Rabu, 8 Oktober 2025

Virus Corona

Pemerintah Disebut Masih Menomorduakan Sektor Kesehatan dalam Penanganan Covid-19 

Hal ini disebabkan, fakta di lapangan menunjukkan kasus penyebaran COVID-19 terus mengalami kenaikan.

(Shutterstock/Petovarga)
Ilustrasi virus corona. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Policy Center Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI), Jibriel Avessina meminta pemerintah melakukan evaluasi secara komprehensif terhadap berbagai kebijakan-kebijakan penanganan COVID-19.

Jibriel menyebut, berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah belum efektif.

Hal ini disebabkan, fakta di lapangan menunjukkan kasus penyebaran COVID-19 terus mengalami kenaikan.

Dari anggaran penanganan COVID-19 sebesar 696,2 triliun, pemerintah hanya menyisihkan Rp87.55 triliun untuk biaya kesehatan.

Baca juga: Penyelesaian Perkara Perbankan di Masa Pandemi Covid-19 Dinilai Perlu Terobosan 

“Sektor kesehatan terkesan menjadi pilihan kedua karena seolah-olah pemerintah lebih fokus pada penguatan ekonomi, misalnya komite yang dibentuk berisikan pejabat bidang ekonomi, serta berbagai stimulus ekonomi dengan anggaran yang jauh lebih besar dari biaya kesehatan itu sendiri,” katanya dalam Forum Diskusi Salemba bertajuk “Evaluasi Kebijakan Penanganan Pandemi COVID-19”, Jumat (6/11/2020).

Dia pun menyoroti beberapa poin yang perlu pemerintah perbaiki dalam penanganan COVID-19.

Poin pertama adalah lambatnya respons awal dalam mitigasi pandemi.

Jibriel juga memberikan evaluasi kepemimpinan dalam penanganan COVID-19.

“Adanya perbedaan pendekatan antar aktor dalam pemerintahan dan benturan kelompok politik juga menjadi permasalahan. Serta, belum efektif hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pengambilan kebijakan,” ujar dia.

Selanjutnya, ILUNI UI memberikan berbagai rekomendasi penanganan COVID-19 untuk pemerintah.

Baca juga: Hindari Gelombang Kedua Covid-19 di Indonesia, Satgas: Disiplin Jalankan Protokol Kesehatan Kuncinya

ILUNI UI menyebut konsep Solidaritas Terpimpin dapat dijadikan sebagai model kerja pemerintah dalam mengatasi pandemi.

Dalam aspek kesehatan, uji cepat deteksi COVID-19 dengan RT PCR harus ditingkatkan sesuai standar WHO yakni 1000/1.000.000 penduduk.

Lalu, di sisi ekonomi ILUNI UI mengusulkan di antaranya optimalisasi anggaran penanganan COVID 19 dengan membagi menjadi dua anggaran menjadi program dan anggaran operasional program, realokasi anggara, serta Menjaga produktivitas UMKM.

“Yang paling penting juga, kita merekomendasikan partisipasi dari masyarakat. ILUNI UI telah mengeluarkan tiga rekomendasi terkait pandemi. Ke depan, kami juga akan memberikan rekomendasi tambahan salah satunya terkait kondisi perempuan,” katanya.

Pada kesempatan tersebut, Pakar Kebijakan Publik Julian Aldrin Pasha mengatakan, pemerintah perlu menentukan prioritas dan asesmen antara pilihan ekonomi atau kesehatan.

Dari dua opsi yang ada, data membuktikan penerapan social distancing secara ketat akan menekan kondisi penularan, tapi pasti berdampak pada ekonomi.

Sementara, jika menerapkan status quo dengan membayangkan keadaan normal, vaksin
masih belum diketahui kepastiannya.

“Jika mengambil salah satu, maka disebutnya trade off. Kita selamatkan ekonomi atau korbankan kesehatan,” kata Drs. Julian.

Sementara itu, Guru Besar Fakultas Kedokteran UI Profesor Akmal Taher menekankan pentingnya monitoring ketat Tracing, Testing, dan Treatment (3T) dalam penanganan COVID.

Pemerintah juga harus menguatkan puskesmas sebagai fasilitas kesehatan primer masyarakat dalam penanganan COVID-19.

Dari 647 puskesmas, ada kekurangan berbagai APD esensial.

Kondisi ini menurutnya sulit untuk mengoptimalkan kineja penanganan pandemi di tengah masyarakat.

“Kita mesti melakukan transformasi layanan primer kita. Jika kita tidak melakukannya dan melakukan perkuatan political will, susah kita kalau cuma terus-terusan cerita tentang rumah sakit,” ujarnya.

Di sisi lain, Pakar Komunikasi Politik UI Prof. Effendi Gazali meminta kekompakan seluruh asosiasi kesehatan dan kementerian kesehatan.

Menurutnya, Konsil kedokteran Indonesia harus dibentuk berdasarkan wakil-wakil organisasi profesi yang ada di dalamnya.

“Kementerian komunikasi dan Kantor Staf Presiden juga harus sama-sama kompak. Ketika menyampaikan pesan kepada masyarakat, juru bicara yang berbicara, dan jika ada yang
kurang atau perlu ditambahkan baru presiden berbicara. Kita harus tertib,” pungkasnya.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved