Paradoks Gen Z di Dunia Modern, Terdidik tapi Tidak Siap Kerja?
Generasi Z Hadapi Tantangan Dunia Kerja, TBIG Dorong Kolaborasi Pendidikan dan Industri. Terutama lewat CSR.
Penulis:
garudea prabawati
Editor:
Bobby Wiratama
TRIBUNNEWS.COM - Lahir antara tahun 1997 hingga 2012, Generasi Z kini mulai memasuki dunia kerja.
Melek teknologi, berjiwa wirausaha, dan sadar sosial, mereka menghadirkan perspektif segar dalam lingkungan kerja modern, namun, di balik potensi besar tersebut, muncul tantangan yang signifikan.
Menurut survei yang ditayangkan British Council, salah satu organisasi budaya Inggris yang bergerak di bidang pendidikan, per tahun 2024 menunjukkan bahwa 41 persen pemimpin bisnis menilai lulusan Gen Z belum siap memasuki dunia kerja.
Dan ironisnya, 51 persen dari Gen Z sendiri merasa pendidikan yang mereka terima belum cukup mempersiapkan mereka menghadapi tantangan profesional.
Salah satu isu paling mencolok adalah kekurangan keterampilan lunak (soft skills) seperti komunikasi, kolaborasi, dan motivasi kerja.
“Sekitar 70 persen pemimpin bisnis menyebut kemampuan komunikasi lulusan Gen Z masih rendah,” ungkap laporan tersebut.
Salah satu pengaruh terbesarnya adalah pandemi global.
Banyak Gen Z terpaksa beralih ke pembelajaran daring, sementara itu, mereka yang bekerja terpaksa beralih ke kerja jarak jauh.
Kurangnya interaksi tatap muka dan ketergantungan pada platform digital ini mungkin telah memengaruhi kemampuan mereka untuk menjalani interaksi interpersonal tradisional di tempat kerja.
Lantas ketika Gen Z memasuki dunia kerja tanpa soft skill yang penting, hal itu dapat menghambat komunikasi, kolaborasi, dan pembangunan hubungan yang efektif.
Hal ini seringkali berdampak pada keterlibatan, produktivitas, dan kinerja, tidak hanya bagi Gen Z, tetapi juga tim mereka.
Baca juga: 16,16 Persen Gen Z Pengangguran: Jadi Tantangan Serius, Pengembangan Soft Skill Jadi Asa
Mengapa Soft Skill Kurang Berkembang?
Pengamat Pendidikan Doni Koesoema menjelaskan bahwa sistem pendidikan formal masih terlalu fokus pada capaian akademik dan kurang memberi ruang pada pengembangan kecerdasan emosional dan keterampilan interpersonal.
“Saya masih menjumpai mahasiswa dari kelompok usia ini yang memiliki daya juang tinggi, namun tidak dapat dipungkiri bahwa resiliensi dan daya tahan juga menjadi tantangan bagi generasi ini,” ujar Doni kepada Tribunnews.com, saat dikonfirmasi September lalu.
Ia menilai, banyak Gen Z yang tumbuh dalam keluarga yang sejahtera dan cenderung dimanjakan.
Terutama, banyak Gen Z yang dimanjakan oleh orang tua.
"Mungkin ya karena mereka itu hidup di dalam keluarga yang sejahtera, generasi anak-anak sekarang ini kan dididik oleh generasi milenial yang orang tuanya bekerja keras untuk mendidik generasi milenial agar sukses."
"Dan ketika generasi milenial ini sukses, mereka tidak ingin anak-anaknya itu (gen z) hidup sengsara seperti mereka," ungkap Doni.
Doni mengungkap faktor tersebut yang akhirnya melahirkan strawberry generation, anak yang lembek, kurang daya juang.
Namun memang tidak bisa dipukul rata, lanjutnya, karena memang tergantung dari pola asuh dan pendidikan orang tua.
“Ini berkontribusi pada lahirnya apa yang disebut strawberry generation, tampak menarik di luar tapi rapuh di dalam,” tambahnya.
TBIG Hadirkan Solusi Lewat Program CSR ‘Bangun Cerdas Bersama’
Menjawab tantangan tersebut, PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG), perusahaan infrastruktur telekomunikasi yang berbasis di Jakarta, mengembangkan program Corporate Social Responsibility (CSR) di bidang pendidikan bertajuk ‘Bangun Cerdas Bersama’.
Fahmi Alatas, Head of CSR TBIG, menjelaskan bahwa melalui program ini, TBIG menyasar siswa dan guru Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan kurikulum unggulan yang memadukan pelatihan teknis dengan pengembangan soft skills.
“Kami tidak hanya mengajarkan aspek teknis seperti fiber optik, tapi juga menekankan keterampilan komunikasi, kerja tim, dan etos kerja. Itu sebabnya kami menyebutnya kurikulum unggulan,” ujar Fahmi dalam sesi Journalism Fellowship on CSR 2025 Batch 2 yang digelar bersama Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP), Senin (8/9/2025).
Program ini didasarkan pada survei TBIG tahun 2015–2016 yang menemukan bahwa sekitar 80 persen SMK swasta di Indonesia tidak memiliki peralatan memadai, khususnya dalam bidang teknologi seperti fiber optik.
Melalui pelatihan dan pemantauan intensif terhadap peserta, TBIG berkomitmen untuk mempersempit kesenjangan antara dunia pendidikan dan industri.
CSR Bukan Lagi Tambahan, Tapi Kewajiban
Keberadaan program seperti yang dilakukan TBIG semakin mempertegas bahwa CSR saat ini telah menjadi bagian esensial dari strategi bisnis perusahaan.
“CSR bukan lagi kegiatan tambahan, tapi sudah menjadi kewajiban yang diatur oleh undang-undang dan indikator keberlanjutan bisnis,” jelas Nissa Cita Adinia, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia (UI), dalam sesi Journalism Fellowship on CSR 2025 Batch 2 via zoom, Jumat (19/09/2025).
Dalam materinya tersebut Nissa mengungkapkan bahwa program CSR di Indonesia diatur dalam beberapa regulasi, yakni:
- UUD 1945 Pasal 33 Ayat (4)
- UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas (Pasal 74)
- UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
- PP No. 47 Tahun 2012 tentang TJSL Perseroan Terbatas
- Permen BUMN No. PER-05/MBU/04/2021
"CSR ini adalah tanggung jawab organisasi (atau perusahaan) atas dampak dari keputusan dan aktivitasnya pada masyarakat dan lingkungannya melalui perilaku yang transparan dan beretika," imbuhnya.
(Tribunnews.com/Garudea Prabawati)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.