Kabinet Jokowi
Pro dan Kontra Sikapi Jokowi Tak Libatkan KPK dalam Penjaringan Menteri
Bagi Erwin Natosmal, ini merupakan kemunduran komitmen Jokowi dalam pemberantasan korupsi.
Penulis:
Srihandriatmo Malau
Editor:
Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak lagi melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menjaring menteri untuk kabinet Kerja II di periode kedua pemerintahannya bersama Maruf Amin.
Sikap ini berbeda dibanding awal pemerintahan Jokowi pada 2014 lalu, ketika berpasangan dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK).
Berbagai tanggapan pro dan kontra pun mengalir menyikapi sikap Jokowi yang tidak melibatkan KPK dalam menelusuri rekam jejak calon menterinya.
Langkah Mundur
Pegiat antikorupsi dari Indonesian Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar menyayangkan Jokowi tidak kembali melibatkan KPK dalam penelusuran rekam jejak nama-nama calon menteri yang akan duduk di kabinet pemerintahan periode 2019-2024.
Bagi Erwin Natosmal, ini merupakan kemunduran komitmen Jokowi dalam pemberantasan korupsi.
"Tidak melibatkan KPK dalam proses pemilihan menteri merupakan kemunduran komitemen Jokowi dalam memberantasan korupsi," ujar Erwin Natismal kepada Tribunnews.com, Senin (14/10/2019).
Padahal, lima tahun lalu, sudah ada konvensi ketatanegaraan baru yang positif dilakukan Jokowi dalam proses penentuan kabinetnya.
Tidak dilibatkannya KPK dalam proses pemilihan menteri kali ini, menurut dia, membuat proses kabinet hanya sebatas bagi-bagi kursi kekuasaan.
"Tidak dilibatkannya KPK dalam proses pemilihan kabinet kali ini membuat proses kabinet hanya sebatas bagi-bagi kursi kekuasaan," tegas Erwin Natosmal.
Baca: Romo Benny Minta Hentikan Kegaduhan Politik
"Soal integritas dan latar belakang calon yang tidak bermasalah, tidak lagi dipertimbangkan secara faktor penting bagi Jokowi," jelas Erwin Natosmal.
Hal senada juga disampaikan Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera menyayangkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak lagi melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam melihat rekam jejak calon-calon menterinya.
Mardani menilai Jokowi mengambil langkah mundur ketika tak lagi melibatkan lembaga antirasuah untuk menilik rekam jejak calon menterinya.
"Kalau ini terjadi, langkah mundur Pak Jokowi. Kecuali beliau menyampaikan ke publik menggunakan metode lain," ujar mantan Wakil Ketua BPN Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di Pilpres 2019 lalu ini kepada Tribunnews.com, Senin (14/10/2019).
Mardani menegaskan, budaya baik dengan melibatkan KPK adalah budaya hati-hati dan diapresiasi publik.
Itu terbukti saat Jokowi melibatkan KPK dalam melihat rekam jejak calon Menterinya pada periode pertama pemerintahannya.
Jika pada periode keduanya tidak melibatkan KPK, dia melihat itu akan bisa merugikan Jokowi dalam menjalankan pemerintahannya lima tahun mendatang.
"Kabinet tanpa dapat masukan dari KPK berpotensi mengganggu kinerja Pemerintahan Jokowi. Lima tahun belakangan ini, prosentase Menteri terkena kasus korupsi turun. Bisa jadi, angkanya naik kembali Menteri dengan kasus korupsi," jelasnya.
Sebaiknya Jokowi Kembali Libatkan KPK
Presiden Joko Widodo (Jokowi) didorong untuk kembali melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam melihat rekam jejak calon menterinya.
Hal itu disampaikan Pengamat politik dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), I Made Leo Wiratma menanggapi tidakk dilibatkannya KPK dalam penelusuran rekam jejak nama-nama calon menteri yang akan duduk di kabinet Kerja II Jokowi-Maruf Amin, pada pemerintahan 2019-2024.
"Sebaiknya Presiden kembali melibatkan KPK dalam melihat rekam jejak calon-calon menteri seperti yang dilakukan pada 2014," ujar I Made Leo kepada Tribunnews.com, Senin (14/10/2019).
Pelibatan KPK ini menurut dia, penting untuk mendapatkan orang-orang yang bersih dan berintegritas sebagai pembantu-pembantu Jokowi selama lima tahun mendatang.
Dengan menggunakan jasa KPK saja yang telah memberikan catatan pada nama-nama calon menteri, dia mencatat, masih saja ada menteri yang terlibat korupsi.
Apalagi dia tegaskan, jika KPK tidak dilibatkan, maka kemungkinan korupsi oleh menteri akan lebih banyak di kabinet baru ini.
"Gunakan jasa KPK saja yang telah memberikan catatan pada nama-nama calon menteri masih saja ada menteri yang terlibat korupsi. Apalagi jika KPK tidak dilibatkan, maka kemungkinan korupsi oleh menteri akan lebih banyak di kabinet baru ini," tegasnya.
IPW: Pemilihan Menteri Itu Adalah Hak Prerogratif Presiden Jokowi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak dilibatkan dalam penelusuran rekam jejak nama-nama calon menteri yang akan duduk di kabinet Kerja II Joko Widodo (Jokowi)-Maruf Amin pada pemerintahan 2019-2024.
Indonesia Police Watch (IPW) menegaskan, Jokowi tak perlu melibatkan KPK karena pemilihan menteri adalah hak preogatif presiden.
"Pemilihan menteri adalah hak prerogatif presiden," ujar Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane kepada Tribunnews.com, Rabu (25/9/2019).
Situasi politik di periode kedua Jokowi menjadi presiden ini juga, menurut Neta S Pane, sangat berbeda dengan periode pertama lalu.
Selama lima tahun menjadi presiden, dia menjelaskan, Jokowi lebih paham karakter dan kapasitas tokoh-tokoh yang ada, termasuk kapabilitas untuk calon-calon menterinya.
Sehingga Jokowi merasa tidak perlu melibatkan KPK dalam proses pemilihan calon menterinya, seperti pada periode pertama menjadi presiden.
Selain itu kata dia, sejak setahun terakhir muncul gonjang ganjing di KPK dengan berbagai tudingan, termasuk terkait oknum-oknum KPK bermain politik-politikan.
Dan kondisi itu dia menilai, sangat tidak menguntungkan Jokowi jika melibatkan KPK dalam proses pemilihan calon menterinya.
"Saya kira KPK pun mahfum dan tahu diri dengan kondisi yang ada," kata Neta S Pane.
Meskipun tanpa melibatkan Komisi Pemberantan Korupsi (KPK), Presiden Joko Widodo (Jokowi) diharapkan mampu memilih menteri-menteri yang berintegritas.
"Pengalaman Jokowi di periode pertama, dimana ada sejumlah menterinya ditangkap KPK karena terlibat korupsi hendaknya tidak terulang kembali di periode kedua," jelas Neta S Pane.
Bila itu yang terjadi, maka Jokowi akan bisa happy landing di 2024 tanpa khawatir terseret seret isu korupsi.
Selain itu, imbuh dia, di periode keduanya Jokowi harus mampu memilih pejabat-pejabat hukum, seperti menkoPolhukam, Menkumham, Jaksa Agung dan Kapolri yang mampu mendorong dan mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi.
"Sehingga ada perimbangan dengan KPK dalam mewujudkan Indonesia yang bebas korupsi ke depan," tegasnya.
Kata Istana
Tenaga Ahli Kedeputian IV Kedeputian IV Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin meminta Komisi Pemberantasan Korupsi tak perlu protes jika tak lagi dilibatkan dalam pemilihan menteri untuk kabinet periodenya kedua Jokowi bersama Ma'ruf Amin.
Sebab, kewenangan dalam memilih menteri adalah sepenuhnya hak prerogatif Presiden Jokowi.
Jokowi berhak memilih apakah akan meminta pertimbangan KPK atau tidak dalam memilih orang-orang yang akan membantunya di pemerintahan.
"Kalau Presiden merasa perlu, Presiden ajak bicara KPK. Kalau Presiden merasa apa yang ada dari pengetahuannya, ya sudah untuk apa tarik-tarik Presiden dalam urusan itu," kata Ngabalin saat dilansir dari Kompas.com, Senin (14/11/2019) malam.
"Itu kan urusan independen, hak prerogratif Presiden mengangkat dan memberhentikan menteri," katanya.
Ngabalin sendiri mengaku tidak tahu persis alasan yang membuat Presiden Jokowi kini tidak lagi melibatkan KPK dalam penelusuran dan penunjukan menteri untuk kebinetnya di periode kedua.
Saat menunjuk menteri di kabinet kerja periode 2014-2019, Presiden Jokowi melibatkan KPK untuk penelusuran rekam jejaknya.
Namun, Ngabalin meminta perbedaan metode Presiden dalam menjaring menteri di periode pertama dan kedua ini tidak dipersoalkan.
"Ya itulah kewenangan Presiden. Enggak usah baper lagi dalam urusan yang begitu, enggak usah gede rasa, enggak usah GR lah," kata politisi Partai Golkar ini.(*)
Harapan KPK
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif angkat suara terkait pihaknya tidak diikutsertakan dalam pemilihan menteri dalam kabinet pemerintahan Presiden Joko Widodo periode 2019-2024.
Laode menyebut pemilihan nama menteri merupakan hak prerogatif presiden. Oleh karena itu, KPK tak memaksa agar dilibatkan dalam proses pemilihan nama menteri.
Dia pun meyakini bahwa Jokowi dapat memilih nama yang benar-benar cakap dan beintegritas untuk duduk di kursi menteri.
"Itu hak prerogatif Presiden. Kita berharap bahwa beliau cukup paham untuk mengetahui mana calon menteri yang mempunyai rekam jejak yang baik atau tidak," kata Laode di Gedung KPK, Jakarta, Senin (14/10/2019).
Hanya saja, Laode berharap nama-nama yang dipilih Jokowi untuk di kursi kabinet nanti merupakan sosok yang berintegritas.
"Kita tidak diikutkan tetapi kita berharap bahwa yang ditunjuk oleh presiden adalah orang-orang yang mempunyai track record yang bagus, dari segi integritas tidak tercela," ujarnya.
Diberitakan sebelumnya, Presiden Jokowi mengaku susunan kabinet jilid II saat ini sudah rampung. Susunan kabinet akan diumumkan segera setelah ia dan Ma'ruf Amin dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden 2019-2024.
Kendati kabinet sudah selesai disusun, menurut Jokowi, tidak tertutup kemungkinan akan ada beberapa perubahan sampai hari pengumuman nanti.
"Mungkin ada beberapa pertimbangan masih bisa," kata Jokowi.
Proses penyusunan kali ini agak berbeda dengan penyusunan kabinet periode sebelumnya. Pada periode 2014-2019, KPK dilibatkan dalam penyusunan kabinet dengan menelusuri rekam jejak nama-nama calon menteri.