Selasa, 9 September 2025

WNI Disandera Abu Sayyaf

Umar Patek Bisa Negosiasi dengan Kelompok Abu Sayyaf Tanpa Keluar dari Penjara

Umar Patek, mengaku bisa bernegosiasi dengan dua pimpinan Abu Sayyaf yang menahan para WNI itu tanpa harus keluar dari Lapas Porong.

Editor: Dewi Agustina
Surya/Miftah Faridl
Umar Patek (tengah), usai menjadi pengibar bendera saat peringatan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) di Lapas Porong, Rabu (20/5/2015) 

TRIBUNNEWS.COM, MALANG - Nasib 14 orang Warga Negara Indonesia (WNI) yang disandera kelompok Abu Sayyaf di Filipina, hingga kini belum jelas.

Hisyam bin Ali Zein, lebih dikenal dengan nama Umar Patek, terpidana kasus terorisme, mengaku bisa bernegosiasi dengan dua pimpinan Abu Sayyaf yang menahan para WNI itu tanpa harus keluar dari Lembaga Pemasyarakat (Lapas) Porong, Jawa Timur.

Pentolan kelompok Jamaah Islamiyah (JI) itu hanya membutuhkan izin penggunaan telepon untuk menghubungi dua pimpinan faksi Abu Sayyaf yang menyandera WNI itu, yaitu Al-Habsi Misaya dan Jim Dragon.

Ia juga membutuhkan nomor kontak mereka untuk menghubungi via panggilan telepon atau videocall.

Umar mengatakan saat ini dirinya sudah tidak memiliki nomor kontak mereka.

"Untuk negosiasi ini aku tidak harus pergi ke suatu tempat atau dibawa ke Filipina. Sudah aku jelaskan teknisnya semua aku lakukan di dalam lapas," kata Umar Patek ketika ditemui seusai menjadi pembicara dalam seminar yang diselenggarakan Resimen Mahasiswa Mahasurya Jawa Timur, di Hotel Savana, Malang, Senin (25/4/2016).

Umar mengatakan, tawaran yang disampaikan itu tanpa pamrih. Ini sekaligus membantah kabar yang menyatakan dirinya meminta potongan masa tahanan 10 tahun atau separuh dari total vonis.

"(Kata-kata itu) sama sekali tidak keluar dari mulut ku. Tidak ada," tambahnya.

Alasan Umar bersedia membantu negosiasi hanya karena rasa kemanusiaan dan cinta tanah air. Kejadian penyanderaan itu, kata Umar, mengusik perasaannya.

Alasan lain, ia merasa kenal betul pimpinan faksi Abu Sayyaf yang menyandera WNI itu.

Pada 2003 hingga 2009, ia bergabung dengan kelompok Abu Sayyaf. Pada 2005 hingga 2006, ia menjadi anggota Majelis Syura Abu Sayyaf pimpinan Khadaffy Janjalani.

Umar Patek mengakui hingga saat ini belum dimintai bantuan oleh pemerintah.

Ia menambahkan, tawaran itu memang boleh diterima atau tidak. Namun, ia mengisyaratkan memiliki kemampuan untuk bernegosiasi dengan kelompok Abu Sayyaf.

"Aku lebih dulu masuk (Abu Sayyaf) dibandingkan Al-Habsi. Mereka itu aku anggap sebagai sosok yang soft (lunak). Bisa diajak bicara," katanya.

Punya Teknik Sendiri
Umar Patek kemudian berbagi cerita tentang pengalamannya membantu negosiasi pelepasan seorang perempuan warga negara Filipina yang disandera kelompok Abu Sayyaf pada 2009.

Sandera itu bernama Mary Jean Lacaba, anggota Komite Internasional Palang Merah.

"Ketika itu aku menyampaikan alasan pembebasan karena dalam Islam tidak diperbolehkan menahan atau memerangi wanita. Alhadulillah, dia dibebaskan tanpa uang tebusan," tambah Umar Patek.

Jika tawarannya untuk membantu negosiasi itu dikabulkan, Umar akan menyampaikan beberapa hal pada pimpinan Abu Sayyaf yang menyandera para WNI.

Ia akan bilang orang yang mereka sandera adalah bagian dari warga muslim.

Sedang untuk sandera non muslim, Umar akan memberi pengertian bahwa para sandera itu adalah warga negara Indonesia.

"Mereka (korban penyanderaan) tidak ada urusan sama sekali dengan kalian. Pertempuran kalian sama sekali tidak ada hubungannya. Ada deal-deal (lain) yang juga ingin aku sampaikan agar mereka mau melepas tanpa tebusan," ujarnya.

Para WNI yang menjadi sandera kelompok Abu Sayyaf yaitu 10 anak buah kapal (ABK) tug boat Brahma 12 yang menarik kapal tongkang Anand 12.

Selain itu ada empat ABK tung boat Henry yang menarik tongkang Cristi juga disandera kelompok Abu Sayyaf pada Jumat (15/4/2016) lalu.

Pemerintah masih terus bernegosiasi untuk membebaskan para sandera itu.

"Kita masih omong (masih negosiasi)," jelas Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan, Senin.

Para sandera itu akan ditebus dengan uang dari perusahaan yang mempekerjakannya.

"Bukan kami, kita nggak bayar uang tebusan, tapi perusahaan," kata Luhut.

Sebelumnya Menlu Retno Marsudi, mengatakan, proses negosiasi masih terus dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan pemerintah Filipina.

Dia mengaku masih terus berhubungan terus menerus dengan Menlu Filipina.

"Dari waktu ke waktu saya terus memantau. Terus komunikasi khususnya konstan terus saya lakukan dengan Menlu Filipina," ujar Retno (23/4/2016).

Kelompok Abu Sayyaf meminta uang tebusan 50 juta peso atau setara Rp 15 miliar, pembayaran paling lambat 8 April 2016.

Hingga melewati tenggat waktu yang ditentukan belum ada informasi pasti mengenai pembayaran tersebut. (surya/fla)

Sumber: Surya
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan