Selasa, 9 September 2025

Eksklusif Tribunnews

Seratus Tahun PK Ojong Pendiri Kompas Gramedia (3): Ojong Berintegritas, Media Sekarang Tersesat

Sikap Ojong jelas, sekali mati tapi berarti. Ia menolak untuk mengikuti kemauan rejim Soeharto.

Editor: Dewi Agustina
KOMPAS/Arsip
Foto dokumentasi wartawan sekaligus pendiri Harian Kompas Petrus Kanisius (PK) Ojong. KOMPAS 

Apa yang paling membekas dari sosok PK Ojong bagi Anda?

Yang juga tidak bisa dilupakan waktu beliau mengurus Kompasiana. Salah satu yang saya ingat dari Kompasiana itu dua hal.

Pertama tulisan mengenai orang Indonesia, dia bilang tidak benar bahwa orang Indonesia malas. Sebagai contoh beliau perlihatkan pedagang air, itu jam tiga subuh sudah bekerja.

Foto dokumentasi wartawan sekaligus pendiri Harian Kompas Petrus Kanisius (PK) Ojong. KOMPAS
Foto dokumentasi wartawan sekaligus pendiri Harian Kompas Petrus Kanisius (PK) Ojong. KOMPAS (KOMPAS/Arsip)

Itu saya ingat betul, karena saat itu ramai membicarakan orang Indonesia pemalas, itu pandangan kolonial. Pak Ojong membantah itu dengan kalimat-kalimat pendek, kan Kompasiana pendek-pendek.

Yang kedua Pak Ojong memiliki integritas dan sederhana, itu yang saya senang dari Pak Ojong.

Bagaimana Anda memandang perjalanan karier PK Ojong di dunia jurnalistik?

Dulu beliau di Star Weekly, itu majalah Tionghoa-Indonesia, dulu masih campur-campur. Itu ada berita, ada berita detektif, soal perempuan, tapi di Star Weekly pernah ada laporan panjang membahas filsafat pemikiran sejarah Arnold Toynbee.

Suatu hal yang langka majalah seperti itu membahas sejarah pemikiran dan itulah ciri khas Pak Ojong karena beliau mencintai ide-ide.

Dan memang waktu Star Weekly dibreidel, beliau baru membangun keterampilan perusahaan. Sebelumnya tidak peduli. Pak Ojong itu kalau soal bisnis itu dia tidak mau peduli, hanya nulis.

Tapi ketika pabriknya dibreidel, karyawan butuh hidup, maka memikirkan mencari nafkah.

Di situ terlihat bahwa dia berkorban, misalnya juga waktu saya diajak bertemu Mochtar Lubis. Saya tidak kenal Mochtar Lubis, waktu itu dia dipenjara. Pak Ojong datang bawa buku.

Baca: Ingat Kesederhanaan PK Ojong, Liliek Oetama: Baju Bolong Terus Dijahit

Pak Ojong mengusahakan orang-orang yang ditahan karena urusan politik tetap mendapat buku, tahanan politik Bung Karno itu mendapat buku. Jadi Mochtar Lubis diupayakan mendapat buku.

Jaman Pak Ojong juga menarik karena politik identitas tidak kuat. Partai-partai yang utama waktu itu PNI, PKI, dan PSI itu multi etnik, multi agama. Suasana yang bagus sampai terjadinya G30S.

Nilai-nilai ini membekas pada saya. Dan juga meskipun beliau bukan seorang seniman, tapi beliau memberi ruang yang sangat luas pada kesenian di Kompas.

Beliau sangat percaya dan sayang pada Arief Budiman, sehingga Arief Budiman bisa menulis dua halaman di Kompas. Tidak ada koran di Indonesia seperti itu, dan ini sangat bagus. Sayangnya ini tidak ada lagi. Dari semua wartawan senior, hal ini sekarang sudah tidak ada lagi.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan