Senin, 1 September 2025

Inovasi Doktor Termuda IPB Deteksi Kerusakan Lingkungan dengan Berbasis Sains dan Teknologi

Nitya Ade Santi, doktor termuda IPB University, menghadirkan inovasi berbasis sains dan teknologi untuk mendeteksi dampak karhutla secara lebih akurat

Editor: Content Writer
Istimewa
INOVASI ANAK MUDA - Nitya Ade Santi, doktor termuda IPB University, menghadirkan inovasi berbasis sains dan teknologi untuk mendeteksi dampak karhutla secara lebih akurat. Tak sekadar menghitung luas area yang terbakar, ia mampu mengungkap jenis tutupan lahan yang terdampak, nilai kerugian ekonomi, hingga potensi daya dukung lingkungan yang hilang.   

TRIBUNNEWS.COM - Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) masih sering terjadi di Indonesia. Kendati angkanya relatif menurun, jumlah kejadian tersebut masih sangat signifikan.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat kasus kebakaran hutan dan lahan  mencapai 2051 kasus pada 2023, sementara  629 kasus terjadi sepanjang 2024.  Hal ini juga ditambah belum adanya teknologi yang mumpuni dan metode yang dapat mendeteksi jenis-jenis tutupan di lahan yang terbakar.`

Namun, di balik tantangan itu, seorang anak muda Indonesia menghadirkan secercah harapan lewat inovasi berbasis sains dan teknologi. Nitya Ade Santi, perempuan kelahiran Karanganyar, Jawa Tengah, yang mencatat sejarah sebagai doktor termuda IPB University.

Lewat disertasinya dengan judul “Pengembangan Metode Pengukuran Tingkat Keparahan Kebakaran dan Regenerasi Vegetasi Menggunakan Analisis Multi-Waktu Langsung”, Nitya mengembangkan metode baru untuk mendeteksi dampak kebakaran hutan dan lahan secara lebih akurat. 

Tak sekadar menghitung luas area yang terbakar, ia mampu mengungkap jenis tutupan lahan yang terdampak, nilai kerugian ekonomi, hingga potensi daya dukung lingkungan yang hilang.  

“Selama ini kita hanya tahu luasan lahan yang terbakar, tapi tidak tahu apa yang terbakar. Apakah hutan primer, semak, atau kebun rakyat. Padahal informasi itu sangat penting,” ujar Nitya.

Berbekal citra satelit yang dapat diakses secara terbuka, Nitya merancang pendekatan multi-temporal analysis yang memungkinkan otoritas untuk memantau perubahan kondisi lahan sebelum dan sesudah kebakaran, serta mendapatkan informasi lebih detail tentang keberadaan lahan tersebut dan menghitung dampak , terutama dari sisi ekonomi. 

Nitya menambahkan, metodologi ini sebenarnya telah digunakan negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Australia, dan sejumlah negara Eropa. Bahkan salah satu unit dari badan antariksa AS, NASA, juga menerapkan teknologi ini. Namun mengingat kondisi alam tiap negara itu berbeda, standar yang digunakan dalam menganalisis kebakaran juga tak sama.   

“Indonesia itu negeri tropis, makanya lebih baik kita punya standar sendiri. Apalagi karakteristik kebakaran hutan di negara tropis dan subtropis ini memang beda,” paparnya. 

Selain telah dipublikasikan di jurnal ilmiah bergengsi mancanegara, penelitian Nitya menjadi materi acuan bagi Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau saat ini Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).

Tak kalah penting, hasil riset Nitya juga menjadi referensi penelitian untuk mengembangkan metode serupa dalam kasus-kasus bencana alam lain, seperti longsor atau banjir dan merekam perubahan tutupan lahan dari waktu ke waktu.

Baca juga: Inisiatif Tanoto Foundation Siapkan Generasi Berkualitas

Inovasi yang Lahir dari Keterbatasan

Di balik pencapaian akademik tersebut, tersimpan kisah hidup yang menggugah. Nitya berasal dari keluarga sederhana. Ibunya seorang guru, sementara ayahnya bekerja di pabrik teh. Namun keterbatasan ekonomi tidak menyurutkan semangat keluarganya untuk mendorong pendidikan anak-anak mereka setinggi mungkin. 

Selepas SMA, Nitya diterima di program studi Manajemen Hutan IPB University. Kesulitan finansial membuatnya harus mencari beasiswa agar bisa melanjutkan kuliah. Salah satu peluang yang ia incar adalah program beasiswa TELADAN dari Tanoto Foundation, sebuah program beasiswa yang dilengkapi dengan pelatihan pengembangan kepemimpinan terstruktur untuk meningkatkan soft-skill generasi muda Indonesia. 

“Awalnya malah enggak kepikiran bakal diterima beasiswa Tanoto Foundation karena itu beasiswa paling diminati dan bergengsi. Sering membuat kegiatan, ada award (penghargaan), dan fellow-nya sering dibawa jalan-jalan. Sejak seleksi administrasi, wawancara, dan segala macamnya, saya merasa enggak masuk ke deretan orang-orang pintar yang layak untuk dapat beasiswa Tanoto Foundation,” kenangnya seraya tertawa.  

Keraguan itu terpatahkan. Nitya diterima sebagai Tanoto Scholar dan sejak itu mendapat dukungan penuh, tidak hanya secara finansial, tetapi juga dalam bentuk pelatihan kepemimpinan, pembinaan karakter, hingga layanan konseling. 

Halaman
12
Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan