Yayasan Anak Masa Depan Indonesia Kecam Kekerasan di SPN Dirgantara Kota Batam
Peristiwa ini mencederai upaya pemerintah untuk mencegah dan menangani kekerasan, kekerasan sekual dan Intoleransi di sektor pendidikan
Penulis:
Wahyu Aji
Editor:
Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Yayasan Anak Masa Depan Indonesia (AMDI) mengecam keras aksi kekerasan di SPN Dirgantara Kota Batam.
Peserta didik diduga mengalami kekerasan berupa pemenjaraan, ditampar, ditendang, dan lain-lain.
Siswa yang dihukum dengan dimasukan sel tahanan bisa sampai berbilang bulan, tergantung kesalahan yang dilakukan peserta didik.
Penasihat Yayasan AMDI, Puti Guntur Soekarno mendesak aparat penegak hukum untuk segera menangkap pelaku kekerasan di SPN Dirgantara Kota Batam.
Menurutnya, peristiwa ini mencederai upaya pemerintah untuk mencegah dan menangani kekerasan, kekerasan sekual dan Intoleransi di sektor pendidikan.
“Apalagi ini bukan kali pertama kasus kekerasan ini terjadi di lokasi yang sama. Kalau memang pihak sekolah tidak bisa memberikan pendidikan, lebih baik Kemendikbud Ristek mencabut izinnya dan menutup sekolah tersebut,” kata Puti dalam keterangan yang diterima, Jumat (19/11/2021).
Baca juga: Permendikbudristek 30/2021 Dibuat untuk Cegah Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi
Anggota Komisi X DPR itu meminta, penegak hukum memberikan hukuman terberat bagi pelaku kekerasan di sekolah.
Puti mengatakan, ini harus menjadi kasus terakhir yang terjadi menimpa peserta didik di Indonesia.
“Hukumannya harus bisa memberikan efek jera bagi pelaku dan juga pengingat bagi yang lain untuk tidak terbesit melakukan kekerasan di dunia pendidikan. Anak-anak ini adalah penerus Indonesia. Apa mau kekerasan menjadi salah satu yang diajarkan dalam pendidikan di Indonesia? Tentu saya sebagai orang tua tidak akan mengizinkan hal tersebut terjadi,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Yayasan AMDI Clara Tampubolon meminta, Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau melalui Dinas Sosial memberikan advokasi kepada para korban kekerasan.
Tujuannya agar trauma kekerasan yang dialami para korban dapat segera disembuhkan.
“Aparat kepolisian juga harus memastikan tidak ada intimidasi kepada para korban kekerasan tersebut. Kasus ini juga harus terus diusut secara transparan, jangan ada yang ditutup-tutupi,” kata Clara.
Sebelumnya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan KPPAD Kota Batam menerima laporan dari 10 orangtua peserta didik yang anaknya mengalami kekerasan di SPN Dirgantara kota Batam.
Kekerasan yang dialami berupa pemenjaraan atau dimasukan ke dalam sel tahanan, ditampar, ditendang, dan lain-lain.
Siswa yang dihukum dengan dimasukan sel tahanan bisa sampai berbilang bulan, tergantung kesalahan yang dilakukan peserta didik.
“Sel tahanan menurut para orangtua pengadu di fungsikan saat ada peserta didik yang melakukan pelanggaran disiplin, di sel penjara tersebut, seorang siswa bisa dikurung berminggu-minggu bahkan berbulan tergantung kesalahannya dan dianggap sebagai konseling. Selain dikurung anak-anak juga akan mengalami hukuman fisik seperti pemukulan, bahkan ada korban yang rahangnya sampai bergeser," kata Retno, Komisioner KPAI.\
Baca juga: ISI Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi
Atas pengaduan ke-10 orangtua siswa tersebut, KPAI melakukan koordinasi dengan Inspektorat Jenderal KemendikbudRistek untuk pengawasan dan penanganan kasus kekerasan di satuan pendidikan tersebut, mengingatMenteri Nadiem sudah bertekad akan mencegah dan menangani tiga (3) dosa di pendidikan, yaitu Kekerasan, Kekerasan Sekual dan Intoleransi.
“KPAI mengapresiasi Itjen KemendikbudRistek yang merespon sangat cepat saat menerima pengaduan dari KPAI. Rapat koordinasi daring segera dilakukan dan sepakat untuk melakukan pengawasan langsung ke lapangan, bahkan pengawasan dilakukan tim gabungan yang terdiri dari Itjen KemendikbudRistek, KPAI, KPPAD Batam, KPPAD Provinsi Kepri dan Maarif Institute," kata Retno.
Pada tahun 2018, KPAI dan KPPAD Provinsi Kepri pernah menerima laporan kekerasan terhadap peserta didik yang dilakukan oleh pihak sekolah, yaitu SPN Dirgantara Kota Batam.

Siswa SMK Penerbangan atau SPN Dirgantara Batam, orangtua dari peserta didiknya yang berinisial RS.
RS mengaku mendapat perlakuan tidak semestinya sejak Kamis (6/9) lalu. Dia mengaku dipenjara di sekolahnya, sebelum akhirnya dijemput oleh Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak Daerah (KPPAD) Provinsi Kepulauan Riau, pada Sabtu (8/9/2018).
“Bahkan sebelum di tahan dalam sel sekolah, RS yang hendak naik pesawat dari Bandara Hang Nadim hendak menuju Surabaya (Jawa Timur) di tangkap Pembina SPN Penerbangan Batam berinisial ED dengan tangan di Borgol dan kemudian dimasukan sel tahanan di sekolah, dan mengalami kekerasan fisik (berjalan jongkok di aspal panas sehingga lutut melepuh)," kata Retno.
Pada saat peristiwa tahun 2018, KPAI, KPAD, Kompolnas dan Polres Batam bersama-sama mendatangi lokasi sekolah keesokan harinya.
Saat tiba di sekolah, ternyata ruang sel tahanan di sekolah yang berada di lantai satu sudah di bongkar, bahkan ruangan telah disulap nyaman dengan memasang AC baru juga.
Sebelumnya, Kompolnas juga bertemu Wakapolda Kepri terkait dorongan untuk pemeriksaan terhadap oknum polisi ED (Pembina SPN Dirgantara) dan penegakan disiplin jika terbukti bersalah.
“KPAI mendapatkan keterangan dari Propam Polda Kepulauan Riau bahwa ED kemudian di proses hukum di Pengadilan Negeri dengan pidana 1 tahun penjara dan sanksi etik berupa Demosi atau dipindah tugaskan ke Pulau Natuna,” kata Retno.
Namun, pada Oktober 2021 kasus serupa kembali terjadi dan kali ini korbannya ada 10 peserta didik.
Sepuluh orangtua sempat melapor ke Dinas Pendidikan Provinsi Kepri dan juga membuat pengaduan ke KPAD Kota Batam.
"Pihak Disdik Provinsi Kepri datang ke sekolah dan memerintahkan anak-anak dilepaskan dan dikembalikan ke orangtuanya pada hari itu juga. Hal ini mengindikasi bahwa pihak Dinas Pendidikan Provinsi Kepulauan Riau telah mengetahui pemenjaraan dan kekerasan yang diterima oleh sejumlah peserta didik di SPN Dirgantara. Namun, sama sekali tidak memberikan sanksi pada sekolah sehingga tidak ada efek jera," ujar Retno. (*)