Alorawe Baru Merasakan Kemerdekaan pada 10 Mei 2012
Tak ada jembatan untuk menyeberangi sungai yang lebarnya sekitar 25 meter dan kedalaman setinggi pinggang
Editor:
Gusti Sawabi

Debit air sungai cukup tinggi untuk ukuran anak sekolah, sekalipun musim kemarau. Saat musim hujan, bila banjir pagi hari atau sebelum jam sekolah, anak-anak sekolah tidak bisa ke sekolah. Jika banjir saat pulang sekolah, mereka terpaksa menginap di rumah-rumah yang berada di sekitar sekolah.
Kepala Desa Alorawe, Baltasar Baka Bupu, mengatakan, selama ini warga desanya belum merasakan kemerdekaan. "Sejak Indonesia merdeka, baru tanggal 10 Mei 2012 orang Alorawe merasakan kemerdekaan. Karena baru ada kendaraan yang masuk ke desa kami. Selama ini pembangunan infrastruktur di desa kami sangat minim. Pembangunan jalan baru setengah jadi, tapi jembatannya tidak ada. Kalau musim hujan, warga hanya terkurung karena tidak bisa ke luar rumah. Ada kesan bahwa masuk Alorawe sama masuk neraka kedua. Semoga pembangunan jembatan diperhatikan pemerintah dan DPRD," kata Baltasar saat acara seremoni menerima kedatangan rombongan di desanya.
Rombongan tiba di desa itu sekitar pukul 11.00 Wita, setelah diangkut belasan kali menggunakan rakit. Sedangkan angkut pakai kuda tidak sampai 10 kali karena kudanya keburu lelah, mengangkut sejumlah pejabat yang rata-rata berbadan besar. Wartawan juga diangkut menggunakan kuda.
Tentang kondisi tersebut, Wakil Bupati Nagekeo Paulus Kadju, yang ditanya Pos Kupang saat acara itu mengatakan, akan membangun jembatan gantung.
"Pemerintah merencanakan tahun 2013 mendatang, membangun jembatan gantung. Tetapi sangat diharapkan agar hal-hal yang berkaitan dengan masalah sosial, harus diselesaikan dengan bijaksana," kata Paulus.
Saat rombongan pulang pada pukul 15.00 Wita, kuda sudah lelah sehingga tidak bisa membantu para pejabat yang menyeberang. Satu-satunya yang digunakan rakit berkapsitas sekitar enam orang.
Alorawe merupakan salah satu desa di Nagekeo yang selama ini terisolasi. Warga desa itu pada umumnya bertani dengan penghasilan utama jagung. Jalan menembus desa itu baru dibangun beberapa waktu lalu dan kendaraan roda empat pertama kali ke desa itu pada tanggal 10 Mei 2012 lalu.
Tetapi kendaraan hanya bisa sampai di seberang sungai, belum bisa langsung sampai ke Kampung Alorawe karena belum ada jembatan. Desa itu berada di lembah perbukitan cadas yang topografinya cukup sulit ditempuh.
Kondisi lain di desa itu, sebanyak 87 orang murid SDI Alorawe, tidak memiliki alat peraga sebagai penunjang mata pelajaran mereka.
Terakhir pemerintah menyumbangkan alat peraga ke sekolah itu pada tahun 1996 atau saat masih gabung dengan Kabupaten Ngada. Itu pun jumlahnya terbatas dan saat ini kondisinya sudah rusak serta tidak bisa digunakan lagi.
"Saat ini kami tidak memiliki alat peraga lagi karena sudah rusak, misalnya untuk mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia dan pelajaran lainnya. Seperti alat peraga kubus, globe atau bola bumi, serta yang lainnya tidak ada semua. Terpaksa kreasi guru sendiri," kata Kepala SDI Alorawe, Yohanes Oktaf Molina, saat itu.
Sekolah itu juga mengalami keterbatasan buku mata pelajaran untuk murid-murid. Setiap pelajaran berlangsung, satu buku dipakai bersama tiga murid. Perpustakaan belum ada.
Berkaitan dengan perlengkapan mebel, Yohanes mengatakan, satu meja di setiap ruang kelas digunakan tiga orang siswa. Kondisi itu juga karena meja dan kursi yang jumlahnya terbatas.
Wakil Bupati Nagekeo, Paulus Kadju, berjanji akan memperhatikan kondisi tersebut.
"Untuk mebel, sudah dianggarkan tahun 2012 ini bagi SDI Alorawe. Ada juga dana untuk rehab tiga ruang kelas tahun ini. Total dana bantuan untuk SDI Alorawe tahun anggaran 2012 ini sebesar Rp 700 juta lebih," kata Paulus kepada Pos Kupang. (Servan Mammilianus).