Ekspedisi Sabuk Merapi
Para Pahlawan Merapi dalam Kesunyian
Dalam kepekatan kabut dan terjangan angin kencang dari timur, Sapari Dwiono dan Yulianto alias Alex, meninggalkan pelataran Pasar Bubrah, Merapi
Editor:
Yulis Sulistyawan

Laporan Wartawan Tribun Jogja, Setya Krisna Sumargo
TRIBUNNEWS.COM, YOGYAKARTA - KAMIS, 27 Oktober 2011, jarum di arloji menunjuk angka sembilan pagi. Dalam kepekatan kabut dan terjangan angin kencang dari timur, Sapari Dwiono dan Yulianto alias Alex, meninggalkan pelataran Pasar Bubrah, merayapi dinding timur laut puncak Merapi.
Tubuh mereka bergerak tak bisa tegak di tebing berkemiringan lebih kurang 50 derajat. Titian batu di atas hamparan pasir sangat labil. Butuh kaki-kaki kokoh dan mental baja untuk merayapi tebing gunung.
Kedua teknisi instrumen BPPTK Yogyakarta itu didampingi tiga porter pembawa peralatan, serta wartawan Tribun Jogja. "Kita akan cari titik retakan untuk mengukur temperatur fumarol dan mengambil sampel gasnya," kata Sapari sembari melangkah hati-hati.
Suratno alias Surat, porter tangguh warga Selo langganan BPPTK Yogyakarta memimpin di depan, membuka rute perjalanan di sektor utara puncak Merapi yang sudah sangat berubah. Gerak kakinya sigap, tangannya cekatan, matanya awas mencari jalan aman dari longsoran tebing.
Pasar Bubrah adalah pelataran luas di ketinggian 2.600 mdpl yang biasanya jadi base camp para pendaki. Dari lokasi penuh pasir dan krakal/krikil ini menuju puncak jarak vertikalnya kurang dari 400 meter, karena ketinggian puncak Merapi sekarang sekitar 2.930 mdpl pascaerupsi 2010.
Mencari titik retakan di dinding kawah dan aliran gas di puncak Merapi sungguh tidak mudah. Sapari, Alex, dan Suratno mesti menyisir tebing demi tebing gunung anyar, yang kadang nyaris vertikal posisinya. Pada ketinggian sekitar 2.800 mdpl, sebuah titik akhirnya ditemukan Surat.
"Ini ada Mas Sapari," teriak Surat, yang akrab dipanggil Pak Lik di komunitas radio komunikasi. Wajah Surat berbinar. Ia memasukkan tangannya ke ceruk di bawah tonjolan batu. "Masih cukup panas," lanjut Surat yang berdiri di tebing hanya berpijakan tonjolan batu yang masih terbungkus pasir.
Sapari dan Alex segera mendekat, bergerak hati-hati merayapi dinding. Udara hampir membekukan. Kabut yang membawa uap air menerjang tubuhnya yang berselimut jaket dan mantel hujan. "Lumayan," sahut Safari setelah mencoba memasukkan tangannya ke ceruk tebing.
"Siapkan thermocuple dan stiknya," pinta Sapari ke dua porter yang menggendong tas besar berisi peralatan kegunungapian. Dua pemuda Selo itu tak kalah gesit. Bersandar di tebing, tas segera dibongkar, stik panjang dengan ujung logam runcing dikeluarkan.
Stik itu ekornya dililiti kabel yang colokannya disambungkan ke thermocuple merek Hanna. Segera setelah tersambung, Surat menusukkan ujung stik dalam-dalam ke ceruk tebing. Angka di thermocuple bergerak naik pelan-pelan dari angka nol.
Sekitar lima menit kemudian, di tengah sapuan angin kencang dan hawa yang begitu menusuk tulang, catatan angka naik turun di 78,6 atau 78,7. Artinya, suhu di retakan dinding puncak Merapi saat itu rata-rata 78,6 atau 78,7 derajat Celcius. Suhu di luar tercatat 13 derajat Celcius. Perbedaan yang cukup ekstrim.
"Jika pas Merapi aktif, atau dalam status erupsi, suhu di retakan dinding luar kawah seperti ini bisa berlipat-lipat. Suhu di jarak kira-kira semeter dari permukaan saja bisa melewati titik didih lho," seusai Sapari sembari mengambangkan kedua tangannya di atas permukaan tebing.
Setelah pengukuran suhu, giliran Yulianto bekerja mengambil sampel gas. Tapi pekerjaan itu sangat tidak mudah. Suhu yang begitu dingin membuat asap fumarol yang keluar dari ceruk tak kelihatan jelas. Pipa khusus berbahan silika dicolokkan untuk menangkap gas yang keluar.
Dari pipa berbahan silika, gasnya dialirkan ke tabung kaca berisi air. Tabung ukur itu terbungkus spon, dan ditempatkan di tabung PVC, untuk nantinya sampel akan dites di laboratorium. "Tidak cukup bagus hasilnya. Tangkapannya sedikit," ujar Alex yang mengenakan seibo putih saat bekerja.
Pascaerupsi 2010, struktur dan morfologi puncak Merapi berubah drastis. Banyak titik-titik pengukuran suhu dan lapangan gas yang biasanya dipakai untuk pengambilan sampel, hilang tertimbun material. Jejaknya sangat sulit ditemukan, jika mata dan ingatan tidak tajam.
Orang-orang seperti Sapari, Alex, Surat alias Pak Lik, jumlahnya tidak banyak. Mereka rela bekerja dalam kesunyian gunung, di ketinggian tempat yang membekukan, serta di lokasi-lokasi sangat ekstrem yang tak sembarangan orang mau dan mampu menjangkaunya.
Mereka lah para pahlawan Merapi, yang tekun bekerja, tak banyak bicara, jauh dari pemberitaan, merawat gunung itu penuh kesetiaan. Hasil pekerjaan mereka telah menyelamatkan begitu banyak nyawa manusia.
Ibarat orang sakit, Merapi kini memang seperti pasien di ruang gawat darurat. Semua alat ditusukkan ke tubuhnya. Gerak-geriknya dipantau 24 jam lewat pos-pos pengamatan di Selo, Jrakah, Babadan, Ngepos, Deles, Kaliurang, dan tentu saja di pusat komandonya di kantor BPPTK Yogyakarta.
Ada banyak nama-nama "terlupakan", seperti Azwar di Pos Selo, Kabul di Pos Jrakah, Purwono di Pos Ngepos, Heru Suparwoko di Pos Kaliurang, Heru Pamungkas di Pos Babadan, dan masih banyak lagi lainnya. Mereka bekerja dalam diam, tapi kontribusinya begitu nyata.
Ada juga Kepala Seksi Merapi BPPTK Yogyakarta Ir Sri Sumaryati, perempuan paro baya sangat tangguh yang Juni lalu mendaki ke puncak untuk memeriksa langsung kondisi "kesehatan" anak asuhnya ini.
Dan, tentu saja ada Kepala BPPTK Yogyakarta, Drs Subandriyo MSi sebagai komandan pemantauan Merapi. Dengan mata kepala sendiri, menggunakan segenap indra, kami betul-betul takjub atas dedikasi orang-orang ini.
Di sebuah kesempatan ketika duduk di tubir sadel kawah baru Merapi, kami mendengar percakapan Sapari dengan seseorang di telepon selulernya. Wajah Sapari tampak berubah agak muram.
"Saya mesti pulang hari ini. Ada keluarga yang sakit," katanya lirih. Kata-kata mengharukan itu terdengar di sebuah titik di ketinggian 2.930 meter di atas permukaan laut.
Satu sisi humanis menyeruak di tengah kabut tebal ketinggian gunung, yang membuat kaki dan tangan kaku, tubuh bergemeletaran menahan tusukan hawa dingin. Keheningan itu terasa penuh makna.