Eksklusif Tribunnews
Para Buzzer Sebar Cuitan Twitter via Facebook dan Instagram, Tak Peduli Berita Benar atau Hoaks
Dalam praktiknya, buzzer memainkan semua jenis lini masa media sosial saat beraksi, misalnya Twitter, Facebook dan juga Whatsapp.
Penulis:
Amriyono Prakoso
Editor:
Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden akan diselenggarakan serentak dua bulan lagi, 17 April mendatang.
Semakin mendekati waktunya, atmosfer politik nasional kian panas.
Buzzer media sosial yang marak kerap dianggap sebagai penyebar berita bohong (hoaks) atau berita palsu (fake news), turut meningkatkan polemik di dunia maya.
Tahukah anda sebagian buzzer dibayar mencapai ratusan juta rupiah?
"Dapat uang masing-masing Rp 100 juta minimal untuk bos-bosnya. Bisa lebih. Mereka proyekan sampai pilpres selesai," ungkap Andi, seorang buzzer profesional yang mendapat order pada pilpres 2019 saat ditemui Tribun Network di kawasan Bekasi, Jawa Barat, pertengahan Februari 2019.
Para buzzer akan mengelola akun media sosial, lalu membuat konten serta menyebar melalui akun-akun tersebut.
Kata kunci dan hal terpenting bagi buzzer adalah menjalankan tugas sesuai order lalu melaporkan kepada pemesan.
Jumlah akun dan seberapa luas sebaran informasi tidak sedemikian perlu.
Bahkan berita bohong atau benar, bukan persoalan.
"Hoaks atau tidak, mereka tidak peduli, yang penting sudah kerja," ujar Andi.
Andi mengungkapkan, dalam praktiknya, buzzer memainkan semua jenis lini masa media sosial saat beraksi.
Twitter misalnya digunakan untuk membuat konten baru. Sementara untuk penyebaran, menggunakan platform Facebook lebih diutamakan.
Baca: Sepanjang 2018 Polisi Tangani 239 Kasus Hoaks dan Pencemaran Nama Baik
"Kalau Pilkada, Twitter masih oke. Tapi ini Pilpres, ya pakai Facebook yang jangkauannya lebih luas," jelas Andi, seorang Buzzer yang sudah berkutat di dunia maya sejak 2011 itu kepada Tribun, pekan lalu.
Andi menjabarkan, pengguna Twitter memiliki kecenderungan lebih memahami konteks, dan biasanya mereka terpelajar.
Konten baru akan disebar di platform berlogo burung tersebut.
Sementara platform Instagram, pengguna adalah anak muda dan kekuatan hashtag (#) memiliki pengaruh signifikan.
Tetapi, buzzer memiliki kesulitan sendiri menyebar info melalui IG, karena harus memakai Meme yang disertakan.
"Kalau Facebook kan tidak. Hampir semua masyarakat menengah ke bawah punya Facebook, penyebaran bisa lebih luas dan narasinya bisa lebih lengkap. Jadi, lebih efektif," ungkapnya.
Ada juga Tim Cyber 300 yang dikomandoi Donny. Tim ini justru lebih memilih untuk melakukan penetrasi di grup chatting WhatsApp (WAG).
Menurutnya, hal itu akan lebih personal dibandingkan dengan di media sosial mana pun.
Dia juga menganalisis, durasi orang membuka WhatsApp akan jauh lebih sering ketimbang membuka media sosial yang lain.
Ia tidak memungkiri, masih akan tetap berperang di media sosial guna menyampaikan data dan fakta untuk menangkis serangan dari kubu lain.
"Kalau kami main di WAG ya. Bisa langsung banyak orang yang bisa baca. Kalau untuk menangkis serangan, ya tetap di medsos. Hampir semua media sosial kita pakai kok," katanya.
Rama--bukan nama sebenarnya--koordinator buzzer untuk satu partai politik, mengatakan kegiatannya sebagai buzzer yang dilakukannya sejak dulu tidak sepenuhnya mengarah ke Pilpres.
"Instruksi dari atas, enggak mau kami terlalu fokus ke Pilpres. Kami serang rezim, kami angkat citra partai, menangkan partai di Pileg," kata Rama.
Dengan rekam jejak seperti itu, Rama kemudian dipercaya pimpinan yang mewakili pimpinan parpol untuk mengepalai 20 hingga 25 orang buzzer untuk mengunggah konten medsos buatannya sendiri.
Dia mebeberkan cara main atau strategi yang digunakan timnnya dalam mengolah bahan di medsos.
"Buzzer-buzzer di ... (menyebut nama parpol--Red) itu menurut saya memang mainnya sporadis ya. Maksudnya kalau ada yang bisa diolah ya kami olah, seperti tarik-tarikan begitu. Kalau ada waktu senggang satu-dua jam di mana pun ya kami pakai untuk sebarkan konten. Kami serang lawan, begitu juga sebaliknya," kata Rama.
Atas posisi tersebut, sejumlah nama petinggi parpol pernah dia temui. Para petinggi yang kerap bertemu dengannya itu merupakan anggota DPR/MPR.
"Kalau komunikasi intens setiap hari, secara pribadi sih enggak. Namun, sekali waktu kami bicara banyak hal, terutama terkait bagaimana kinerja saya dan tim," tambahnya.
Yang menjadi catatan bagi Rama saat pertemuan itu untuk kemudian diaplikasikan, adalah bagaimana dirinya menyerang dengan tidak menggunakan cara black campaign.
"Kami enggak pernah menyerang dengan cara hoaks atau black campaign. Kami pakai negative campaign karena itu enggak dilarang juga," ujarnya. (amriyono)