Reformasi Polri
Pengamat Sebut Pentingnya Tim Transformasi Reformasi Bentukan Kapolri
Kapolri bentuk Tim Transformasi Reformasi Polri berisi 52 perwira, fokus percepatan perubahan internal dan sinergi dengan tim Presiden.
Penulis:
Erik S
Editor:
Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Pembentukan tim transformasi reformasi Polri oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo kembali menuai sorotan, khususnya karena tidak melibatkan masyarakat sipil.
Menurut Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi, jika tidak diletakkan dalam kerangka yang proporsional, kritik ini berpotensi menimbulkan kesalahpahaman terhadap tujuan dasar dari keberadaan tim tersebut.
"Faktanya, tim bentukan Kapolri bukanlah instrumen tandingan terhadap tim reformasi Polri yang dibentuk Presiden, melainkan sebuah mekanisme internal yang diperlukan untuk memastikan arah perubahan berjalan sesuai dengan kebutuhan riil institusi kepolisian," kata Haidar Alwi, Selasa (23/9/2025).
Reformasi Polri memang tidak bisa hanya dipandang sebagai agenda eksternal yang didorong oleh masyarakat atau pemerintah semata. Sebagai lembaga yang kompleks dengan kultur, struktur, serta beban operasional yang khas, Polri memerlukan instrumen internal untuk mendorong perubahan dari dalam.
"Di sinilah posisi tim transformasi bentukan Kapolri menjadi signifikan. Tugasnya adalah melakukan evaluasi, merumuskan langkah-langkah strategis, dan mengawal pelaksanaan reformasi agar tidak berhenti pada tataran wacana, melainkan benar-benar membumi dalam praktik keseharian aparat kepolisian," tutur Haidar Alwi.
Untuk memperjelas posisi keduanya, Haidar Alwi menganalogikan tim bentukan Presiden sebagai seorang dokter, sementara tim bentukan Kapolri adalah pasiennya. Seorang dokter hanya bisa memberikan diagnosa yang tepat, meresepkan obat, atau menentukan tindakan lanjutan apabila mengetahui secara rinci gejala yang dirasakan pasien.
Demikian pula dengan reformasi Polri. Tim bentukan Presiden berperan melakukan analisis, memberikan masukan, dan merancang terapi kebijakan. Namun yang paling memahami gejala, keluhan, dan hambatan internal yang dialami Polri hanyalah Polri itu sendiri.
"Dalam hal ini, tim internal Kapolri adalah 'pasien' yang menyampaikan informasi akurat mengenai kondisi tubuh organisasinya, sehingga resep reformasi yang diberikan tidak salah sasaran," ujar alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB) itu.
Lebih lanjut, ibarat seorang dokter yang tidak bisa bekerja dalam ruang hampa, ia membutuhkan kejujuran pasien untuk menceritakan apa yang sebenarnya dirasakan: rasa sakit, gejala kecil yang sering diabaikan, bahkan luka lama yang mungkin tak pernah diungkap. Tanpa itu semua, diagnosis bisa keliru dan pengobatan menjadi salah arah.
Begitu pula dengan reformasi Polri. Masyarakat, melalui tim bentukan Presiden, hadir sebagai dokter yang memeriksa dari luar, memberikan resep dan pengobatan yang tepat. Namun tanpa keterbukaan dan kesiapan pasien dalam hal ini tim internal Kapolri, reformasi hanya akan menjadi wacana di atas kertas.
"Sinergi keduanya adalah kunci agar penyakit lama yang menggerogoti tubuh Polri benar-benar dapat disembuhkan," tegas Haidar Alwi.
Perlu dipahami pula bahwa tim internal Kapolri tidak tumpang tindih dengan tim bentukan Presiden. Tim reformasi Polri bentukan Presiden bersifat eksternal dan inklusif, melibatkan berbagai unsur masyarakat sipil, akademisi, serta tokoh-tokoh independen untuk memberikan pandangan, masukan, dan kontrol dari luar.
Sebaliknya, tim transformasi bentukan Kapolri bekerja di lingkup internal, bersentuhan langsung dengan prosedur, regulasi, hingga kultur organisasi yang menjadi inti dari dinamika Polri.
"Dengan demikian, keberadaan keduanya justru saling melengkapi, bukan saling tumpang tindih," ungkap Haidar Alwi.
Anggapan bahwa absennya keterlibatan masyarakat sipil dalam tim internal ini melemahkan legitimasi reformasi dinilai tidak sepenuhnya tepat.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.