Penulisan Ulang Sejarah RI
Sejarawan Tak Setuju Jika Penulisan Ulang Sejarah RI Cuma Tunjukkan Hal Baik Saja: Nggak Ada Gunanya
Sejarawan, Anhar Gonggong menyebutkan bahwa pada masa pemerintahan orde baru banyak hal negatif juga yang terjadi, tak hanya hal-hal positif saja.
Penulis:
Rifqah
Editor:
Pravitri Retno W
TRIBUNNEWS.COM - Sejarawan, Anhar Gonggong, menyatakan tidak setuju jika penulisan ulang sejarah Indonesia hanya menunjukkan hal-hal positif saja.
Pasalnya, menurut Anhar, pada masa pemerintahan orde baru itu banyak hal negatif juga yang terjadi.
Untuk diketahui, pemerintahan orde baru dikenal dengan sejarah panjang pelanggaran hak asasi manusia, penyalahgunaan kekuasaan, serta praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang berlangsung secara sistematis tanpa ada upaya serius hingga kini untuk memberikan keadilan kepada para korban.
"Saya kira kalau dia melakukan itu, salah besar. Karena bagaimanapun juga, persoalan Orde Baru yang kemudian diruntuhkan oleh reformasi, apa yang dilakukan selama Orde Baru itu kan banyak sekali hal-hal yang positif dan negatif," ujar Anhar, dikutip dari YouTube Kompas TV, Kamis (19/6/2025).
Apabila penulisan ulang sejarah itu hanya mau menunjukkan masa orde baru yang baik-baik saja, maka menurut Anhar, hal tersebut salah.
Bahkan, dia mengklaim penulisan ulang sejarah itu tidak akan ada gunanya.
"Jadi menurut saya, kalau sampai dia mau menulis dan mau menjadikan Orde Baru seakan-akan hanya baiknya saja, ya salah, nggak ada gunanya nulis, karena sudah banyak kok penelitian yang melakukan tentang itu," ungkapnya.
Anhar kemudian menyinggung mengenai wawancara yang mungkin akan dilakukan kepada tokoh-tokoh untuk kepentingan penulisan ulang sejarah ini.
"Pertanyaannya sederhana, bagaimana mereka menempatkan orang-orang yang sekarang, yang dulu adalah orang di sana pada waktu itu. Nah ini kan suatu persoalan."
"Bagaimana dia mau wawancara, lalu bagaimana dia menyeleksi apakah wawancara itu benar atau tidak, kan itu persoalan metode, itu yang harus juga dipikirkan mereka," jelas Anhar.
Karena alasan itu juga, Anhar tidak sepakat jika penulisan ulang sejarah hanya menunjukkan sisi positifnya saja.
Baca juga: Bicara soal Penulisan Ulang Sejarah Indonesia, Sejarawan Singgung Pelanggaran HAM 1998 Tak Disebut
Anhar juga mengatakan bahwa hal itu bisa jadi merugikan negara juga.
"Oleh karena itu, saya tidak sepakat kalau hanya mau menunjukkan yang baik-baik saja, nggak ada gunanya menulis, merugikan negara," katanya.
Fadli Zon Sebut Penulisan Ulang Sejarah Kedepankan Tone Positif
Sebelumnya, Fadli Zon meyakini, penulisan ulang sejarah nasional Indonesia bakal selesai dan dirilis pada tahun 2025 ini.
Dimungkinkan pada perayaan Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80, bangsa ini sudah memiliki tulisan terkait dengan sejarah nasional yang baru.
"Tahun ini (akan selesai), 80 tahun Indonesia merdeka," kata Fadli Zon saat ditemui awak media di Kawasan Taman Sriwedari, Depok, Minggu (1/6/2025).
Terkait penulisan ulang sejarah ini, Fadli Zon memastikan kalau apa yang akan ditulis mengedepankan tone positif terhadap sejarahnya bangsa Indonesia.
Termasuk dengan menghilangkan bias-bias kolonial sehingga menjadikan Indonesia sentris.
"Dan tone kita adalah tone yang lebih positif. Karena kalau mau mencari-cari kesalahan, mudah. Pasti ada saja kesalahan dari setiap zaman, setiap masa. Kita ingin sejarah ini Indonesiacentris. Mengurangi atau menghapus bahkan bias-bias kolonial," kata dia.
Menurut Fadli Zon, penulisan sejarah ulang ini juga penting agar relevan dengan generasi saat ini, karena sudah selama 26 tahun sejak tahun 1999, sejarah nasional Indonesia belum mendapatkan pembaruan.
"Dan tentu saja juga untuk menjadikan sejarah itu semakin relevan bagi generasi muda. Terutama adalah capaian-capaian yang positif. Kalau mau mencari-cari kesalahan atau mencari-cari hal yang negatif, saya kira itu selalu ada," beber dia.
"Jadi yang kita inginkan tone-nya dari sejarah kita itu adalah tone yang positif. Dari era Bung Karno sampai era Presiden Jokowi dan seterusnya," tukas Fadli Zon.
Dalam hal ini, Fadli Zon memastikan, pihaknya melibatkan 113 sejarawan dari berbagai perguruan tinggi di seluruh Indonesia dalam proyek penulisan ulang sejarah nasional.
"Ada 113 sejarawan ya, dari lebih dari 30-an perguruan tinggi dan juga para penulisnya dari Aceh sampai Papua," kata Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (26/5/2025).
Fadli menjelaskan, proyek ini bertujuan membangun kembali penulisan sejarah nasional yang selama ini dinilai masih banyak dipengaruhi perspektif kolonial.
Dengan melibatkan akademisi dari berbagai daerah, dia berharap sejarah dapat ditulis dengan pendekatan Indonesia sentris.
Respons Istana
Istana melalui Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO), Hasan Nasbi, juga menanggapi soal penulisan ulang sejarah Indonesia yang digagas oleh Menteri Kebudayaan, Fadli Zon.
Tentang persoalan penulisan sejarah ini, dia meminta publik untuk memberikan waktu kepada para sejarawan agar bekerja dulu.
"Ini kan sekarang semua dalam proses dan dalam proses ini terlalu banyak spekulasi-spekulasi yang menyatakan ini tidak ada, ini ada, coba kita biarkan para sejarawan ini menuliskan ini," kata Hasan di kantor PCO, Gambir, Jakarta, Senin (16/6/2025).
Hasan mengatakan, dalam penulisan sejarah tersebut, publik nantinya bisa melakukan pengawasan.
Selain itu, publik juga bisa melakukan koreksi terhadap sejarah yang ditulis nanti.
"Dan untuk nanti kita pantau kita pelototi kita periksa bareng-bareng," kata Hasan.
Hasan juga mengatakan, tidak ada alasan untuk meragukan independensi para sejarawan yang terlibat.
Sebab, mereka memiliki kredibilitas yang tidak akan mereka pertaruhkan demi kepentingan tertentu.
"Jadi kekhawatiran kekhawatiran semacam ini mungkin bisa jadi diskusi, tapi jangan divonis macam-macam dulu."
"Lihat saja dulu ya pekerjaan yang sedang dilakukan oleh para ahli sejarah dalam menulis sejarah Indonesia," kata Hasan.
Hasan pun menegaskan, proses ini bukan upaya menulis ulang sejarah, melainkan melanjutkan penulisan sejarah Indonesia yang selama ini terhenti.
Karena menurutnya, sudah cukup lama sejarah Indonesia tidak diperbarui secara komprehensif.
"Ini bukan menulis ulang tapi melanjutkan menulis sejarah Indonesia karena mungkin terakhir sejarah Indonesia ditulis tahun berapa? Tahun '98, tahun '97-'98 dan dari '98 ke sini tidak tidak ditulis lagi."
"Jadi kita lihat dulu mereka menulis apa sudah kita punya draft resminya nanti baru kita kita koreksi bareng-bareng," katanya.
(Tribunnews.com/Rifqah/Rizki/Taufik)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.