Selasa, 23 September 2025

Bom Bunuh Diri Cirebon

Dhiniwati Akui Syarif Anak Muridnya

Bangku kosong warna hitam paling depan di pojok kanan ditatapinya dengan penuh hayat. Sosok Muchamad Syarif masih terbayang lekat.

Penulis: Y Gustaman
Editor: Johnson Simanjuntak
zoom-inlihat foto Dhiniwati Akui Syarif Anak Muridnya
Tribun Jabar/Ida Romlah
Masjid Az Zikro Kompleks Polresta Cirebon masih dipasangi garis polisi. Tidak ada seorang pun yang boleh masuk ke lokasi meledaknya bom bunuh diri tersebut
TRIBUNNEWS.COM, CIREBON - Bangku kosong warna hitam paling depan di pojok kanan ditatapinya dengan penuh hayat. Sosok Muchamad Syarif masih terbayang lekat. Jemarinya terampil memainkan mobil-mobilan di atas meja yang tepat berada meja Nyi Dhiniwati, guru Syarif saat duduk di SMP Taman Siswa Cirebon.

Air mata Dhiniwati pecah tiba-tiba. Ketika menunjukkan meja bangku yang kerap dipakai Syarif saat di SMP kepada wartawan, Senin siang itu. Kesedihannya berhulu ketika muridnya Syarif, ternyata meregang nyawa dengan meledakkan diri di masjid Al Zikro, komplek Mapolresta Cirebon, Jumat pekan lalu.

"Saya merasa bersalah, kok enggak menasehati dia ya. Karena dia enggak bisa berteman dengan yang lain. Karena dia manja dengan saya," ujar Dhiniwati lirih, sesekali menyeka air matanya dengan ujung kerudung yang menjuntai ke bawah. "Maaf ya."

Menurut Dhiniwati, dibandingkan dengan 32 teman lainnya sekelas, Syarif berbeda. Ia lebih khusuk bermain dengan mainan yang dibawanya, tinimbang bersosialisasi dengan teman-temannya saat istirahat jam pelajaran. Syarif tak jera, kendati mainan yang kerap dibawanya dirampas guru.

"Saya sama anak itu dekat sekali dari kelas satu sampai kelas tiga. Dia ganteng, putih, bersih, dan menonjol secara performance. Waktu itu pernah ketemu nawarin saya komputer setelah dua tahun lulus SMP, dia sopan sekali. Dia duduk di depan, karena butuh perhatian, kedua sosialisasi kurang," imbuhnya.
 
Dalam pertemuan itu, Syarif tak lepas dari sikap santun. Menemui gurunya, anak keempat dari pasangan Abdul Gafur dan Sri Mulat itu selalu bersalaman. Dhiniwati tak sempat menanyakan kegiatan Syarif ketika datang, menawarkan komputer. Yang ia tahu, saat itu Syarif bekerja sebagai sales komputer. 

Terlepas orang mengatakan Syarif dengan penuh kutuk, dan dosa, Dhiniwati tak menanggapinya. "Bagaimanapun dia jelek, baik, buruk, tetap anak saya. Kami sebagai ibu tidak bisa membedakan. Biar kata orang seperti apa. Siapapun Syarif tetap anak saya, murid saya," timpalnya.

"Saya tidak membeda-bedakan siapapun. Saya sebagai seorang ibu, nurani saya tetap mencitai Syarif tanpa terkecuali. Dari sekian murid sekelas, dia yang cukup terpantau. Pastinya saya siap ziarahi Syarif. Saya coba akan ke pemakamannya," katanya lagi. Pemakaman jenazah Syarif di kota kelahirannya ditolak.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan