Komnas HAM Soroti Hak Atas Kesehatan Hingga Hak Pilih dan Dipilih dalam Pilkada Serentak 2020
Yang menjadi penting adalah bagaimana pemerintah segera membuat kebijakan terpusat terutama kaitannya dengan penanganan pandemi.
Penulis:
Gita Irawan
Editor:
Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komnas Hak Asasi Manusia menyoroti hak atas kesehatan hingga hak pilih dan dipilih dalam penyelenggaraan Pilkada serentak 2020.
Komisioner Komnas HAM RI Hairansyah menjelaskan berdasarkan hasil temuan Komnas HAM dalam proses pra pemilihan, Komnas HAM di antaranya menemukan fasilitas kesehatan yang tidak memadai di beberapa daerah jika daerah tersebut mendapatkan lonjakan kasus yang cukup besar akibat Pilkada.
"Tapi tentu dalam kondisi pandemi yang sekarang terjadi itu fasilitas kesehatan di beberapa daerah tidak cukup memadai dan termasuk juga soal anggaran terbatas," kara Hairansyah dalam Peluncuran Hasil Pemantauan Pilkada Serentak 2020 secara daring pada Jumat (5/3/2021).
Kemudian, kata dia, tidak ada jaminan dari penyelenggara, atau dari negara, atau dari pemerintah atas kesehatan bagi petugas pasca Pilkada.
"Jadi yang ada itu adalah uang santunan misalkan. Tapi bagaimana kesehatan mereka setelah pemilihan dan kemudian terpapar dan seterusnya, ini hampir tidak ada jaminan untuk itu," kata Hairansyah.
Walaupun pemerintah menyiapkan berbagai fasilitas isolasi, kata dia, tetapi terkait dengan penyelenggaraan, petugas penyelenggara perlu mendapat perhatian tersendiri karena tugas-tugasnya memiliki risiko terpapar yang cukup tinggi.
Baca juga: Pihak Transjakarta Selidiki Pengendara Motor yang Paksa Masuk Jalur Busway dan Marahi Petugas
Selain itu, Hairansyah juga menyoroti terkait saksi yang tidak diwajibkan untuk rapid atau swab test.
"Jadi petugas dirapid, tapi kemudian saksi tidak ada kewajiban untuk dirapid. Jadi ini juga persoalan lain yang harusnya sebenarnya dalam konteks antisipasi ini bisa dihindarkan," kata dia.
Terkait dengan pelanggaran teknis, kata dia, pihaknya masih menemukan pelanggaran yang dilakukan oleh KPPS.
Dalam hal ini, Hairansyah mencontohkan kasus di mana Ketua KPPS di satu lokasi mencoblos surat suara yang ada untuk calon tertentu.
"Kemudian ada yang membuka kotak suara tidak sesuai ketentuan yang berlaku, adanya kekurangan atau kelebihan surat suara, surat suara tertukar juga terjadi antara TPS yang satu dengan yang lain. Ini saya kira juga soal-soal yang terjadi sebelum pandemi," kata dia.
Selain itu, kata dia, pihaknya juga menemukan adanya warga yang kehilangan hak pilih di Desa Dosi, Kecamatan Aru Tengah Timur, berkaitan dengan konflik-konflik masyarakat adat.
Baca juga: Dirjen Dukcapil Tanggapi Soal Urusan Birokrasi yang Masih Pakai Fotokopi KTP
"Hilangnya hak pilih di TPS Desa Administrasi Wailola, Kecamatan Bula, Kabupaten SBT karena tidak terdafftar dalam DPT dan tidak mendapatkan surat pemberitahuan untuk memilih, padahal mereka memiliki identitas lengkap namun ditolak oleh panitia," kata Hairansyah.
Oleh karena itu, kata dia, Komnas HAM menyampaikan sejumlah rekomendasi di antaranya terkait dengan aspek protokol kesehatan dan kepemiluan
"Saya kira yang menjadi penting adalah bagaimana pemerintah segera membuat kebijakan terpusat terutama kaitannya dengan penanganan pandemi. Kalau kemudian tarohlah pandemi ini tidak berakhir sampai pemilu yang akan datang. Tentu ini menjadi catatan penting. Kita berharap tidak terjadi lagi," kata dia.
Kemudian mendorong kepada pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri dan DPR RI untuk membuat Undang-Undang di bidang kepemiluan yang lebih adaptif terhadap situasi pandemi Covid19 ataupun gangguan bencana non alam lainnya.
"Kesehatan publik dan kesehatan penyelenggara menjadi perhatian serius terutama petugas penyelenggara untuk dipastikan dapat terfasilitasi dengan baik," kata dia.
Selain itu ia juga menyoroti proses perekaman E-KTP.
Menurutnya hal itu penting menjadi bagian yang harus tetap diperhatikan karena E-KTP menjadi syarat untuk memiliki hak pilih maka pemerintah punya kewajiban untuk memastikan itu bisa berjalan.
Kemudian, kata dia, perlunya peningkatan integritas, kapasitas, profesionalisme dan independesi penyelenggara pemilu serta pemberian kewenangan yang lebih kuat kepada Bawaslu.
"Kami melihat ada banyak keputusan Bawaslu yang sudah dilakukan Bawaslu yang kemudian dimentahkan oleh lembaga lain dalam hal ini misalkan PTUN. Misalkan kewenangan untuk mendiskualifikasi cataran kami ada enam bahkan tujuh mungkin yang sudah didiskualifikasi Bawaslu tapi dalam implementasinya digugat lagi melalui PTUN dan kemudian itu dibatalkan," kata dia.
Penting juga bagi KPU dan Bawaslu, lanjut dia, untuk memastikan terselenggaranya pilkada dengan memperhatian prinsip one man one vote.
"Harus dipastikan bagiman suara pemilih ketika dia menggunakan hak pilihnya dan kemudian dipastikan secara murni sampai ke level paling tinggi di penetapan hasil akhir misalkan, mereka suaranya tidak berubah. Karena di beberapa kasus terjadi perubahan suara misalkan. Baik itu yang dilakukan oleh tim tertentu maupun penyelenggara yang kemudian ini juga menyangkut penegakan hukumnya," kata dia.