Senin, 18 Agustus 2025

Serba Serbi SPK: Dari Kurikulum Internasional Hingga Standar Tinggi Pengajar

SPK merupakan hasil kerjasama antara Lembaga Pendidikan Indonesia (LPI) dengan Lembaga Pendidikan Asing (LPA)

zoom-inlihat foto Serba Serbi SPK: Dari Kurikulum Internasional Hingga Standar Tinggi Pengajar
TRIBUNNEWS.COM/DANY PERMANA
Murid North Jakarta International School melakukan pembukaan tahun ajaran baru 2012-2013, Rabu (5/9/2012). Sekolah internasional yang dimiliki oleh Yayasan Pendidikan Agung Podomoro tersebut merupakan satu diantara lebih dari 40 sekolah-sekolah internsional yang ada di Indonesia. Dengan semakin banyaknya sekolah internasional di Indonesia diharapkan mampu mendongkrak mutu pendidikan di Indonesia. TRIBUNNEWS/DANY PERMANA

Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekolah Satuan Pendidikan Kerjasama (SPK) dahulu dikenal sebagai sekolah internasional sebelum diwajibkan oleh Permendikbud No 31/2014 untuk berganti status.

Ketua Perkumpulan Sekolah SPK Indonesia, Haifa Segeir menjelaskan SPK merupakan hasil kerjasama antara Lembaga Pendidikan Indonesia (LPI) dengan Lembaga Pendidikan Asing (LPA).

Baca: Presiden Jokowi: Pasti Anak-anak Sudah Tidak Sabar Ingin ke Sekolah dan Bermain

Haifa menjelaskan, terdapat kombinasi dalam sistem kurikulum di SPK.

Terdapat SPK yang menggunakan sebagian kurikulum nasional maupun asing.

"Ada sebagian besar SPK yang memakai kurikulum asing hampir secara keseluruhan. Jadi sebenarnya sebagian sudah masuk kategori SPK, jadi misalnya cuma ngambil komponen pelajaran bahasa Inggrisnya atau IPA. Yang paling banyak kan IPA, bahasa Inggris dan matematika yang diambil dari luar negeri ya," ujar Haifa kepada Tribunnews.com.

Ada beberapa SPK yang mengadopsi sistem pembelajaran negara-negara asing seperti sekolah Perancis, Korea, dan Jepang. Namun ada pula SPK yang memakai kurikulum provider seperti Cambridge.

Meski begitu, dalam menyusun kurikulum dalam bentuk SKS untuk pendidikan menengah, SPK memiliki kewajiban memuat pendidikan agama, Pancasila dan kewarganegaraan dan Bahasa Indonesia bagi peserta didik WNI. Sementara bagi WNA, SPK memiliki kewajiban memberlakukan kurikulum yang memuat pendidikan Bahasa Indonesia, sejarah dan budaya Indonesia.

"Jadi istilahnya ada komponen kurikulum yang dimasukan ke situ untuk WNA agar mereka mengenal budaya Indonesia. Bagi WNI wajib tiga pelajaran itu," ucap Haifa.

Haifa mengungkapkan sebelumnya, ada aturan untuk wajib mengikuti Ujian Nasional (UN) bagi siswa WNI. Namun aturan itu hilang seiring penghapusan UN.

Selama ini meski tidak diwajibkan, ada saja siswa SNA yang ingin ikut UN. Haifa mengatakan siswa WNA tersebut biasanya yang sudah lama tinggal di Indonesia.

Perbedaan mendasar antara SPK dengan sekolah nasional adalah pemakaian kurikulum. SPK menggunakan sistem pendidikan luar negeri.

Menurut Haifa, fasilitas dan sumber daya di SPK memiliki kompetensi khusus untuk menunjang pembelajaran dengan sistem pendidikan luar negeri. Infrastruktur pembelajaran dari IT, buku hingga software dipersiapkan untuk pembelajaran dengan sistem pendidikan luar negeri.

Haifa mengungkapkan guru-guru di SPK, baik yang asing maupun lokal harus memiliki kualifikasi yang tinggi. Pengajar WNA minimal harus pengalaman 5 tahun sebelum bekerja di SPK. Sementara guru-guru lokal memiliki persyaratan sertifikasi.

"Kalau enggak semua otomatis nilainya akan berkurang kalau untuk akreditasi nantinya. Karena benchmarking untuk dapat akreditasi A itu di atasnya sekolah nasional," kata Haifa.

Proporsi jumlah guru WNA dan lokal juga diatur. Guru asing maksimal 70 persen dari total pendidik, sementara tenaga kependidikan hanya diperbolehkan 20 persen untuk asing.

Menurut Haifa, persyaratan ketat yang diberikan bertujuan agar SPK memiliki standar yang tinggi di atas sekolah nasional.

"Persyaratannya memang lumayan tinggi karena diharapkan sekolah SPK punya standar di atas sekolah nasional," kata Haifa.

Bagi siswa WNI tidak terdapat persyaratan khusus. Namun Haifa mengatakan biasanya SPK menekankan kemampuan bahasa asing yang digunakan untuk pengantar pembelajaran.

Sementara siswa WNA harus mengantongi izin belajar dari Kemendikbud. Haifa mengatakan izin tersebut bersifat pelaporan saja untuk pendataan.

Proses perizinan biasanya diurus oleh SPK dengan melampirkan dokumen dari orang tua seperti akta kelahiran, identitas orang tua hingga surat sponsor.

"Karena kan harus masuk Dapodik dan nanti berhak mendapatkan atas ijazah jadi harus didata. Jadi kalau dia masuk harus didaftarkan di Kemendikbud untuk pembelajarannya," ungkap Haifa.

Haifa membeberkan saat ini sudah sekitar 600-an SPK di Indonesia. Rinciannya untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah ada 501, sementara PAUD ada sekitar 117.

Baca: Tak Memiliki Smartphone, Siswa SMP di Rembang Ini Datang ke Sekolah Tiap Hari & Belajar Sendiri

SPK banyak tersebar di kota-kota besar seperti wilayah Jabodetabek, Jawa Timur, Jawa Tengah, hingga Bali.

Sementara program yang paling banyak dipakai berasal dari Inggris yakni sekolah yang mengadopsi sistem Cambridge, Oxford, dan Pearson. Ada juga SPK uang mengadopsi sistem dari Amerika Serikat, Singapura, Selandia Baru, dan Jerman.

Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan