Tata Tertib DPR
Respons Polemik Tatib DPR, Anggota Baleg Usul Pembentukan UU yang Atur Evaluasi Pejabat Negara
Seperti diketahui DPR kini punya kewenangan untuk mengevaluasi berkala pejabat negara yang menjabat lewat proses uji kelayakan dan kepatutan.
Penulis:
Chaerul Umam
Editor:
Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Fraksi Partai Golkar, Ahmad Irawan, mengusulkan pembentukan Undang-Undang (UU) yang mengatur mengenai mekanisme pengangkatan dan pemberhentian, termasuk evaluasi objektif pejabat negara.
Hal itu disampaikannya merespons polemik revisi Tata Tertib (Tatib) DPR.
Seperti diketahui DPR kini punya kewenangan untuk mengevaluasi berkala pejabat negara yang menjabat lewat proses uji kelayakan dan kepatutan atau fit and proper test.
"Ke depan saya sendiri berpendapat itu memang penting untuk kita memiliki Undang-Undang itu terkait dengan reorganisasi lembaga-lembaga negara ini," kata Irawan kepada Tribunnews.com di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (6/2/2025).
Irawan menjelaskan bahwa di Indonesia hanya mengatur mengenai pemberhentian presiden dan wakil presiden.
Sementara untuk pemberhentin pejabat negara tidak diatur dalam menisme pemberhentian atau pemazulan.
Menurutnya perlu ada UU tersendiri untuk mengatur evaluasi objektif para pejabat negara.
Hal ini yang nantinya akan menjadi problem ke depannya, jika hanya diatur pada level tatib DPR.
"Karena masing-masing undang-undang yang mengatur kelembagaan negara tersebut telah mengatur terkait dengan proses evaluasi kelembagaan, evaluasi pelaporan, terus pengangkatan dan pemberhentiannya. Mereka sudah punya undang-undangan tersendiri," ucap anggota Komisi II DPR RI itu.
"Sehingga praktis sebenarnya tatib ini hanya mengikat kita dalam bekerja, memberikan wewenang dan tugas dan fungsi bagi kita untuk melakukan evaluasi terhadap jabatan publik itu," imbuhnya.
Lebih lanjut, Irawan menilai perlunya adanya evaluasi terhadap pejabat negara.
Dia menyinggung relasi antara DPR dengan pejabat negara setelah mendapat persetujuan dari DPR.
"Karena banyak juga memang mitra-mitra lembaga negara kita ini, setelah terpilih rapat pun enggak datang rapat," kata Irawan.
"Jadi proses prinsip check and balance-nya itu enggak seperti yang kita bayangkan gitu. Jadi terputus dia, maksudnya hubungan itu terputus setelah dia dilantik oleh presiden dan wakil presiden," lanjutnya.
Ia menjelaskan, konsep kekuasaan yang didapat oleh pejabat negara, sejatinya bersumber dari rakyat.
Dalam hal ini, rakyat memberikan suaranya dalam pemilu untuk memilih anggota legislatif (DPR, DPRD, DPRD) dan eksekutif (presiden dan wakil presiden).
Sehingga, pejabat negara yang mendapat persetujuan dari DPR, harus pula dievaluasi oleh si pemberi persetujuan, yakni DPR.
"Kita harus bisa melihat itu ke konsep bahwa kekuasaan yang didapat oleh lembaga-lembaga negara itu Itu kan origin powernya, asal dari kekuasaan itu itu kan dari rakyat, terus kemudian rakyat memberikannya melalui mekanisme pemilu, ada DPR, ada presiden," ujarnya.
"Dan di DPR ini mereka kan ada sebagian besar lembaga negara yang itu derajatnyaa constitutional importance, maksudnya lembaga-lembaga negara ini yang dianggap penting, komisioner dan pimpinannya itu kan harus di-approve harus mendapatkan persetujuan dari DPR," imbuhnya.
Sehingga, kata Irawan, dengan evaluasi yang diberikan kepada pejabat negara bisa menjaga marwah DPR.
Disahkan DPR
Untuk diketahui, DPR RI telah mengesahkan revisi perubahan peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang tata tertib (Tatib) DPR.
Pengesahan itu dilakukan dalam Rapat Paripurna ini digelar di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (4/2/2025).
DPR kini bisa mengevaluasi pejabat yang ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.
Itu artinya, semua pejabat negara yang ditetapkan dalam rapat paripurna DPR bisa dievaluasi oleh DPR.
Misalnya pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Kapolri, Panglima TNI, Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), hakim Mahkamah Agung (MA) dan sebagainya.
Hasil revisi tersebut, dinilai membuka ruang bagi DPR untuk mengevaluasi secara berkala pejabat negara yang telah dipilih dengan rekomendasi pemberhentian.
Mengutip Kompas.id, perubahan aturan tersebut dinilai sangat fatal dan merusak ketatanegaraan karena seharusnya Peraturan Tata Tertib DPR hanya bisa mengatur lingkup internal.
Namun ternyata usulan merevisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib) datang dari Mahkamah Kehormatan DPR (MKD), Senin (3/2/2025).
MKD mengusulkan untuk dilakukan penambahan satu pasal dalam revisi Tatib DPR yakni Pasal 228A.
Dalam bunyinya pasal tersebut menjelaskan, dalam rangka meningkatkan fungsi pengawasan dan menjaga kehormatan DPR terhadap hasil pembahasan komisi, DPR dapat melakukan evaluasi secara berkala terhadap calon yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.
Hasil evaluasi itu bersifat mengikat dan disampaikan oleh komisi yang melakukan evaluasi kepada pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme yang berlaku.
Setelah merevisi kilat tatib tersebut, pimpinan DPR langsung menggelar rapat Badan Musyawarah (Bamus) untuk menentukan pembahasan revisi Tatib DPR di Badan Legislasi (Baleg) DPR.
Kemudian dalam tahapannya, pembahasan revisi Tatib DPR di Baleg selesai dengan waktu kurang dari 3 jam.
Perubahan tatib ini disetujui oleh seluruh fraksi partai politik dan telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR pada Selasa (4/2/2025) siang.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.