Sabtu, 4 Oktober 2025

Suap Proyek PLTU Riau 1

Jaksa KPK Tak Mampu Buktikan Peran Sofyan Basir di Kasus Korupsi Proyek PLTU Riau-1

Pada surat dakwaan, JPU pada KPK menyebut Sofyan Basir mengatur pertemuan untuk membahas permufakatan jahat suap kontrak kerjasama proyek PLTU Riau-1.

Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUN/IQBAL FIRDAUS
Terdakwa kasus dugaan suap proyek PLTU Riau-1 yang juga mantan Direktur Utama PT PLN (Persero) Sofyan Basir (kanan) menjalani sidang pemeriksaan terdakwa di Pengilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (23/9/2019). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta membebaskan mantan Direktur Utama PT PLN (Persero), Sofyan Basir, dari hukuman kasus korupsi proyek PLTU Riau-1.

Terdakwa Sofyan Basir terbebas dari dakwaan yang dibuat Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK.

Pada surat dakwaan, JPU pada KPK menyebut Sofyan Basir mengatur pertemuan untuk membahas permufakatan jahat suap kontrak kerjasama proyek PLTU Riau-1.

Sofyan Basir mengatur pertemuan antara Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eni Maulani Saragih, Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Idrus Marham, dan pemegang saham Blackgold Natural Resource, Johanes Budisutrisno Kotjo, dengan Direksi PT PLN.

Baca: Divonis Bebas, Sofyan Basir: Saya Bersyukur, Kita Bisa Mulai Kerja

Sofyan memfasilitasi pertemuan untuk mempercepat proses kesepakatan proyek Independen Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-1 antara PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi dengan BNR dan China Huadian Engineering Company Limited.

JPU pada KPK menyebut Sofyan mengetahui Eni dan Idrus akan mendapatkan sejumlah uang atau fee sebagai imbalan dari Kotjo yang seluruhnya bernilai Rp 4,75 miliar.

Atas perbuatan itu, JPU pada KPK mendakwa Sofyan Basir.

Pada dakwaan pertama, JPU pada KPK mendakwa Sofyan melanggar Pasal 12 huruf a juncto Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 56 ke-2 KUHP.

Ataupun ada dakwaan kedua, JPU pada KPK mendakwa Sofyan Basir melanggar pasal 11 huruf a juncto Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 56 ke-2 KUHP.

Namun, majelis hakim menyebutkan dua dakwaan tersebut tidak memenuhi unsur untuk menjerat pidana Sofyan. Hal ini terbukti berdasarkan fakta-fakta di persidangan.

Baca: Perjalanan Kasus Mantan Dirut PLN Sofyan Basir Hingga Divonis Bebas

"Terdakwa Sofyan Basir tidak terbukti melakukan perbantuan dakwaan pertama Pasal 12 huruf a juncto Pasal 56," kata Anwar, selaku anggota majelis hakim di persidangan yang memeriksa dan memutus perkara Sofyan Basir, Senin (4/11/2019).

Jika, mengacu pada Pasal 12 huruf a juncto Pasal 56, Anwar menjelaskan, mereka yang sengaja memberikan kesempatan atau sarana kejahatan harus dibuktikan komitmen pemberi suap dan penerima suap.

Sementara itu, kata dia, peran pembantuan harus dapat dilihat dalam rangka membuat komitmen.

Sebelum menandatangani kontrak IPP PLTU Riau-1, kata dia, adanya keinginan Johanes Kotjo sebagai pemilik saham BNR yang merupakan perusahaan pemilik 100 persen saham Samantaka batubara untuk berpartisipasi dalam PLTU Mulut Tambang Riau 1 untuk memberikan fee dari China Guardian.

Namun, pada saat dihadirkan ke persidangan sebagai saksi, Sofyan Basir tidak mengetahui adanya catatan tersebut. Sedangkan, dia mengungkapkan, Sofyan Basir yang menandatangani IPP PLTU Mulut Tambang Riau 1 tidak tercantum atau bukan sebagai pihak yang menerima fee.

"Sofyan tidak memahami dan tidak tahu fee yang akan diterima Johanes Kotjo dan tidak tahu kepada siapa saja akan diberikan. Sesuai dengan Eni bahwa uang dari Kotjo, terdakwa Sofyan sama sekali tidak tahu," bebernya.

Sehingga, untuk dakwaan pertama, majelis hakim berkesimpulan Sofyan Basir tidak mengetahui adanya pemberian bertahap dari Kotjo senilai Rp 4,75 Miliar.

"Antara PJBI dan BNR dan CHEC tidak tercantum atau bukan pihak yang menerima fee. Terdakwa SB, tidak mengetahui dan tidak memahami akan adanya fee yang akan diterima oleh Kotjo, serta kepada siapa saja fee tersebut akan diberikan," kata dia.

Hakim beralasan keterangan Sofyan itu sesuai dengan apa yang disampaikan Eni maupun Kotjo, bahwa uang yang diterima Eni yang berasal dari Kotjo, Sofyan sama sekali tidak mengetahui.

"Menimbang bahwa sejalan apa yang disampaikan Eni dan Kotjo yang juga perkaranya sudah diputus Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang telah memiliki kekuatan hukum tetap bahwa terdakwa Sofyan Basir tidak mengetahui penerimaan fee secara bertahap tersebut," kata dia.

Sedangkan, mengenai tindakan Sofyan Basir selaku Dirut PT PLN (Persero) yang telah menandatangani kesepakatan IPP PLTU Riau 1 antara PJBI dan BNR dan CHEC, bukan karena keinginan Sofyan maupun Eni Maulani Saragih dan Johanes Kotjo.

Baca: Rekam Jejak Sofyan Basir, Mantan Dirut PLN Yang Divonis Bebas

"Dan tidak ada kaitannya dengan PLTU MT Riau 1, karena sudah sesuai ketentuan Presiden Nomor 4 Tahun 2018 tentang Infrastruktur dan Ketenagalistrikan, sesuai dengan Eni dan Kotjo bahwa Sofyan tidak tahu penerimaan uang," ungkapnya.

Adapun, untuk dakwaan kedua, majelis hakim berkesimpulan Sofyan Basir tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana perbantuan.

"Maka terdakwa Sofyan Basir tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi perbantuan sebagaimana dakwaan pertama dan kedua, karena Sofyan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan dalam dakwaan penuntut umum. Maka terdakwa harus dibebaskan dari segala dakwaan," tambahnya.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved