namun, sesuatu mengganjal di pikiran saya," ucapnya.
Ternyata, dia lupa mengambil kartu debitnya. Jadi, dia kembali ke kamar untuk mengambil dompetnya, membuka gorden, dan membalikkan tanda "Jangan Diganggu".
Saat itulah dia mendengar suara ledakan yang keras.
Arasaratnam bergegas turun ke bawah melalui tangga darurat ketika mencium "bau darah di mana-mana".
"Segalanya sangat kacau. Semua orang berada dalam mode panik. Saya melihat ke kamar yang berada di sebelah kanan dan melihat ada darah di segala tempat," ungkapnya.
Arasaratnam berkata dia melihat ada orang yang membutuhkan perawatan karena mengalami luka parah, dan memperhatikan tamu lain mencari keluarga mereka yang hilang.
"Sangat menyedihkan melihat anak-anak berlumuran darah. Saya meninggalkan Sri Lanka dengan status pengungsi 30 tahun silam. Saya tak menyangka bakal kembali melihatnya," terang dia. (kompas.com/tempo.co)