Polisi Tembak Polisi
Saksi: Bharada E Disebut Paham Perbuatan Pidana, Tapi Terpaksa Bunuh Brigadir J karena Diperintah
Ahli Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel menyebut kalau, Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E memahami pembunuhan Brigadir J.
Penulis:
Rizki Sandi Saputra
Editor:
Wahyu Aji
Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel menyebut kalau, Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E memahami terkait apa yang dilakukannya sehingga menghilangkan nyawa Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir J dalam insiden penembakan 8 Juli lalu.
Akan tetapi kata Reza, Richard Eliezer kehendak untuk menembak itu tidak ada dalam diri yang bersangkutan, sebab, tindakannya itu datang atas perintah dari atasannya yakni Ferdy Sambo.
Dengan adanya kondisi tersebut, maka Bharada E kata Reza, merupakan pelaku tindak pidana yang hanya bertanggungjawab sebagian.
Keterangan itu diungkap Reza saat dihadirkan sebagai ahli meringankan oleh kuasa hukum Bharada Eliezer dalam sidang lanjutan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
"Dalam khasanah psikologi Forensik untuk menakar pertanggungjawaban seseorang dibutuhkan dua hal yaitu pertama cognitive competence, artinya seberapa jauh kapasitas memahami perbuatan yang dilakukan. Yang kedua, berbicara kehendak bersangkutan melakukan perbuatan," kata Reza dalam persidangan, Senin (26/12/2022).
Lebih lanjut, dirinya merujuk pada perspektif messo terkait interaksi Ferdy Sambo dengan Richard. Kata dia, sejatinya kondisi interaksi itu harus dipahami secara spesifik dan konkret.
"Secara messo saya sudah sampaikan bahwa interaksi antara RE dan FS harus dipahami secara spesifik dan konkret. Di ruangan itu bagaimana dan apa yang terjadi (kita) tidak tahu," kata dia.
Kemudian, Reza juga merujuk pada penelitian eksperimental Milgram tentang tingkat kepatuhan seseorang yang dinilai relevan dalam kasus tewasnya Brigadir J ini.
Kata dia, temuan tersebut dapat dikaji dalam persidangan tersebut, sebab, dalam hasilnya didapatkan kalau Bharada E memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi sebagai anggota Polri.
"Temuan, Milgram relevan dikaji dalam persidangan ini," kata dia.
Tak hanya Reza Indragiri, dalam persidangan ini tim kuasa hukum Bharada Eliezer juga menghadirkan Ahli Filsafat Moral Romo Franz Magnis-Suseno.
Baca juga: Punya Kepatuhan yang Tinggi, Ahli Psikologi Sarankan Richard Eliezer Punya Daya Kritis
Dalam persidangan, Romo Magnis mengugkapkan, mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo sebagai pemberi perintah memiliki pertanggung jawaban paling besar dalam peristiwa penembakan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.
Sebabnya, ada kemungkinan si penerima perintah dalam hal ini Bharada E dan beberapa terdakwa lainnya berada dalam kondisi terancam jika tak melaksanakan perintah.
"Mungkin dia juga terancam kalau tidak melaksanakan perintah," katanya di dalam di dalam sidang agenda pemeriksaan saksi yang meringankan terdakwa Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu alias Bharada E pada Senin (26/12/2022).
Sayangnya, dalam pemberian perintah Romo Franz menilai minimnya budaya tanggung jawab bagi di pemberi perintah.
"Ada satu budaya di mana orang sepertinya tidak dididik dan tidak dilatih untuk bertanggung jawab, jadi lalu ya ikut saja diperintahkan," katanya.
Oleh sebab itu, disebutnya bahwa pihak penerima perintah cenderung memiliki tanggung jawab yang lebih kecil. Terlebih ketika perintah itu diberikan dalam waktu yang singkat.
"Itu terjadi dalam, tersedia beberapa detik untuk mengambil sikap dalam kasus ini. Jadi jelas menurut saya jelas tanggung jawab yang memberi perintah itu, jauh lebih besar."
Dalam kesaksiannya sebagai saksi ahli yang meringankan pada hari ini, Romo Frans juga menjelaskan adanya dua unsur yang dapat meringankan Richard dari sisi filsafat etika.
Pertama, adanya relasi kuasa dalam peristiwa penembakan terhadap Brigadir J yang dilakukan berdasarkan perintah Ferdy Sambo,
Terutama, di dalam kepolisian terdapat budaya menaati atasan. Di mana pada peristiwa tersebut, Ferdy Sambo merupakan atasan Richard dengan pangkat dan kedudukan yang jauh lebih tinggi.
Baca juga: 11 Poin Penting Hasil Tes Psikologis Bharada E: Cenderung Patuh, Terbukti Jujur, Alami Hipomania
"Orang yang berkedudukan tinggi yang berhak memberi perintah, di dalam kepolisian tenu akan ditaati. Budaya laksanakan itu adalah usur yang paling kuat," katanya di dalam persidangan pada Senin (26/12/2022).
Kedua, adanya keterbatasan waktu pada saat peristiwa, sehingga Richard dianggap tak dapat mempertimbangkan dengan matang.
Keterbatasan waktu yang hanya dalam hitungan detik itu disebut Romo Frans dapat membuat bingung Richard, antara melaksanakan perintah atau tidak.
"Tidak ada waktu mempertimbangkan secara matang," ujarnya.
"Menurut saya, itu dua faktor yang secara etis sangat meringankan," tukas Romo Magnis.
Diketahui, Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir Yoshua menjadi korban pembunuhan berencana yang diotaki Ferdy Sambo pada 8 Juli 2022 lalu.
Brigadir Yoshua tewas setelah dieksekusi di rumah dinas Ferdy Sambo, Duren Tiga, Jakarta Selatan. Pembunuhan itu terjadi diyakini setelah Putri Candrawathi bercerita kepada Ferdy Sambo karena terjadi pelecehan seksual di Magelang.
Ferdy Sambo saat itu merasa marah dan menyusun strategi untuk menghabisi nyawa dari Yoshua.
Dalam perkara ini Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Bripka Ricky Rizal alias Bripka RR, Kuwat Maruf dan Bharada Richard Eliezer alias Bharada didakwa melakukan pembunuhan berencana.
Kelima terdakwa didakwa melanggar pasal 340 subsidair Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP dengan ancaman maksimal hukuman mati.
Tak hanya dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J, khusus untuk Ferdy Sambo juga turut dijerat dalam kasus perintangan penyidikan atau obstruction of justice bersama Hendra Kurniawan, Agus Nurpatria, Chuck Putranto, Irfan Widianto, Arif Rahman Arifin, dan Baiquni Wibowo.
Para terdakwa disebut merusak atau menghilangkan barang bukti termasuk rekaman CCTV Komplek Polri, Duren Tiga.
Baca juga: Reza Indragiri Sebut Seragam Ferdy Sambo Jadi Sebab Bharada E Semakin Tertekan saat Kejadian
Dalam dugaan kasus obstruction of justice tersebut mereka didakwa melanggar Pasal 49 juncto Pasal 33 subsidair Pasal 48 ayat (1) juncto Pasal 32 ayat (1) UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 dan/atau dakwaan kedua pasal 233 KUHP subsidair Pasal 221 ayat (1) ke 2 KUHP juncto pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP.