Jumat, 3 Oktober 2025

Sembilan Alasan Kebijakan Sekolah Lima Hari Harus Ditolak

Sembilan alasan kebijakan belajar mengajar lima hari dan akan diberlakukan pada tahun ajaran 2017/2018 harus dicabut.

Editor: Y Gustaman
youtube
Belajar di kolong rumah panggung. 

Laporan Wartawan Tribun Jateng, M Nur Huda

TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG - Kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy terkait belajar mengajar lima hari pada tahun ajaran 2017/2018 diminta untuk dicabut.

"Sebab ada beberapa alasan mengapa harus dicabut. Ini atas aspirasi masyarakat melalui kegiatan reses yang kami lakukan di berbagai daerah di Jateng," ujar anggota Komisi E DPRD Jateng, Muh Zen, Minggu (11/6/2017).

Menurut Zen kebijakan tersebut diberlakukan tapi tidak melalui proses menerima masukan dari berbagai pemangku kepentingan baik di tingkat pendidikan dasar maupun menengah.

"Saya yakin kebijakan itu dibuat tim.Tapi tim tidak mendengar masukan semua stakeholder di Indonesia. Jika mendengar langsung atau tidak langsung, pemerintah pasti tidak gegabah," ungkap dia.

Ia mengatakan memang PP Nomor 19 tahun 2005 itu tidak wajib dijalankan untuk daerah tertentu, tapi pada dasarnya akan menjadi kewajiban. Kepala sekolah yang tak menjalankan biasanya dapat ancaman.

Sedikitnya terdapat sembilan alasan mengapa kebijakan sekolah lima hari itu mesti dicabut. Pertama, aspek psikologis.

Komisi E DPRD Jateng pernah melakukan dengar pendapat dengan sejumlah pakar psikologi dari beberapa perguruan tinggi di Jateng soal kemungkinan sekolah hanya lima hari dan otomatis jam belajar lebih panjang.

"Hasilnya anak usia SD setelah jam 13.00 daya serap ilmunya tidak maksimal, hanya 60 persen. Artinya, kalau kegiatan belajar mengajar sampai jam 16.00 maka keterserapan pendidikan di anak usia dini tidak tercapai," ungkap dia.

Kedua, aspek sarana dan parasara. Harus diakui 40 persen sarpras berupa musala atau masjid di sekolah belum representatif. Tempat wudu di SMA Negeri 1 Kota Semarang saja hanya mampu menampung sepertiga dari total jumlah siswa.

"Kantin juga belum semua siap," aku Zein.

Ketiga, aspek ekonomi, tentunya beban orangtua untuk uang saku akan bertambah, bahkan bisa dua kali lipat dari hari biasanya.

Keempat, aspek keamananan, ketika siswa pulang sore hari tentu akan bertaruh dengan para pekerja di jalan raya, bahkan di Wonosobo ada yang baru pulang pukul 20.00.

Kelima, aspek akademik. Kurikulum yang lama tentu belum sesuai dengan aturan sekolah lima hari. Padahal hal itu terkait dengan tingkat keterserapan materi pada siswa. Jika belum diubah tentu akan sulit menyesuaikan.

Keenam, aspek kompetensi non akademik. Konsep lima hari sekolah, akan memutus kreatifitas anak dalam penguatan ilmu nonakademik.

Semisal, anak yang memiliki keunggulan bidang seni, budaya, olahraga, tentu harus ikut kegiatan les sore hari. Saat ini tentu tidak mungkin bisa mengikutinya.

"Termasuk dunia sosial anak dengan sesame umurnya juga hilang. Maka, negara telah melanggar hak asasi anak untuk mengembangkan psikomotorik dan afektif calon generasi bangsa," tandas dia.

Ketujuh, aspek geografis. Untuk sekolah di daerah pegunungan masih sulit terakses angkutan umum, hal ini banyak yang dikeluhkan masyarakat, terlebih untuk anak perempuan di malam hari.

Kedelapan, aspek mental spiritual. Di Jateng terdapat 10.127 madrasah diniyah (madin) dan TPQ, padahal 90 persen siswanya adalah anak usia SD dan SMP. Madin dan TPQ biasanya masuk pukul 14.00, jika sekolah diberlakukan sampai sore maka praktis mereka tak bisa mengikutinya.

"Ini secara tak langsung negara telah melakukan upaya penghilangan cita-cita nawacita revolusi mental itu sendiri," ungkapnya.

Kesembilan, aspek ketahanan keluarga. Siswa yang berasal dari keluarga tak mampu, biasanya usai pulang sekolah selalu membantu orangtua, ada yang menjadi buruh tani, berdagang, nelayan, dan sebagainya. Komisi E juga sering mendapat masukan dari para kepala desa di Jateng.

"Kan, anak Indonesia tidak semua orangtuanya PNS. Banyak sekeluarga harus berjuang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, apa negara tega dengan kondisi ini? Prinsipnya, madlorotnya lebih banyak dari manfaatnya," sambung dia.

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved