Kabinet Jokowi
Tiga Kode Keras Isyarat Penolakan PDIP Atas Keinginan Demokrat Gabung ke Pemerintahan Jokowi
Andreas menduga, keinginan Partai Demokrat dalam mendukung pasangan Jokowi-Ma'ruf karena berharap pembagian kekuasaan dalam Kabinet Kerja jilid II.
Editor:
Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Meski belum menyatakan dukungan secara resmi, Partai Demokrat terlihat sudah menetapkan sikap politiknya untuk lima tahun ke depan. Posisi mereka cenderung condong mendukung pemerintahan presiden dan wakil presiden terpilih Joko Widodo dan Ma'ruf Amin.
Sinyal ini diutarakan Ketua Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean.
Namun, Partai Demokrat kurang mendapat sambutan yang antusias dari partai pendukung Jokowi-Ma'ruf. Bahkan, dukungan Partai Demokrat dianggap terlambat.
Sebelumnya, Partai Demokrat dalam beberapa kesempatan memang telah melancarkan kode-kode mengenai arah politik mereka.
Sinyal penolakan Komandan
Komando Tugas Bersama Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) telah melakukan pertemuan dengan Presiden Jokowi di Istana Negara, Jakarta.
Meski begitu, ia tak secara gamblang menyebutkan bahwa partainya akan merapat ke kubu Jokowi.
Namun, ketika itu politisi PDI-P Aria Bima meminta publik tidak memersepsikan silaturahmi sebagai bagian dari upaya bergabung ke dalam koalisi pendukung pemerintah.
Menurut dia, pembahasan mengenai konfigurasi partai politik pendukung pemerintah kemungkinan baru akan dibahas setelah pelantikan presiden dan wakil presiden, 20 Oktober 2019.

Diterimanya Partai Demokrat ke dalam koalisi Jokowi-Ma'ruf tentu nanti merupakan hasil pembicaraan partai politik dengan Jokowi sebagai presiden terpilih.
Namun PDI-P sebagai partai pengusung Jokowi-Ma'ruf terlihat memberikan semacam "kode keras" dalam menolak bergabungnya partai yang didirikan presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono itu.
Berikut dua di antaranya:
1. Tak diundang kongres PDI-P
Dalam Kongres V PDI-P di Bali, beberapa waktu lalu, turut hadir Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno.
Padahal, keduanya berada di posisi yang berseberangan dengan kubu Jokowi pada Pilpres 2019.