Pilkada Serentak 2020
Rawan Kecurangan dan Membahayakan, ICW: Pilkada Serentak 2020 Mesti Ditunda
Di tengah jumlah kasus positif Covid-19 yang semakin marak, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan keputusan itu patut dipertanyakan.
Penulis:
Ilham Rian Pratama
Editor:
Johnson Simanjuntak
Pada sisi lain, pandemi akan membatasi ruang gerak warga, sehingga pengawasan akan semakin melemah.
"Jikapun dipaksakan risiko penularan akan semakin tinggi. Oleh sebab itu praktik kecurangan akan semakin marak," ujar Egi.
Ketiga, lanjut Egi, partisipasi warga dalam memilih akan menurun. Warga kemungkinan besar akan enggan untuk berpartisipasi karena besarnya risiko penularan.
"Ikut hadir di bilik suara dengan protokol kesehatan sekalipun, tetap tidak mengurangi resiko dan ancaman kesehatan dan nyawa mereka. Rendahnya partisipasi warga akan menurunkan kualitas dari pilkada itu sendiri, sekaligus mencerminkan terdapat permasalahan di balik prosesnya," ujar dia.
Padahal, Egi menekankan, jalan untuk menunda pilkada sangat terbuka lebar.
Dalam penjelasan Pasal 201A ayat (3) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 2 tahun 2020 ikut menegaskan bahwa Pilkada dapat ditunda dan dijadwalkan kembali apabila pandemi Covid-19 belum berakhir.
Ia mengatakan bahwa keputusan untuk tetap melaksanakan Pilkada juga menjadi janggal apabila melihat pemilihan kepala desa (pilkades) yang diputuskan untuk ditunda dengan alasan keselamatan warga, sementara pilkada tetap dijalankan.
"Kuat diduga terdapat kepentingan lain di balik keputusan tersebut. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pilkada merupakan ajang transaksi kepentingan bagi para cukong. Bahkan Menteri Koordinator Hukum dan HAM, Mahfud MD mensinyalir bahwa 92 persen calon kepala daerah disokong oleh para cukong. Para cukong ini akan mendapatkan keuntungan ekonomi-politik berlipat-lipat saat calonnya menang dalam kontestasi Pilkada nanti," kata Egi.
Oleh karena itu, menurut Egi, jika Presiden Jokowi terus bersikukuh untuk tak menunda Pilkada 2020 dengan dalih yang tidak cukup masuk akal, maka Presiden dapat dianggap tidak memprioritaskan keselamatan warga.
"Sebaliknya, Presiden dapat dianggap lebih mendahulukan kepentingan politik dan kepentingan para bandar yang mungkin telah ‘membeli’ Pilkada di depan," cetusnya.