Selasa, 9 September 2025

Keturunan Pangeran Diponegoro Setuju Jubah Pangeran Diponegoro Diduplikat

Menduplikat jubah kain santung yang dikenakan Pangeran Diponegoro mendapat respon positif

Editor: Budi Prasetyo
tribun jogja/agung ismiyanto
Sejarawan Inggris dan penulis Biografi Diponegoro, Peter Carey (kiri) duduk bersama keturunan Diponegoro ketujuh, Ki Roni Sodewo. 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Agung Ismiyanto

TRIBUNNEWS.COM, MAGELANG - Rencana pihak Museum Bakorwil II, Kota Magelang, untuk menduplikat jubah kain santung yang dikenakan Pangeran Diponegoro mendapat respon positif dari pihak keturunan Pangeran Diponegoro, Ki Roni Sodewo, dan sejarawan Inggris, Peter Carey.

Meski diduplikat, kedua pihak, baik Peter Carey dan Ki Roni Sodewo, meminta agar jubah asli yang menjadi saksi perang Jawa itu dirawat dengan baik dan bisa disatukan dengan peninggalan lain di Museum Nasional, Jakarta.

“Saya kira kalau memang harus diduplikat itu menjadi sebuah langkah yang baik. Sama halnya dengan bendera merah putih yang ada duplikatnya, begitu juga dengan jubah yang usianya ratusan tahun ada duplikatnya untuk dipamerkan,” ujar Ki Roni Sodewo, di Gedung Kyai Sepanjang, Kota Magelang, Minggu (5/7/2015) malam.

Keturunan ketujuh dari Diponegoro itu juga menjelaskan, meskipun jubah yang dibuat dari kain santung itu diduplikat, namun jublah asli harus disimpan dan juga dipertahankan dengan baik.

Sebab, sejauh ini, jubah yang dipinjamkan permanen oleh pihak keluarga Diponegoro itu kurang dirawat dengan baik oleh pihak museum Bakorwil II.

“Saya kira nanti petugas harus menjelaskan, proses pemindahan jubah asli ke Jakarta. Dengan duplikat ini, tidak mengurangi esensi museum, karena perawatannya saat sudah salah dan cara naruhnya juga salah,” katanya kepada Tribun Jogja, saat ditemui usai bedah buku 'Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855'.

Begitu halnya dengan Sejarawan Inggris, yang kerap melakukan penelitian tentang Pangeran Diponegoro, Peter Carey, mengaku menyambut cukup positif adanya duplikat jubah Diponegoro tersebut. Hanya saja, dia berharap agar jubah asli dirawat dengan cukup baik lagi.

“Jubah asli harus disimpan dengan baik. Sebaiknya memang jangan digantung seperti saat ini yang mudah lapuk dan akhirnya rusak. Harusnya, memang ditidurkan, agar tidak rusak dan lapuk,” kata Carey.

Dia mengatakan, perawatan jubah asli Diponegoro itu harus benar-benar dilakukan secara matang dan sungguh-sungguh. Hal itu lantaran, jubah tersebut, menurut Carey, banyak mengandung nilai sejarah.

Selain menjadi saksi perang Jawa dalam kurun waktu 1825-1830, dia juga meyakini bercak kecoklatan di jubah itu adalah bercak darah saat pertempuran Diponegoro melawan Belanda.

Hal itulah, kata dia, yang menjadi sebuah nilai sejarah yang tinggi untuk mengenang jasa Diponegoro dalam masa melawan kolonialisme.

“Sebenarnya, akan lebih baik disatukan semua peninggalan Pangeran Diponegoro di Museum Nasional. Seperti tombak, tongkat Kyai Cokro, dan berbagai macam peninggalan lain. Jika memang akan dirawat di sini (Bakorwil II), perawatannya harus jauh lebih baik,” katanya.

Dari catatan Tribun Jogja, jubah berwarna kecoklatan itu nampak mencolok di balik gantungan almari ruangan bernama "Kamar Pengabadian Diponegoro".

Dari keterangan, jubah itu merupakan pemberian dari seorang kaisar China. Berbahan kain santung, jubah itu kemudian dikenakan Diponegoro memimpin perang sabil yang diawali tanggal 20 Juli 1985.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan