Jumat, 15 Agustus 2025

Dugaan Korupsi Pengadaan Satelit

Kubu Tersangka Dugaan Korupsi Proyek Satelit di Kemhan Bantah 'Sekongkol' dengan Navayo Soal Invoice

Kuasa hukum Laksamana Muda TNI (P) Leonardi membantah melakukan persengkongkolan dalam pembuatan invoice pengadaan satelit Kemhan.

Editor: Adi Suhendi
Tribunnews.com/Dany Permana
ILUSTRASI GEDUNG KEJAGUNG - Kuasa hukum Laksamana Muda TNI (P) Leonardi membantah melakukan persengkongkolan dalam pembuatan invoice pengadaan satelit Kemhan yang kini kasusnya diusut Kejaksaan Agung (Kejagung), Sabtu (19/7/2025). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kubu satu tersangka kasus dugaan korupsi proyek pengadaan satelit slot orbit 123 derajat bujur timur pada Kementerian Pertahanan (Kemhan) tahun 2012-2021, Laksamana Muda TNI (P) Leonardi membantah melakukan persengkongkolan dalam pembuatan invoice.

Kuasa hukum tersangka, Rinto Maha menyebut berdasarkan Permenhan Nomor 17 Tahun 2014, tudingan soal kliennya bersekongkol itu bertentangan dengan fakta administratif dan aturan hukum pengadaan negara.

"Klien kami bukan penentu kebijakan atau pengguna anggaran. Kedua, pengadaan proyek satelit di Kemhan telah dilakukan sesuai aturan Permenhan Nomor 17 Tahun 2014 dan pemenang pengadaan satelit orbit 123 BT diketahui Presiden Jokowi saat itu pada saat rapat terbatas," kata Rinto dalam keterangannya, Sabtu (19/7/2025).

Rinto menyebut kliennya hanya melaksanakan penandatanganan kontrak setelah DIPA tersedia, yakni pada Oktober 2016 dan bukan 1 Juli 2016 pada saat anggaran belum ada sebagaimana diberitakan atau dituduhkan.

Seluruh perencanaan, persetujuan alokasi anggaran, dan pengesahan kontrak, kata Rinto berada pada otoritas Pengguna Anggaran (PA) dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). 

Baca juga: BREAKING NEWS: 3 Terdakwa Korupsi Proyek Pengadaan Satelit Kemenhan Divonis 12 Tahun Penjara

Fakta hukum ini menjadikan tuduhan kliennya bersekongkol sebagai spekulasi yang tidak ditopang bukti formil yang sah.

Dia membeberkan laporan hasil audit BPKP tertanggal 12 Agustus 2022 yang menjadi batu pijakan penyidik Kejagung RI menetapkan kliennya sebagai tersangka itu menyatakan bahwa tagihan (invoice) yang diajukan Navayo belum pernah dibayarkan Kemhan.

Selanjutnya seluruh klaim kerugian negara bersifat potensi (potential loss), bukan kerugian nyata (actual loss).

Baca juga: Kejagung Koordinasi dengan Kemlu Untuk Periksa CEO Navayo Terkait Kasus Korupsi Satelit Kemhan

Padahal, kata Rinto, Pasal 1 angka 22 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016, unsur kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi harus nyata, pasti, dan aktual, bukan berdasarkan estimasi atau asumsi.

"Yang perlu digarisbawahi, invoice yang diajukan Navayo adalah bagian dari klausul kontraktual berdasarkan progres kerja yang mereka klaim. Invoice tersebut tidak diciptakan atau disahkan oleh klien kami, apalagi dibayar," ungkapnya.

"Bahkan, CoP (Certificate of Performance) yang menjadi dasar klaim invoice tersebut ditandatangani oleh pihak yang tidak berwenang sebagaimana dimaksud pada Permenhan No 17 Tahun 2014 yakni Panitia Penerimaan Hasil Pekerjaan yang diangkat oleh Pengguna Anggaran, bukan klien kami," sambungnya.

Rinto pun kembali menggaris bawahi soal diterimanya barang dari penyedia tidak sepengetahuan kliennya dan tidak menyetujui penerbitan CoP tersebut.

"Oleh karena itu, tidak ada alasan hukum untuk menyatakan bahwa Laksamana Muda TNI (P) Ir. Leonardi, MSc 'bersekongkol' dengan Navayo dalam pembuatan invoice," tuturnya.

Selanjutnya, tuduhan soal mengetahui tidak ada anggaran bertentangan dengan fakta administratif dan kehati-hatian tersangka Leonardi.

Menurutnya, pernyataan bahwa kliennya tetap melanjutkan pengadaan meskipun mengetahui tidak ada anggaran, adalah fitnah yang bertentangan dengan kronologi administratif.

"Faktanya, pada 1 Juli 2016, klien tidak menandatangani kontrak karena anggaran belum tersedia. Kontrak baru ditandatangani Oktober 2016, setelah keluarnya revisi DIPA oleh Kementerian Keuangan (Surat No. S2569/AG/2016),
Revisi RKA-KL oleh Dirjen Renhan Kemhan (11 Oktober 2016) dan pada saat sebelum menandatangani kontrak, Laksamana Muda TNI (P) Ir Leonardi MSc terlebih dahulu mengirimkan surat permohonan petunjuk kepada Pengguna Anggaran selaku penanggung jawab anggaran," jelasnya.

"Ini membuktikan bahwa klien kami menjalankan prinsip kehati-hatian, bukan melakukan perbuatan melawan hukum atau adanya penyalahgunaan wewenang pada saat menjabat," imbuhnya.

Rinto pun menyampaikan jika kliennya tidak pernah mendatangi kantor Navayo di Hungaria, hal ini bisa dibuktikan dengan LHP BPKP tanggal 12 Agustus 2022 dan menemukan fakta yang sebenarnya.

"Bahwa klien kami Laksamana Muda TNI (P) Ir Leonardi MSc justru telah bersurat ke Navayo pada awal 2017 untuk menghentikan pengiriman barang karena struktur pelaksanaan belum lengkap. Ia juga menginisiasi adendum kontrak sebagai langkah administratif korektif," ungkapnya.

Kemudian, kata Rinto, kliennya bukanlah pihak yang berwenang untuk memenangkan Navayo, karena dalam Permenhan No 17 Tahun 2014 itu adalah wewenang Pengguna Anggaran.

"Dan tindakan Leonardi untuk tidak menandatangani kontrak sebelum anggaran DIPA turun adalah bukti bahwa mens rea untuk menyalahgunakan wewenang tidak ada, tapi alih-alih dihargai, ia justru dijadikan tersangka," ucapnya.

Kata Rinto, pengguna anggaran dan pejabat struktural lain yang seharusnya mengendalikan pelaksanaan, luput dari proses hukum. 

Berdasarkan penelitian fakta hukum dalam kasus tersebut, Rinto menyebut jika kliennya tidak membela wanprestasi atau kecurangan Navayo yang tidak memberikan jaminan pelaksanaan sebesar 5 persen dan kesepakatan mengenai transfer teknologi kepada PT LEN.

Kemudian, kliennya tidak pernah secara aktif untuk melobi atau berkomunikasi dengan penyedia atau mendatangi kantor Navayo di Hungaria berdasarkan LHP BPKP tanggal 12 Agustus 2025.

Pemenang tender pengadaan barang dan jasa di atas Rp 100 Miliar berdasarkan aturan Permenhan No 17 Tahun 2014 adalah kewenangan Pengguna Anggaran.

"Bahwa kami mendukung agar proses penegakkan hukum yang dilakukan Kejagung dapat membuka fakta yang sebenarnya namun tidak mengorbankan orang yang bekerja secara jujur," ungkapnya.

Atas hal itu, bahwa atas permasalahan tersebut, pihaknya telah mendaftarkan gugatan Praperadilan soal penetapan tersangka Laksamana Muda TNI (P) Leonardi yang dilakukan Penyidik Koneksitas Kejagung RI di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan Nomor perkara : 85/Pid.Pra/2025/PN JKT.SEL pada tanggal 16 Juli 2025.

Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan tiga orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan satelit slot orbit 123 derajat bujur timur pada Kementerian Pertahanan (Kemhan) tahun 2012-2021.

Adapun proyek tersebut terkait pelaksanaan pengadaan berdasarkan Agreement for the Provision of User Terminals and Related Services and Equipment antara Navayo International AG dan Kemhan tanggal 1 Juli 2016 berikut Amandement Nomor 1 to the Agreement for the Provision of User Terminal and Related Services and Equipment tanggal 15 September 2016 pada Kemhan.

"Penyidik pada Jampidmil telah menetapkan tersangka berdasarkan surat perintah nomor sprin 78A/PM/PMpd.1/05/2025 tanggal 5 Mei 2025," kata Kapuspenkum Kejagung saat itu, Harli Siregar kepada wartawan, Rabu (7/5/2025).

Adapun tiga orang tersangka yakni pertama, Laksamana Muda TNI (Purn) L selaku Kepala Badan Sarana Pertahanan Kementerian Pertahanan dan selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). 

Kedua, ATVDH selaku perantara dan ketiga, GK selaku CRO Navayo International AG.

Harli menjelaskan kasus ini berawal saat Kemhan melalui tersangka L menandatangani kontrak dengan tersangka GK pada Juli 2016 soal perjanjian untuk penyediaan terminal pengguna jasa dan peralatan yang perjanjian itu senilai USD 34.194.300 dan berubah menjadi USD 29.900.000.

Harli menyebut bahwa penunjukan Navayo International AG sebagai pihak ke-3 itu tanpa melalui proses pengadaan barang dan jasa di mana Navayo International AG juga merupakan rekomendasi dari tersangka ATVDH.

Lalu kata Harli, Navayo International AG mengakui telah melakukan pekerjaan berupa pengiriman barang kepada Kementerian Pertahanan RI atas prestasi pekerjaan tersebut.

Kemudian empat buah surat Certificate of Performance (CoP) atau sertifikat kinerja terhadap pekerjaan yang telah dilaksanakan oleh Navayo International AG yang disiapkan ATVDH tanpa dilakukan pengecekan terhadap barang yang dikirim terlebih dahulu ditandatangani oleh  Letkol Tek Jon Kennedy Ginting dan Kolonel Chb Masri  atas persetujuan Mayor Jenderal TNI (Purn) Bambang Hartawan dan tersangka L.

"Pihak Navayo International AG melakukan penagihan kepada Kemhan RI dengan mengirimkan empat invoice (permintaan pembayaran dan CoP), namun sampai dengan tahun 2019 Kemhan RI tidak tersedia anggaran pengadaan satelit," ungkapnya.

Kemudian dilakukan pemeriksaan atas pekerjaan Navayo International AG oleh ahli satelit Indonesia atas permintaan penyidik koneksitas Jampidmil.

"Dengan kesimpulan pekerjaan Navayo International AG tidak dapat membangun sebuah Program User Terminal karena hasil pemeriksaan laboratorium terhadap handphone sebanyak 550 buah tidak ditemukan secure chip inti dari pekerjaan user terminal, hasil pekerjaan Navayo International AG terhadap user terminal tidak pernah diuji terhadap Satelit Artemis yang berada di Slot Orbit 1230 BT, dan barang-barang yang dikirim Navayo International AG tidak pernah dibuka dan diperiksa," tuturnya.

Kemudian Kemhan RI diharuskan membayar USD 20.862.822 berdasarkan Final Award Putusan Arbitrase Singapura karena telah menandatangani CoP.

Sementara menurut perhitungan BPKP, kegiatan yang telah dilaksanakan oleh Navayo International AG berdasarkan nilai kepabeanan sebesar IDR 1.92 miliar.

Lalu, untuk memenuhi kewajiban pembayaran sejumlah USD 20.862.822 berdasarkan Final Award Putusan Arbitrase Singapura dan permohonan penyitaan Wisma Wakil Kepala Perwakilan Republik Indonesia, rumah dinas Atase Pertahanan dan rumah dinas (apartemen) Koordinator Fungsi Politik KBRI di Paris oleh Juru Sita (Commissaires de justice) Paris.

Hal itu berdasar putusan pengadilan Paris yang mengesahkan Putusan Tribunal Arbitrase Singapura tanggal 22 April 2021 yang dimohonkan oleh Navayo International AG atas putusan Arbitrase International Commercial Court (ICC) Singapura.

Atas hal itu, perbuatan itu merupakan Tindak Pidana Korupsi Koneksitas yaitu dengan sengaja secara bersama-sama melakukan perbuatan melawan hukum dalam proses pengadaan User Terminal untuk Slot Orbit 1230 BT pada Kemhan RI.

Direktur Penindakan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Militer (Jampidmil) Kejagung, Brigjen TNI Andi Suci mengatakan jumlah kerugian negara yakni puluhan juta dolar Amerika.

"Perhitungan dari BPKP kegiatan yang telah dilaksanakan oleh Navayo International AG telah menimbulkan kerugian negara sebanyak 21.384.851,89 USD," kata Andi dalam konferensi pers Rabu (7/5/2025).

Jumlah itu jika dikonversi ke rupiah dengan kurs dolar saat itu kurang lebih Rp15 ribu, makan kerugian negara mencapai Rp 300 miliar atas proyek ini.

"Untuk kerugian negara di rupiahkan sekitar Rp300 miliar kalau kala itu Rp15 ribu kurang lebih 1 dolar," ungkapnya

Adapun Pasal yang disangkakan Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat satu kesatu juncto Pasal 64 KUHP.

Tersangka juga dijerat dengan subsider Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat 1 kesatu, juncto Pasal 64 KUHP.

"Lebih subsider Pasal 8 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 kesatu juncto Pasal 64 KUHP," tukasnya.

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan