Pilkada Serentak 2020
Rawan Kecurangan dan Membahayakan, ICW: Pilkada Serentak 2020 Mesti Ditunda
Di tengah jumlah kasus positif Covid-19 yang semakin marak, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan keputusan itu patut dipertanyakan.
Penulis:
Ilham Rian Pratama
Editor:
Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden RI Joko Widodo menyatakan akan tetap menggelar Pilkada Serentak 2020.
Keputusan itu lalu dikukuhkan lewat kesepakatan dengan DPR RI dalam Rapat Dengar Pendapat, Senin, 21 September 2020.
Di tengah jumlah kasus positif Covid-19 yang semakin marak, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan keputusan itu patut dipertanyakan.
"Pelaksanaan Pilkada 2020 mesti ditunda demi keselamatan warga dan menekan potensi kecurangan yang akan terjadi," kata Peneliti ICW Egi Primayogha dalam keterangannya, Jumat (2/10/2020).
Egi mengatakan, hingga 1 Oktober 2020, jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia telah mencapai 291 ribu.
Tercatat 10.856 orang telah meninggal dunia akibat Covid-19. Pada 25 September lalu, angka kasus positif harian bahkan mencapai 4.823, tertinggi sejak wabah ini merebak.
"Pelaksanaan pilkada di tengah pandemi yang semakin memburuk akan menyebabkan berbagai dampak negatif," katanya.
Pertama, menurut Egi, dapat dipastikan pelaksanaan pilkada akan mengancam kesehatan dan nyawa warga. Sejumlah aktivitas dalam proses pilkada akan menimbulkan kerumunan orang.
Proses kampanye misalnya, kata Egi, jelas akan melibatkan banyak orang.
Baca: Senangnya Gibran Sandiaga Jadi Jurkam di Pilkada Solo: Bisa Membuat Kampanye di Solo Semakin Marak
Lebih lagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengizinkan digelarnya konser untuk kampanye pilkada.
"Begitu juga dengan perhitungan suara yang akan melibatkan cukup banyak pihak dalam prosesnya. Dengan begitu, maka risiko penularan akan semakin tinggi," katanya.
Kedua, dikatakannya, praktik kecurangan semakin rawan terjadi. Praktik-praktik politik uang ditengarai akan semakin marak di tengah kondisi pandemi.
Kata Egi, di tengah pandemi, banyak warga yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Permasalahan itu dialami oleh berbagai lapisan warga. Bantuan sosial yang diberikan pemerintah juga tak selalu lancar.
"Kondisi itu dapat dimanfaatkan oleh para kandidat untuk melakukan praktik vote buying. Kandidat memberikan hal mendesak yang dibutuhkan warga guna mendapatkan suara. Politisasi bantuan sosial untuk kepentingan Pilkada juga akan marak, terutama dilakukan oleh petahana," kata dia.