Di Warung Milik Ipi Jual Beli Tanpa Menggunakan Uang Bisa Dilakukan
Di Kampung Babakan Kiara Tasikmalaya, jual beli dengan tukar-menukar komoditas masih merupakan hal biasa
Editor:
Budi Prasetyo
D
TRIBUNNEWS.COM.TASIKMALAYA- Transaksi jual beli tanpa menggunakan uang sangat boleh jadi sudah tak ada lagi di zaman modern seperti sekarang ini. Namun bagi sebagian warga kurang mampu di Kampung Babakan Kiara, Desa Indrajaya, Kecamatan Sukaratu, Kabupaten Tasikmalaya, jual beli dengan tukar-menukar komoditas masih merupakan hal biasa.
Transaksi dengan hasil tani dan ternak itu dilakukan di sebuah toko kecil milik Ipi (67) yang terletak di pinggir pelosok jalan desa. Hampir setiap hari ada saja warga yang membawa komoditas untuk ditukar dengan barang yang dibutuhkan mereka sendiri yang ada di toko. Mulai dari beras, minyak goreng, asin, mie instan, telur serta barang rumah tangga.
“Hampir setiap hari ada warga yang datang membawa hasil tani, seperti kangkung, buncis, cabai, beras dan lainnya untuk ditukar dengan barang yang ada di toko sesuai dengan kebutuhan mereka,” ungkap Ipi yang ditemui Rabu (15/4/2015) lalu.
Kiat usaha bapak beranak empat dan 10 cucu ini mendapat dukungan sang istri, Aah (57). Toko Ipi sendiri walau kecil tapi tergolong lengkap. Ia tiap hari belanja ke Pasar Induk Cikurubuk, Kota Tasikmalaya, dengan menggunakan Kijang doyok tua miliknya.
Menurut Aah, transaksi dengan menggunakan komoditas itu sudah dilakukan sejak lama. Ia bersama suaminya membuka warung sejak tahun 1982 lalu. Ipi sendiri pada tahun 70-an adalah tukang kredit yang sukses di Jakarta. Namun kemudian mengalami kebangkrutan akibat banyak kredit macet.
“Rumah yang selama ini ditinggali di Jakarta juga waktu itu akhirnya dijual untuk membayar utang. Sisanya dibawa pulang ke kampung dan digunakan untuk membuka toko,” ungkap Ipi. Saat itu Gunung Galunggung tengah meletus berkepanjangan hingga tahun 1983. Ditengah kondisi yang tidak menentu itulah, mulai berdatangan warga meminta komoditas yang dibawanya bisa ditukar dengan barang yang ada di toko.
Awalnya Ipi dan Aah kebingungan dan sempat menolak. Tetapi karena didorong rasa iba karena yang datang rata-rata warga kurang mampu, Ipi pun akhirnya tak tega dan mulai menerima transaksi jaman kuno tersebut. “Tidak terasa jual beli dengan tukar-menukar komoditas itu terus berjalan hingga saat ini,” ungkap Ipi sambil terkekeh.
Ipi yang pernah menjadi Kepala Punduh, menyebutkan, sekitar 25 persen warga Kampung Babakan Kiara merupakan warga kurang mampu. Sebagian dari mereka itulah kerap membeli barang di toko dengan hasil tani atau ternak yang mereka miliki. Ironisnya, nilai transaksi pun tak seberapa. Tidak sampai belasan apalagi puluhan ribu. Tapi hanya pada angka ribuan rupiah saja.
“Ada yang bawa tiga telur ayam kampung dari ayam peliharaan mereka, mau ditukar dengan beras atau mie instan langsung saya layani. Hitung-hitungannya disesuaikan dengan harga di pasaran dan walau nilainya hanya ribuan tapi insya Allah maslahat, saling menguntungkan,” kata Ipi.
Sekali waktu Ipi pun “terpaksa” harus merelakan transaksi yang ternyata nilainya tidak memberikan keuntungan baginya. “Ada yang bawa seikat kangkung meminta ditukar dengan ikan asin. Setelah dihitung-hitung ikan asin yang ditukar sangat sedikit. Tapi karena kasihan, saya tambah saja. Hitung-hitung sedekah saja,” ujarnya.
Untuk transaksi dengan menggunakan buah kelapa, Ipi mengaku terpaksa menolaknya. Karena buah kelapa benar-benar tidak memiliki nilai. Harganya paling mahal Rp 1.000 per butir. Mau dibawa ke Pasar Cikurubuk pun hanya menambah beban di dalam mobil saja. “Karenanya warga pun sudah maklum. Mereka tidak pernah membawa kelapa untuk jual beli,” katanya.(*)