Ramadan 2019
Kisah Uthman Taha, Kalifgrafer Berusia 84 Tahun Mushaf Madinah
Di antara sekian banyak kaligrafer di era modern, adalah Uthman Taha yang telah menempuh jalan panjang dunia kaligrafi.
Editor:
Anita K Wardhani
Di dalam sufisme, silsilah keguruan seseorang adalah suatu hal yang sangat penting, karena silsilah tersebut merupakan rantai penghubung menuju ikatan spiritual yang melekat pada generasi-generasi sebelumnya.
Dengan silsilah, maka seorang kaligrafer dapat dilacak berasal dari aliran mana.
Seorang calon kaligrafer, mesti mengikuti proses belajar dan pelatihan yang panjang disertai disiplin yang tinggi.
Bagaimana tidak, karena tujuan akhir dari seorang kaligrafer adalah kemampuan untuk menulis ayat suci yang benar, dan tidak hanya sekedar benar, tetapi juga harus indah.
Dengan demikian, seorang kaligrafer, selain harus memahami Alquran dia juga memiliki kualifikasi tertentu yang ketat.
Misalnya saja, karena yang akan ditulisnya adalah ayat-ayat suci, maka dia pun tidak boleh kotor sepanjang waktu.
Seorang kaligrafer, sebelum menulis, akan melakukan mandi besar untuk penyucian diri.
Pada tahapan yang lebih rendah, walaupun tidak melaksanakan mandi besar setiap harinya, paling tidak seorang kaligrafer wajib selalu dalam keadaan suci, yakni dengan cara memperbaharui wudhu-nya secara terus-menerus.
Dalil yang mereka gunakan perihal kesucian diri ini tercantum dalam QS Al-Waqiah Ayat 79 yang berbunyi, “لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ” (Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan).
Kaligrafi karya Mir Ali Heravi dari abad ke-16. Sekarang menjadi koleksi milik Museum Louvre, Prancis.
Jalan panjang ini digambarkan oleh seorang kaligrafer dari abad ke-16, Mir Ali Heravi. Dia berkata:
“Empat puluh tahun dari hidupku dihabiskan dalam kaligrafi;
Sentuhan lengkungan kaligrafi tidak datang dengan mudah ke tanganku.
Apabila datang saja satu kali kesempatan duduk dengan santai tanpa berlatih,
Kaligrafi akan hilang dari tangannya seperti warna pada inai”

Uthman Taha