Wawancara Eksklusif
WAWANCARA EKSKLUSIF: Wamen Viva Yoga Ungkap Misi Transmigrasi Era Prabowo untuk Pemerataan Ekonomi
Wamen Viva Yoga beberkan misi transmigrasi era Prabowo: bukan sekadar pindah penduduk, tapi bangun ekonomi nasional.
Penulis:
Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor:
Acos Abdul Qodir
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Wakil Menteri Transmigrasi Viva Yoga Mauladi menegaskan bahwa program transmigrasi di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto telah mengalami perubahan paradigma. Tidak lagi sekadar memindahkan penduduk dari wilayah padat ke daerah sepi, transmigrasi kini diarahkan untuk menciptakan pemerataan ekonomi dan membuka potensi baru di berbagai wilayah Indonesia.
Dalam wawancara eksklusif bersama Tribunnews di Studio Tribunnews, Palmerah, Jakarta, Rabu (27/8/2025), Viva menyampaikan bahwa transmigrasi bukan hanya soal distribusi penduduk, tetapi juga strategi pembangunan nasional yang menyentuh aspek sosial, ekonomi, dan ketahanan pangan.
“Ada target-target utama, ada wujud dari nantinya adalah pemerataan ekonomi, perkembangan ekonomi, ada daerah ekonomi baru, potensi-potensi,” ujar Viva.
Anggota DPR RI periode 2019–2024 ini juga mengungkap tiga amanat Presiden Prabowo yang menjadi landasan kerja Kementerian Transmigrasi saat ini.
"Pertama, menjaga dan merawat Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perpindahan penduduk dari daerah padat ke daerah longgar akan menciptakan interaksi sosial, akulturasi, dan asimilasi. Melalui pernikahan dan kehidupan bersama, perbedaan suku, adat, dan budaya bisa menyatu dan memperkuat rasa kebangsaan," jelasnya.

Baca juga: WAWANCARA EKSKLUSIF: Putra Amrozi, Pelaku Bom Bali — Dari Bayang Teror ke Pengibar Merah Putih
Berikut kutipan wawancara selengkapnya:
Pak Viva, menjelang akhir bulan Agustus ini, bagaimana Bapak melihat semangat peringatan Hari Kemerdekaan? Apakah nilai-nilai kemerdekaan masih terasa membara di tengah masyarakat?
Viva: Ya, kemarin kami menghadiri upacara di Istana Negara untuk mengikuti detik-detik proklamasi. Sorenya, kami juga ikut dalam prosesi penurunan bendera. Keesokan harinya, ada pawai karnaval, dan seluruh kementerian diminta berpartisipasi. Jadi, suasana kemerdekaan benar-benar terasa dan menjadi bagian dari kebersamaan seluruh elemen bangsa.
Suasana kemerdekaan harus menjadi bagian dari kebersamaan masyarakat Indonesia. Kita tidak lagi berjuang dengan tumpah darah seperti para pahlawan dulu, tapi mengisi kemerdekaan dengan ide dan inovasi untuk pembangunan nasional. Bangsa yang merdeka harus berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan memiliki kepribadian dalam kebudayaan.
Nilai-nilai itu pasti diturunkan ke program-program di Kementerian Transmigrasi. Sekarang ini, transmigrasi tidak hanya soal perpindahan penduduk, tapi juga pemerataan ekonomi, pengembangan wilayah, dan penciptaan potensi-potensi baru.
Pak Viva, bisa disampaikan update terkait realisasi program di Kementerian Transmigrasi selama semester pertama tahun ini? Apa saja capaian yang sudah terlihat?
Viva: Ada tiga amanat dari Presiden Prabowo Subianto yang menjadi dasar berdirinya kembali Kementerian Transmigrasi sebagai kementerian tersendiri.
Pertama, menjaga dan merawat Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perpindahan penduduk dari daerah padat ke daerah longgar menciptakan interaksi sosial, akulturasi, dan asimilasi. Melalui pernikahan dan kehidupan bersama, perbedaan suku, adat, dan budaya bisa menyatu dan memperkuat rasa kebangsaan.
Kedua, mengentaskan kemiskinan. Negara memberikan tanah garapan kepada warga transmigran sebagai bagian dari reforma agraria. Tujuannya agar mereka bisa mengubah nasib setelah berpindah ke wilayah transmigrasi.
Ketiga, menjadikan kawasan transmigrasi sebagai lumbung pangan nasional. Banyak kawasan transmigrasi yang kini menjadi sentra produksi beras. Presiden ingin agar kawasan-kawasan ini berkontribusi dalam menumbuhkan swasembada pangan.
Tadi Bapak sempat menyampaikan bahwa sebelumnya program transmigrasi melibatkan banyak kementerian. Sekarang, bagaimana perubahannya? Apakah sudah menjadi satu fokus tersendiri dan masuk dalam prioritas nasional?
Viva: Konsep transmigrasi sekarang mengalami transformasi. Dulu bersifat top-down dan sentralistis, semuanya diatur oleh pemerintah pusat. Sekarang, berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009, transmigrasi bersifat bottom-up dan desentralistik.
Artinya, pemerintah daerah yang menentukan apakah mereka membutuhkan warga transmigrasi atau tidak. Pusat hanya memfasilitasi. Misalnya, kalau ada pendaftaran untuk Sulawesi Barat, tapi Kabupaten Mamuju tidak membuka kebutuhan, maka tidak bisa dilaksanakan.
Contohnya di Kabupaten Sikka, NTT. Saya bertemu dengan Bupatinya, dan beliau ingin membuka kawasan transmigrasi di daerah terisolir untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi baru. Tapi ada syaratnya.
Pertama, harus mencadangkan lahan yang clean and clear—milik pemerintah daerah dan tidak tumpang tindih dengan kawasan kehutanan, korporasi, atau milik rakyat.
Kedua, komposisi warga. Bisa berasal dari transmigrasi lokal (antar desa atau kabupaten dalam satu provinsi) maupun transmigrasi umum. Seperti di Kabupaten Kubu Raya, ada satu desa yang setiap tahun terkena abrasi laut. Sekitar 400 kepala keluarga akan dipindahkan ke daerah yang lebih aman melalui program transmigrasi lokal.
Jadi, transmigrasi bukan sekadar program, tapi bagian dari strategi pembangunan nasional.
Pak Viva, masyarakat tentu sudah sangat familiar dengan istilah “transmigrasi”. Tapi sering kali muncul anggapan bahwa lokasi transmigrasi itu jauh dan terpencil. Bisa dijelaskan, berapa banyak daerah yang saat ini menjadi fokus pemerintah dalam program transmigrasi? Dan bagaimana proses penentuannya?
VIva: Saat ini terdapat 619 kawasan transmigrasi di seluruh Indonesia, dengan total luas sekitar 3,1 juta hektare. Dari jumlah tersebut, sebanyak 154 kawasan telah ditetapkan sebagai prioritas pembangunan nasional dan menjadi fokus utama Kementerian Transmigrasi. Kawasan-kawasan ini tersebar dari Aceh hingga Merauke.
Program revitalisasi kawasan ini bertujuan agar masyarakat di kawasan transmigrasi bisa meningkatkan pendapatannya. Kawasan transmigrasi dihuni oleh warga trans dan warga lokal. Tanggung jawab kami bukan hanya pada pemukiman warga transmigran, tetapi juga pada pemberdayaan dan pengembangan ekonomi masyarakat lokal.
Pak Viva, bagi masyarakat yang ingin ikut program transmigrasi, apa saja fasilitas atau dukungan yang mereka dapatkan dari pemerintah?
Viva: Sama, jadi kemarin itu saya ke Konawe Utara. Di sana ada warga trans yang hidup berdampingan secara selaras dengan masyarakat setempat.
Malah saya sangat terkejut karena ada bupati, kapolres, dan beberapa warga lokal yang menyerahkan sertifikat sebanyak seribu hektare kepada pemerintah daerah. Lahan itu dijadikan areal pencadangan calon warga transmigrasi dengan komposisi 80 persen warga trans lokal dan 20 persen transmigrasi umum.
Saya tanya, ini serius? Mereka jawab, serius. Kenapa? Karena mereka ingin punya tetangga. Mereka punya tanah yang luas, dan ingin agar tanah itu menjadi bagian dari kehidupan bersama, agar bisa membentuk desa.
Jadi konsep transmigrasi itu dari sesuatu yang tidak ada menjadi ada. Kalau pada masa lalu, tanahnya kosong. Mereka berjuang tanpa listrik, tanpa air bersih, tanpa AC.
Wah, dingin juga ya Pak di kawasan transmigrasi seperti itu?
Viva: Tanpa AC. Sudah dingin soalnya, tanpa AC. Tapi mereka tetap berjuang, beranak-pinak, dan akhirnya membentuk desa.
Ada 1.567 desa loh, hasil dari program transmigrasi sejak zaman Presiden Soekarno sampai Presiden Prabowo. Dari desa menjadi kecamatan, dari kecamatan menjadi kabupaten, dan dari kabupaten menjadi provinsi.
Saya banyak bertemu bupati yang mengatakan, “Saya anak transmigrasi.” Ada yang generasi kedua, bahkan generasi ketiga. Mereka merasakan langsung perpindahannya dan hidup rukun dengan warga lokal.
Kalau ada kasus, itu sifatnya spesifik. Tapi yang kami jumpai di banyak kawasan transmigrasi, mereka bergotong-royong dan bekerja sama sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Pak Viva, dari sekian banyak daerah transmigrasi, apakah ada satu wilayah yang paling melekat di ingatan Bapak—karena perkembangan ekonominya begitu pesat berkat program transmigrasi?
Viva: Di Kubu Raya, Kalimantan Barat. Rasuha Jaya itu dulunya daerah transmigrasi, sekarang sudah jadi ibu kota.
Di Metro Lampung, Tulang Bawang Barat, Mesuji, dan beberapa kabupaten di Bengkulu seperti Rejang Lebong, semua itu produk dari program transmigrasi. Dulu hutan belantara, lalu datang warga trans yang menggali, mengolah, dan menghidupkan tanah.
Tanah itu menghasilkan pendapatan, mereka melakukan kerja sosial, membentuk desa, lalu berkembang menjadi kecamatan.
Saya sering katakan bahwa konsep transmigrasi itu mewarisi ilmu leluhur. Ini perjuangan membangun peradaban.
Contohnya Tunggul Ametung, yang mengubah desa Tumapel menjadi pusat ekonomi dan kekuasaan: Kerajaan Singosari. Lalu Raden Wijaya, yang mengubah desa Tarik menjadi pusat Kerajaan Majapahit.
Begitu juga dengan transmigrasi. Ia menciptakan aktivitas ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Membangun pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru dari Sabang sampai Merauke. Agar Indonesia bergerak ekonominya, tidak hanya terfokus di Pulau Jawa.
Pak Viva, tadi Bapak sudah menjelaskan bahwa konsep transmigrasi saat ini telah mengalami perubahan. Nah, program-program seperti apa yang saat ini diterapkan untuk menjadikan daerah-daerah transmigrasi yang Bapak sebutkan tadi sebagai kawasan unggulan?
Viva: Secara prinsip, kami menerapkan pendekatan 5T. Yaitu: transmigrasi tuntas, transmigrasi lokal, transmigrasi patriot, transmigrasi karyanusa, dan transmigrasi gotong royong.
Transmigrasi tuntas itu menyelesaikan masalah status lahan. Ada beberapa kasus yang masih berkembang, dan itu akan kami selesaikan. Misalnya, lahan yang tumpang tindih dengan kawasan lain.
Hasil keputusan Komisi V DPR bersama Kementerian Transmigrasi beberapa minggu lalu menyatakan bahwa jika ada kawasan kehutanan di wilayah transmigrasi, maka Kementerian Kehutanan harus melepas hak hutannya.
Oh iya, itu keputusan Komisi V DPR yang terbaru ya, Pak. Tapi bagaimana dengan kasus-kasus tumpang tindih lahan yang melibatkan korporasi, BUMN, atau lembaga-lembaga lainnya?
Viva: Itu juga akan kami selesaikan secara bertahap dan eskalatif tahun ini, atau kalau belum selesai, tahun depan. Translokal lebih berorientasi pada pengembangan ekonomi. Ini menjadi salah satu strategi pembangunan.
Seperti yang saya ceritakan, ada beberapa desa yang terkena abrasi. Itu bisa dipindahkan atau ditransmigrasikan ke desa lain dalam satu kabupaten.
Kemarin saya juga ditelepon Bupati Tasikmalaya. Beliau ingin memindahkan salah satu desanya yang selalu terkena bencana alam ke daerah lain.
Saya bilang, coba koordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri, karena Tasikmalaya bukan kawasan transmigrasi. (Tribun Network/Yud).
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya
A member of

Follow our mission at www.esgpositiveimpactconsortium.asia
transmigrasi
Wakil Menteri Transmigrasi
Viva Yoga Mauladi
Penduduk
Kepadatan Penduduk
pemerataan ekonomi
ekonomi daerah
Pembangunan Daerah
Prabowo Subianto
SDG08-Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi
Wawancara Eksklusif
VIDEO EKSKLUSIF Lawan Kaesang di Bursa Calon Ketua Umum PSI: Kalau Pakai Hati, Saya Menang Banyak |
---|
VIDEO WAWANCARA EKSKLUSIF Novel Baswedan Soal Dugaan Manipulasi Batubara: Itu Perbuatan Jahat |
---|
VIDEO EKSKLUSIF Ledakan Rudal Membangunkanku Jam 3 Pagi – Ini Kisah Nyata dari Iran |
---|
VIDEO EKSKLUSIF Warga AS Cemas Keputusan Trump Bantu Israel Timbulkan Perang Dunia Ketiga |
---|
VIDEO EKSKLUSIF Nasir Djamil: Masyarakat Aceh Marah, Tuntut Empat Pulau Itu Kembali ke Provinsi Aceh |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.