Fahri Hamzah Kritik Keras KPU Soal Wacana Larangan Mantan Koruptor Ikut Pilkada
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengkritik keras rencana Komisi Pemilihan Umum (KPU) menerapkan larangan mantan koruptor ikut dalam Pilkada.
Penulis:
Taufik Ismail
Editor:
Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews, Taufik Ismail
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengkritik keras rencana Komisi Pemilihan Umum (KPU) menerapkan larangan mantan koruptor ikut dalam Pilkada.
Menurut Fahri Hamzah KPU hanya penyelenggara Pemilu bukan pembuat regulasi.
"Saya engga setuju kalau KPU ikut-ikutan bikin undang-undang, KPU itu jaga administrasi penyelenggaraan pemilu aja. Jangan ikut, jangan membuat politk penyelenggaraan pemilu. Itu domainnya regulasi, domainnya DPR, domainnya politik," kata Fahri Hamzah di Kompleks Parlemen, Rabu (31/7/2019).
Ketimbang ikut nimbrung membuat regulasi, KPU menurut Fahri Hamzah sebaiknya memperbaiki kekurangan dalam penyelenggaraan Pemilu.
Baca: Wapres JK Sebut Mobil Listrik Bisa Jadi Solusi Kurangi Polusi Udara di Kota Besar
Baca: Divonis Mati Pembunuh Satu Keluarga di Bekasi, Kuasa Hukum Bilang Dosa Jangan Dibalas Dosa
Baca: KPU Sebut Perppu Bisa Jadi Alternatif Payung Hukum Larangan Mantan Koruptor Ikut Pilkada
Baca: Kabar Seputar Kekalahan Telak Persib: Paling Telak Musim Ini, Sudah Ada Tanda-Tanda Terpuruk
Misalnya membereskan masalah daftar pemilih tetap (DPT) dan mengganti kotak suara kardus.
"Selain itu, tekan kemendagri supaya pakai KTP elektronik. Supaya antara data penduduk dengan pemilih ada sinkronisasi. Itu wilayah KPU, engga usah urus-urus politik. KPU ini pekerjaannya engga dikerjakan, pekerjaan orang lain mau dikerjaan. Suka begitu ya orang-orang kita itu ya? Kerjaannya tidak dikerjain, (tapi) kerjaan orang dikerjain," katanya.
Fahri mengatakan bila tujuannya baik, KPU harusnya sabar menunggu revisi undang-undang Pilkada.
Sehingga aturan yang dibuat tidak bertabrakan dengan aturan lain, seperti larangan eks koruptor ikut dalam Pileg yang pada akhirny dibatalkan oleh Mahkamah Agung.
"Ya sudah sabar kalau belum selesai ya pakai (aturan) yang ada dulu. Jangan kalau DPR belum kerja terus dia mau bikin sendiri. Enak aja dia mau jadi regulator juga," katanya.
Menurut Fahri melarang mantan koruptor ikut Pilkada sama dengan merampas hak orang lain.
Perampasan hak tersebut hanya bisa dilakukan melalui undang-undang bukan melalui peraturan KPU.
"Jangan merampas hak orang pakai keputusan KPU. Salah itu. Dia engga punya levelnya gak level dia," katanya.
Perppu bisa jadi alternatif
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI satu suara soal usulan melarang mantan narapidana kasus korupsi maju Pilkada 2020.
Tapi untuk mewujudkan usulan tersebut, pemerintah dan DPR perlu merevisi Undang-Undang Pilkada.
Di sisi lain, revisi UU Pilkada kemungkinan memakan waktu lama dalam penggodokannya.
Komisioner KPU RI Pramono Ubaid mengungkap ada satu alternatif lain untuk mewujudkan aturan tersebut, yakni lewat peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu).

Menurut Pramono, jika usulan ini dirasa sangat mendesak, sementara di satu sisi KPU butuh dukungan terkait landasan hukum yang kokoh, maka pemerintah bisa membuat Perppu terkait hal itu.
Baca: Ruben Onsu Angkat Betrand Peto Jadi Putranya, Suami Sarwendah Tak Lagi Idamkan Anak Laki-laki
Baca: Anak Punk di Sepanjang Pantura Brebes Dirazia, yang Terjaring Dikirim ke Rumah Rehabilitasi
Baca: Dari Bus Rusak Hingga Petasan Meledak di Dekat Hotel, Pelatih Persib Minta PSSI Lakukan Hal Ini
Baca: Wapres JK Sebut Mobil Listrik Bisa Jadi Solusi Kurangi Polusi Udara di Kota Besar
"Kalau pemerintah melihat ini sangat urgent dan memang butuh dukungan landasan hukum yang kokoh selain revisi undang-undang, ya juga bisa dilakukan dengan Perppu," kata Pramono di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (31/7/2019).
Penerbitan Perppu disebut akan sangat membantu KPU.
Meskipun tetap opsi utamanya merevisi Undang-Undang Pilkada.
"Itu akan sangat membantu KPU. Kalau itu bisa dilakukan, KPU akan sangat berterima kasih," ujar dia.
Saran ICW untuk Jokowi
Indonesia Corruption Watch (ICW) mendukung wacana larangan mantan narapidana korupsi untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah pada Pilkada serentak 2020.
Untuk mengatur larangan tersebut, Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Donal Fariz meminta Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
"Semestinya ke depan dibuat instrumen hukum yang kuat seperti Perppu atau jika memungkinkan dilakukan revisi undang-undang pemilihan kepala daerah agar mantan napi korupsi tidak dicalonkan lagi," ucap Donal fariz saat ditemui di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (30/7/2019).

Lebih lanjut, ia mengungkapkan larangan tersebut mendesak dilakukan karena saat ini masih banyak hakim yang belum berani mencabut hak politik seorang koruptor.
Baca: DPR Minta KASAD Intensifkan Pencarian Helikopter MI-17 TNI AD yang Hilang di Papua
Baca: Peringatan Dini Gelombang Tinggi di Perairan Indonesia hingga Kamis (1/8/2019), Berikut Imbauan BMKG
Baca: FPI: Kegiatan Mana yang Bertentangan Pancasila?
Donal Fariz juga berkaca dari keputusan Mahkamah Agung (MA) yang mencabut Peraturan KPU terkait larangan eks napi korupsi mencalonkan diri sebagai anggota legislatif di Pemilu 2019.
"Karena waktu masih panjang, dimungkinkan untuk membentuk undang-undang, revisi pasal-pasal terkait pasal pencalonan atau kalau secara politik susah melalui revisi undang undang bisa melalui jalur perppu," katanya.
Pernyataan KPK
Wakil Ketua KPK, Basaria Panjaitan menyesalkan kembali terjadinya suap yang melibatkan kepala daerah terkait dengan jual beli jabatan.
KPK baru saja menetapkan Bupati Kudus, Muhammad Tamzil, sebagai tersangka kasus suap.
Baca: Update Bupati Kudus M Tamzil Ditangkap KPK, Merasa Dijebak hingga Tebar Senyuman

Basaria Panjaitan menegaskan agar kasus jual beli jabatan ini tidak boleh terjadi lagi karena merusak tatanan pemerintahan.
"Ini juga tidak sejalan dengan rencana pemerintah untuk pengembangan SDM yang professional sebagai salah satu tujuan dari reformasi birokrasi yang tengah dilakukan. Reformasi birokrasi juga menjadi salah satu fokus dari Program Stranas PK yang sudah dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo," ujar Basaria Panjaitan kantor KPK, Jalan Kuningan Persada, Kuningan, Jakarta Selatan, Sabtu (27/7/2019).
Muhammad Tamzil sebelumnya pernah divonis bersalah dalam kasus korupsi dana bantuan saran dan prasarana pendidikan Kabupaten Kudus untuk tahun anggaran 2004 yang ditangani Kejaksaan Negeri Kudus saat menjadi Bupati Kudus pada periode pertama (2003-2008).
Namun dirinya kembali dicalonkan pada Pilkada Kudus dan kembali menjabat sebagai Bupati.
Melihat hal tersebut, KPK meminta agar partai politik tidak mencalonkan calon kepala daerah yang pernah menjadi napi korupsi.
"Dengan terjadinya peristiwa ini, KPK kembali mengingatkan agar pada Pilkada Tahun 2020 mendatang, partai politik tidak lagi mengusung calon kepala daerah dengan rekam jejak yang buruk," tegas Basaria Panjaitan.
"Kasus ini juga sekaligus menjadi pelajaran bagi parpol dan masyarakat bahwa penting untuk menelusuri rekam jejak calon kepala daerah. Jangan pernah lagi memberikan kesempatan kepada koruptor untuk dipilih," tambah Basaria Panjaitan.
Seperti diketahui, KPK menetapkan Muhammad Tamzil sebagai tersangka kasus gratifikasi terkait pengisian perangkat daerah di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kudus tahun 2019
Dalam kasus ini, selain menetapkan Muhammad Tamzil, sebagai penerima KPK juga menetapkan Staff Khusus Bupati, Agus Surantoe, sebagai tersangka.
Sedangkan pihak yang diduga menjadi pemberi adalah Plt Sekretaris Dinas DPPKAD Kabupaten Kudus, Plt Sekretaris Dinas DPPKAD Kabupaten Kudus, Akhmad Sofyan.
Baca: Ditetapkan Tersangka, Bupati Kudus Pernah Dipenjara Bersama Staf Khususnya
Terhadap pihak penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 atau Pasal 12 B Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara pemberi disangkakan melanggar pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.