Rabu, 10 September 2025

MK Putuskan Tiga Syarat Baru Mantan Narapidana yang Akan Maju Pilkada

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan tiga syarat baru bagi mantan terpidana yang akan maju sebagai kepala daerah

net
Ilustrasi palu hakim 

MK Putuskan Tiga Syarat Baru Mantan Narapidana yang Akan Maju Pilkada

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan tiga syarat baru bagi mantan terpidana yang akan maju sebagai kepala daerah.

Syarat pertama adalah calon kepala daerah tidak pernah sebagai terpidana yang diancam lima tahun atau lebih.

Baca: Pakar Hukum Sebut Hukuman yang Bikin Jera Koruptor dengan Cara Dimiskinkan

Kecuali terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik.

Tindak pidana politik tersebut dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa.

Kedua, bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu lima tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana.

"Tiga. Bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang," kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman di Ruang Sidang Utama Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat pada Rabu (11/12/2019).

Tiga syarat tersebut kini tercantum dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898).

Hal tersebut dibacakan Anwar ketika membacakan putusan uji materi Undang-Undang Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.

Sebelumnya Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang tersebut pada 5 September 2019 .

Dalam permohonannya, ICW dan Perludem mengatakan Undang-Undang tersebut sepanjang frasa: "tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana" bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 karena sejumlah alasan.

Pada pokoknya, sejumlah alasan tersebut terkait dengan problem demokrasi dan kontestasi politik misalnya praktik politik uang.

Kedua untuk memastikan integritas dan kualitas orang-orang yang akan menduduki jabatan sebagai kepala daerah.

Baca: Gibran Maju di Pilkada Solo, Politisi PAN Angkat Bicara

Ketiga dalam situasi tertentu negara terpaksa melakukan pembatasan-pembatasan tertentu agar hak-hak asasi yang berada di bawah jaminannya dapat dilindungi, dihormati, dan dipenuhi.

Keempat, masa tunggu sebelum dapat mengikuti kontestasi pilkada setidaknya dapat meminimalisasi potensi berulangnya perilaku korup, membenahi pencalonan kepala daerah dan pilkada, dan secara tidak langsung turut mencegah setiap orang, khususnya yang berkehendak mengikuti pilkada melakukan korupsi, dengan catatan, masa tunggu tersebut tidak terlampau singkat.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan