Perjalanan Theo Zaenuri, Memberdayakan Pecandu Narkoba dan Pabrik Kacamatanya
Pria kelahiran Sidoarjo, 10 Desember 1973 ini punya ide membangkitkan perekonomian, dengan memberdayakan mereka.
Editor:
Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Berada di lingkungan mantan pecandu narkoba, yang sulit mendapat simpati dari masyarakat sekitar, membuat Moch Theo Zainuri tak bisa tinggal diam.
Pria kelahiran Sidoarjo, 10 Desember 1973 ini punya ide membangkitkan perekonomian, dengan memberdayakan mereka.
Theo sebelumnya menjalankan LSM Sadar Hati Fondation sejam tahun 2000-an di Malang, yang menjadi tempat rehabilitasi pecandu narkoba dan mantan narapidana (napi).
Pria ini menyadari tidak mudah bagi mereka bisa kembali di tengah-tengah masyarakat setelah 'sembuh' dari sakitnya.
Kepercayaan masyarakat seperti hilang, sehingga mantan napi jarang punya tempat untuk memulai hidup barunya.
Baca: Terkuak Percakapan Terakhir Pilot Ethiopian Airlines, Media Asing Sebut Ada Kesamaan dengan Lion Air
Baca: Temulawak Jahe Bikin Bugar, Jokowi Sudah Membuktikan, Ini Lo Khasiatnya
Tepat di bulan September 3 tahun lalu, Theo mencoba membangun bisnis berlatarbelakang sosial entrepreneur.
Ia mengangkat persoalan sosial mantan napi, narkotika, HIV dan Aids.
"Awalnya hanya persoalan kesehatan, lambat laun ada persoalan stigma sosial. Kebanyakan mereka pengangguran, dapat cap buruk sehingga ruang berkreasi nggak ada," cerita Theo kepada Surya, Senin (1/4/2019) sebelum memulai usaha Sahawood.
Teho pun berusaha merespon persoalan kemiskinan mereka sekaligus mencari minat bakat.
Pada akhirnya muncul inspirasi membuat produk kacamata kayu.
Ya, beberapa orang yang tergabung dalam LSM-nya kebetulan terampil di bidang perkayuan, bekal itu mereka dapatkan dari lapas.
"Waktu itu saya cuma kasih refrensi cara membuat dan bahan kayunya. Berjalan tiga sampai empat bulan tapi gagal terus belum ada hasil. Saya tunggu, akhirnya sampai enam bulan, ada satu produk yang kami bisa. Kami tunjukkan ke rekanan di Australia, dia tertarik dan pesan," lanjut Theo.
Kaca mata pertama buatan Sahawood menggunakan engsel dari rantai sepeda motor bekas.
Semuanya terbuat ramah lingkungan. Perlahan berjalan, pesanan lain datang dari Inggris.
Saat itu macam bentuk kacamata bertambah, teknologi yang digunakan pun semakin maju.
Engsel yang sebelumnya dari motor bekas yang unik, kini ada pilihan lain yaitu engsel standart kacamata pada umumnya.
"Mereka minta buatkan 100 kaca mata, saat itu pembeli masih dari jaringan saya saja. Dapat pesanan banyak akhirnya kami siapkan peralatan, kemudian bikin kelompok untuk membuat kacamata, jadi sistemnya bukan individu," cerita pria berkulit sawo matang ini.
Di Jalan Kuta Bhaswara II no 27, Polehan, Malang, kelompok Sahawood melangkah perlahan.
Kini mereka terdiri dari 10 orang, berusia kisaran 23 sampai 40 tahunan.
"Harapan kami, ini bisa membuka lapangan pekerjaan, ternyata masih ada persoalan psikologi lainnya," kata Theo sedikit mengeluh.
Persoalan psikologi itu adalah timbulnya pengelompokan, misalnya kelompok wilayah daerah tertentu tidak bisa dijadikan satu dengan kelompok dari daerah lain.
Mantan napi, pengguna narkoba dan HIV/Aids cenderung memilih kelompoknya.
Alasan itulah yang melatarbelakangi jumlah kelompok pekerja Sahawood hingga saat ini.
Mereka yang saat ini masih solid adalah mereka yang berhasil melewati persoalan psikologi kecenderungan berkelompok.
Masing-masing orang perhari bisa mengerjakan dua kaca mata, untuk kacamata dengan engsel standart.
Sementara untuk kaca mata dengan engsel bekas rantai ban perlu proses dua sampai tiga hari.
"Proses pembuatan dimulai dari memotong lembaran kayu 5 sampai 6 atau 7 mili, potong sesuai model, setelah itu banding kayunya, dilengkungkan, diamplas sesuai ketebalannya, karena hand made semua jadi cukup lama," cerita Theo.
Satu kacamata dibadrol dengan harga cukup bervariasi.
Harga Rp 750 ribu sampai Rp 800 ribu dengan lensa kualitas polarized polycarbonate setebal 2 mili.
Harga Rp 675 ribu lensa polorized ketebalan 1 mili, dan harga Rp 575 ribu lensa polorized ketebalan 1 mili dengan engsel rantai bekas.
Menurut Theo harga tersebut sebenarnya cukup murah karena menggunakan bahan-bahan berkualitas serta asli hand made.
Kaca yang digunakan memiliki efek lebih sejuk, teduh, penangkal cahaya, anti gores, diinjak pun tidak mudah pecah.
"Kami berani bersaing soal produk, dengan yang lain. Kayu yang kami gunakan pun berkualitas seperti jati, sonokeling, dan rosewood," kata Theo.
Kini Sahawood sudah punya puluhan model kaca mata kayu, semua mendapatkan nama-nama dari berbagai jenis narkoba.
Ada Big Puta, Val Aviator, Cocai, Crack (sampah kokain), Marjhon (Marijuana), Pium, dan banyak lainnya.
Selain memproduksi kaca mata, Sahawood mengembangkan kerajinan kayu di bidang lain seperti jam tangan dan perabotan rumah tangga.
Untuk jam tangan, mereka namai dengan nama-nama jenis alkohol atau minuman keras.
Fokus Online
Bermodal Rp 15 Juta rupiah, Theo mengaku uang terus berputar.
Yang paling penting adalah kelompok kerajinan Sahawood tetap eksis sampai kapan pun.
Pasar sudah mulai berkembang, kini mereka fokus membangun penjualan secara online. Karena dengan online usaha tidak butuh modal besar.
Sahawood pun mencoba mencari nama melalui kompetisi-kompetisi, mengikuti patihan dan booth camp.
Perlahan, kata Theo konsumen semakin luas. Produk mereka semakin dikenal, bahkan di pasar Internasional.
"Pasar di Indonesia lumayan bagus, sasaran kami kelompok menengah ke atas. Sementara pasar lokal Jakarta, Bali, Kalimantan, Makasar, dan Jawa Tengah. Justru Surabaya rendah, jarang peminat. Kami bertahan, bagaimana skala produksi tetap berputar terus, kita juga menjaga teman-teman," katanya penuh semangat.
Untuk ekspor, Sahawood rutin melakukan ekspor ke dua konsumen mereka di Inggris. (Pipit Maulidiya)
Artikel ini telah tayang di surya.co.id dengan judul Kisah Theo Zainuri, Owner Kaca Mata Kayu Sahawood : Berdayakan Mantan Pecandu Narkoba