Seleksi Pimpinan KPK
Capim KPK: Petugas KPK Harusnya Beri Tahu Mereka yang akan Lakukan Korupsi dan Mencegahnya
Capim KPK menilai ada mekanisme yang keliru dalam pelaksanaan Operasi Tangkap Tangan (OTT) dilakukan KPK saat ini. Dia ingin mengubah hal itu.
Editor:
Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Calon Pimpinan Komisi Pemberatasan Korupsi (Capim KPK) Johanis Tanak menilai ada mekanisme yang keliru dalam pelaksanaan Operasi Tangkap Tangan (OTT) dilakukan KPK saat ini. Dia ingin mengubah hal itu.
Johanis mengatakan, selama ini, KPK menerapkan OTT sebagai operasi senyap namun telah direncanakan. Padahal, dalam ilmu hukum, operasi tangkap tangan merupakan kegiatan yang tidak direncanakan atau penangkapan dilakukan seketika saat mengetahui kejadian tindak pidana korupsi.
Hal itu disampaikan Johanis Tanak kepada awak media usai seleksi wawancara dan uji publik capim KPK di kantor Sekretariat Negara RI, Jakarta, Rabu (28/8).
"Jadi bukan direncanakan ditangkap. Sehingga menurut saya secara ilmu hukum, itu keliru (red-penerapan OTT). Idealnya, kita harusnya pahami," kata Johanis Tanak.
Baca: Di ILC Kakak Aris Bantah Adiknya Perkosa Anak di Masjid meski Terekam CCTV, Minta Karni Ilyas Paham
Baca: Berbuat Mesum dalam Mobil di Area Pelabuhan, Sejoli Ini Diserahkan ke WH
Baca: Berbuat Mesum dalam Mobil di Area Pelabuhan, Sejoli Ini Diserahkan ke WH
Baca: Afgan Bakal Tampil di Konser Tegar 2.0? Rossa: Rahasia
Ia mencontoh OTT terhadap kasus dugaan suap perizinan megaproyek Meikarta yang mengena petinggi Lippo Group dan Bupati Bekasi Neneng Hassanah Yasin. "Menurut saya yang namanya operasi tangkap tangan itu artinya operasi tidak terencana, pengertian tangkap tangan menurut ilmu hukum seketika terjadi, jadi OTT itu dua hal yang berbeda sekalinya," ujarnya.
Selain itu, Johanis Tanak juga menyampaikan pandangannya terkait penyadapan yang dilakukan petugas KPK sebelum melakukan OTT. Menurutnya, dari penyadapan itu, seharusnya petugas KPK memberitahu pihak-pihak yang berniat akan melakukan tindak pidana korupsi.
"Idealnya yang bersangkutan dipanggil supaya tidak melakukan kembali perbuatan itu kalau bersedia tidak melakukan maka tanda tangan," kata Jaohanis yang juga Direktur Tata Usaha Negara pada Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung.
"Jadi, tidak usah OTT dibanding harus ada penyidikan, penuntutan hanya buang uang negara banyak," imbuhnya.
Johanis Tanak adalah satu dari tujuh orang capim KPK yang mengikuti tes wawancara dan uji publik Seleksi Capim KPK pada hari kedua. Enam capim lainya adalah Jasman Pandjaitan (pensiunan jaksa), Lili Pintauli Siregar (advokat), Nawawi Pomolango (hakim), Luthfi Jayadi Kurniawan (dosen), Neneng Euis Fatimah (dosen) dan Nurul Ghufron (dosen). Total ada 20 capim KPK yang mengikuti tes wawancara dan uji publik dalam seleksi capim KPK ini.
Nantinya hanya ada 10 orang yang dipilih oleh Pansel Capim KPK untuk selanjutnya diserahkan ke Presiden Joko Widodo. Sepuluh nama itu akan mengikuti uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di Komisi III DPR RI) untuk selanjutnya dipilih lima nama sebagai pimpinan KPK periode 2019-2023.
Capim Lain Ditanya Soal Penyakit
Calon Pimpinan KPK atau Capim KPK Nurul Ghufron menjadi peserta ke 14 yang sudah menjalani tes uji publik dan wawancara oleh Panitia Seleksi (Pansel) Capim KPK.
Selama satu jam penuh menjalani tes di Gedung 3, Lantai 1, Setneg, Jakarta Pusat, Rabu (28/8/2019), Nurul Ghufron dicecar beragam pertanyaan.
Anggota Pansel DIani bahkan mengkonfirmasi Nuruf Ghufron yang sempat menjalani rawat inap karena penyakit vertigo.
"Apa bapak pernah rawat inap dengan diagnosis bertigo level 2? Padahal dengan tugas dan fungsi KPK yang kita tahu, sekarang ini kondisinya seperti apa. Sanggup gak bapak dibawah tekanan," cecar Diani.
Baca: Membandingkan Antrian Haji Indonesia Dengan Negara Lain, Malaysia 120 Tahun, Singapura 34 Tahun
Baca: Kevin van Kippersluis Tak Sabar Debut untuk Persib Bandung dan Siap Main Lawan PSS Sleman
Baca: Update Klasemen Liga 1 2019: Bali United Kokoh di Puncak Klasemen
"Itu penyakit saya tahun 2012. Saat itu saya mengerjakan disertasi. Setelah itu sampai sekarang, kami tidak pernah kena lagi," jawab Nurul Ghufron.
"Ow jadi vertigo karena kerjakan disertasi" sambung Diani.
Kembali Diani mengkonfirmasi masukan dari masyarakat atas dugaan plagiarisme.
"Ada masukan dari masyarakat. Apa bapak melakukan plagiarisme? ," tanya Diani.
"Tidak pernah sama sekali," tegas Nurul Ghufron yang juga maju sebagai bakal calon rektor Universitas Jember, PTN terkemuka di Jatim.
Busyro ragukan pansel
Sejumlah mantan pimpinan KPK meminta agar presiden Jokowi tegas mengevaluasi dan tidak meloloskan calon pimpinan KPK yang bermasalah.
Hal itu disampaikan dalam pernyataan sikap pimpinan pusat Muhammadiyah di kantor PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (28/8/2019).
Dalam pernyataan sikap tersebut hadir sejumlah mantan pimpinan KPK di antaranya Busyro Muqoddas, Abraham Samad, dan Bambang Widjojanto.
Ada dua tuntutan dalam pembacaan pernyataan sikap tersebut.
Baca: Pria Bule dari Jerman Nikahi Wanita Tanpa Tangan dan Kaki Asal Nusa Penida, Ini Kisah Cinta Mereka
Baca: Korlap Aksi Massa yang Bentrok di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya Jadi Tersangka
Baca: Nikita Mirzani Labrak Elza Syarief Sampai Banting Ponsel, Reaksi Hotman Paris Jadi Perbincangan
Baca: Buya Syafii Maarif Mengaku Sudah Kontak Orang Istana Minta Agar Jokowi Diberi Peta Soal 20 Capim KPK
Baca: Cerita Kemerdekaan RI Versi Mahfud MD: Satu-satunya Negara yang Merdeka karena Usir Penjajah
Baca: Polisi Buru 2 Penyebar Video Mesum Vina Garut, Diduga Saling Kenal Dengan Pelaku
Pertama, tidak meloloskan calon Pimpinan KPK yang bermasalah baik yang diduga melakukan pelanggaran etik ketika bertugas di KPK, pernah mengancam atau menghalangi proses penegakan hukum oleh KPK, maupun tidak patuh LHKPN.
Kedua, meminta adanya pertemuan dengan Presiden untuk menyampaikan aspirasi secara langsung sebelum Presiden menentukan 10 Calon yang akan diserahkan kepada DPR.
Busyro yang juga menjadi Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum HAM ini, menyatakan, Pansel Capim KPK periode ini belum mengakomodasi masukan dan keinginan publik.
"Belum akomodatif, belum menghargai dan ini menunjukkan Pansel KPK itu komitmennya pada tanggung jawab untuk memilih 10 pimpinan KPK itu yang diajukan ke DPR itu masih banyak yang meragukan," katanya.
"Kami berada dalam posisi yang meragukan itu tapi sekaligus mengharap ada harapan lah kepada mereka, harapan sangat tinggi kuncinya terakhir pada presiden," jelas Busyro.
Hal itu juga diperkuat pernyataan Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad.
Ia menyebut, KPK akan menghadapi ancaman jika pansel tetap melanjutkan dan meloloskan sejumlah nama yang dianggap memiliki track record tak berintegritas
"Bahwa ada semacam ancaman yang sangat berbahaya yang akan menimpa KPK apabila proses seleksi pimpinan KPK yang sekarang ini terus dilanjutkan dan meloloskan orang-orang bermasalah," ujar Abraham Samad dalam kesempatan yang sama.
(tribun network/fel/coz)