Selasa, 23 September 2025

Pelecehan Seksual di Unsoed

Dekan Fisip Unsoed Setujui Tuntutan Mahasiswa Agar Pelaku Kekerasan Seksual Dikeluarkan Permanen

Guru besar FISIP Unsoed dicabut gelarnya usai terbukti lakukan kekerasan seksual. Kampus tegaskan komitmen ruang aman mahasiswa.

|
Penulis: willy Widianto
Editor: Glery Lazuardi
ISTIMEWA
DEMO MAHASISWA - Mahasiswa FISIP Unsoed menggelar aksi protes di halaman kampus menuntut transparansi dan perlindungan korban kekerasan seksual, Senin (28/7/2025). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman (FISIP UNSOED) Purwokerto, Jawa Tengah melakukan aksi unjuk rasa terkait kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus tersebut dan melibatkan Guru Besar. Mahasiswa menuntut agar pihak kampus memberikan sanksi kepada pelaku. Sanksi yang diberikan berupa mengeluarkan pelaku dari kampus Fisip Unsoed secara permanen.

Tuntutan mahasiswa tersebut akhirnya ditanggapi Dekan Fisip Unsoed, Prof. Dr. Slamet Rosyadi S.Sos, M,si. Kata Prof Slamet pihaknya menyatakan persetujuan penuh terhadap tuntutan mahasiswa tersebut.

"Kemudian menindaklanjuti aspirasi dan tuntutan mahasiswa yang disampaikan melalui forum konsultasi dan aksi moral di kampus, dengan ini kami menyatakan persetujuan penuh terhadap tuntutan untuk mencabut seluruh hak akademik dan administratif pelaku serta mengeluarkan yang bersangkutan dari lingkungan kampus secara permanen," ujar Dekan Fisip Unsoed, Prof. Dr. Slamet Rosyadi S.Sos, M,si dalam pernyataan resminya saat menerima mahasiswa yang melakukan aksi unjuk rasa di Kampus Fisip Unsoed, Purwokerto, Jawa Tengah, Senin(28/7/2025).

FISIP Unsoed lanjut Prof Slamet juga mengecam keras segala bentuk kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus termasuk yang dilakukan oleh oknum dosen atau tenaga pendidik terhadap mahasiswa bergelar profesor.

Berdasarkan laporan data yang diterima dan mempertimbangkan hasil investigasi yang dilakukan pihak terkait FISIP Unsoed lanjut Prof Slamet mengakui adanya pelanggaran berat berupa kekerasan seksual yang dilakukan oleh salah satu dosen FISIP bergelar profesor terhadap salah satu orang mahasiswi. 

"Tindakan ini sebagai bentuk tanggung jawab institusional sekaligus komitmen kampus FISIP Unsoed sebagai ruang yang aman sehat dan bebas dari kekerasan seksual. Selanjutnya proses administratif dan hukum yang dijalankan sesuai ketentuan yang berlaku baik Universitas maupun aturan perundang-undangan termasuk undang-undang nomor 12 tahun 2022 tentang TPKS," kata Prof Slamet.

Kasus kekerasan seksual terhadap mahasiswi terjadi di kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Jawa Tengah. Pelakunya diduga adalah seorang oknum dosen bergelar Profesor dan menyandang gelar Guru Besar.

Informasi yang diperoleh Tribun Guru Besar yang diduga menjadi pelaku kekerasan seksual di kampus FISIP Unsoed Purwokerto sempat menjadi Dosen Jurusan Ilmu Politik lalu pindah ke Komunikasi.

Dosen tersebut merupakan lulusan S3 Institut Pertanian Bogor (IPB) Jurusan Sosiologi dengan spesialisasi komunikasi. Kabarnya terduga pelaku juga baru saja dikukuhkan menjadi guru besar pada tahun 2023 silam.

Kasus kekerasan seksual di kampus Unsoed kerap berulang terjadi sejak tahun 2021 hingga saat ini. Kejadian terjadi di banyak fakultas diantaranya Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Fisip, hingga BEM.

Terkait kasus tersebut pihak Rektorat Unsoed kemudian membentuk Tim 7 untuk melakukan pemeriksaan terhadap saksi, pelapor dan terlapor. 

Ketua Tim 7 Kampus Unsoed, Prof Dr Kuat Puji Prayitno SH M.Hum mengatakan pihaknya ingin secepatnya kasus dugaan kekerasan seksual tersebut cepat tuntas.

Kasus kekerasan seksual terhadap mahasiswi terjadi di kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Jawa Tengah. Pelakunya diduga adalah seorang oknum dosen bergelar Profesor.

Sementara itu, Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (Satgas PPK) Unsoed berharap hasil pemeriksaan yang telah disampaikan dapat menjadi pertimbangan objektif bagi Tim Pemeriksa dalam hal ini Tim 7 Rektorat Unsoed untuk memutuskan sanksi seadil-adilnya.

Hal ini juga menjadi cerminan komitmen institusi dalam mewujudkan kampus sebagai ruang yang aman dan bebas dari kekerasan.

"Kami berharap tim pemeriksa bisa memutus perkara tersebut seadil-adilnya," ujar Ketua Satgas PPK Unsoed, Dr Tri Wuryaningsih M.si.

Satgas PPK Unsoed kata Tri Wuryaningsih sejak awal telah mendampingi korban secara intensif, terutama dalam hal pendampingan psikologis mengingat kondisi korban yang memerlukan perhatian khusus. 

"Korban sendiri juga telah melaporkan kasus ini secara resmi kepada Satgas," ujarnya.

Satgas kemudian telah menindaklanjuti laporan tersebut dengan melakukan klarifikasi terhadap korban, terduga pelaku, serta sejumlah saksi yang relevan.

Tri Wuryaningsih juga mengatakan bahwa pihaknya telah berkonsultasi dengan Sekretariat Jenderal Kemendikti Saintek mengingat kasus ini melibatkan seorang Guru Besar.

"Satgas telah berkonsultasi dengan Sekretariat Jenderal Kemendikti Saintek terkait mekanisme penanganannya, dimana rekomendasi sanksi nantinya akan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku," kata Tri Wuryaningsih.

Seluruh hasil pemeriksaan dari Satgas, lanjut Tri Wuryaningsih Telah diserahkan kepada Tim Pemeriksa Tingkat Universitas atau Tim 7 yang memiliki kewenangan untuk menjatuhkan dan/atau merekomendasikan sanksi sesuai Permendikbud Ristek Nomor 55 Tahun 2024

"Satgas PPK Unsoed berkomitmen agar kasus ini dapat diselesaikan sebaik-baiknya dengan mengutamakan perlindungan terhadap korban, menjamin keberlangsungan studi korban tanpa gangguan, serta menghormati kehendak dan keamanan korban," ujar Tri Wuryaningsih.

Ia juga menyampaikan apresiasi dan  rasa syukur atas besarnya kepedulian dan dukungan sivitas akademika dan masyarakat dalam upaya mewujudkan ruang aman di kampus.

Perkara kekerasan seksual tersebut juga menuai banyak respons. Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudin mengaku prihatin dan geram karena adanya kekerasan seksual di lingkungan kampus yang kekinian terjadi di Universitas Jenderal Soedirman(Unsoed)Purwokerto, Jawa Tengah dengan melibatkan seorang guru besar. 

Kata dia kasus tersebut bukan hanya mencoreng dunia pendidikan di Indonesia tapi juga menunjukkan bahwa relasi kuasa yang timpang antara dosen dan mahasiswa masih sangat rawan disalahgunakan.

"Saya prihatin dan geram atas kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus dan yang terbaru di Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto," ujar Hetifah.

Kekerasan seksual, apalagi di institusi pendidikan lanjut Hetifah adalah pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia. "Dalam konteks kampus, hal ini tidak hanya menyakiti korban secara pribadi, tetapi juga merusak atmosfer akademik yang seharusnya aman dan suportif," ujarnya.

Karena itu lanjut Politikus Partai Golkar ini Komisi X DPR RI bakal mendorong agar Kemendikti Saintek RI segera turun tangan untuk mengawal kasus ini secara serius. Evaluasi internal terhadap tata kelola kampus dan mekanisme pencegahan serta penanganan kekerasan seksual harus dilakukan.

"Saya juga mendorong agar pihak rektorat dan Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (DIKTI) wilayah setempat bertindak cepat dan tidak melindungi pelaku dengan alasan jabatan akademik," ujar Hetifah.

Hetifah juga mengingatkan kembali bahwa kejadian tersebut dapat dibawa ke mekanisme hukum yang bisa digunakan dengan landasan yaitu Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi, serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang mengatur secara tegas pencegahan, penindakan terhadap pelaku, dan pemulihan korban, termasuk dalam konteks relasi kuasa di lingkungan kampus.

"Terakhir, Saya mendorong semua perguruan tinggi untuk tidak ragu menindak tegas pelaku kekerasan seksual tanpa pandang bulu, termasuk jika itu melibatkan pejabat atau guru besar. Budaya diam dan pembiaran harus dihentikan. Pendidikan harus menjadi ruang aman. Komisi X DPR RI siap mengawal penerapan Permendikbud Ristek 30/2021 dan pelaksanaan UU TPKS di lingkungan pendidikan dalam kasus ini," ujarnya.

DPR juga bakal terus memantau kasus kekerasan seksual di Kampus Unsoed tersebut.

“DPR akan terus pantau kasus di Unsoed dan lainnya. Kita perlu meningkatkan komitmen bahwa kasus-kasus serupa harus selesai dengan mekanisme yang disediakan oleh UU TPKS,” ujar Ketua Komisi XIII DPR RI, Willy Aditya.

Menurut Willy, masih berulangnya tindakan kekerasan seksual terjadi di berbagai lingkungan setelah adanya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual(TPKS) tahun 2022 menyisakan pertanyaan tentang keampuhan UU TPKS dalam menangani pidana kekerasan seksual

Hal ini juga tercermin dalam peristiwa yang belakangan marak dengan adanya dugaan kekerasan seksual yang dilakukan seorang guru besar kepada mahasiswanya di Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah.

Willy Aditya mengatakan mekanisme-mekanisme lama penanganan tindak kekerasan seksual semestinya sudah tergantikan dengan mekanisme yang ada dalam UU TPKS yang baru. Sudah tiga tahun UU TPKS ini diberlakukan belum ada satupun pelaku kekerasan seksual yang dijerat dengan UU ini.

“Kasus yang terjadi di Unsoed itu tidak bisa hanya menggunakan Permenristekdikti yang menghukum administratif. Perilaku tidak beradab di lingkungan pendidikan sudah semestinya ditindak sangat tegas dengan UU TPKS. Mau dia guru besar atau tukang parkiran semua sama dihadapan hukum,” ucapnya. 

Willy yang pada tahun 2019-2024 menjadi ketua panitia kerja RUU TPKS menegaskan semangat yang ada di dalam UU TPKS adalah semangat progresif untuk mengentaskan masalah-masalah kekerasan seksual yang begitu kronis di Indonesia. 

Menurutnya UU TPKS ini sudah cukup lengkap dan jelas dalam mengatur bukan hanya menghukum pelaku, perbaikan rasa keadilan bagi korban, bahkan mekanisme hukum acara dan rehabilitasi pun tersedia. 

Karena itu menurutnya peraturan-peraturan lama di kampus dan lingkungan lainnya yang belum merujuk ke UU TPKS harus segera diubah. 

“Menunda-nunda penyelesaian kasus kekerasan seksual ini sama artinya dengan menghukum korban, dan karena itu UU TPKS menempatkan korban sebagai mahkota pengungkapan kasus.Tidak bisa berlama-lama mencari bahan untuk diperiksa sementara pelaku masih berkeliaran. Kampus harusnya menjadi avant garde memajukan peradaban tanpa kekerasan seksual,” ujarnya.

Politisi Partai NasDem yang juga mantan aktivis ini menguraikan walaupun pemerintah hingga hari ini belum mengeluarkan peraturan pelaksana dari UU TPKS menurutnya bukan berarti kasus-kasus kekerasan seksual bisa diselesaikan dengan administratif semata. 

Justru menurutnya perlu bersama-sama mengumpulkan praktik baik berdasarkan penggunaan UU TPKS. Agar dari praktik baik itulah nanti pemerintah dan aparat penegak hukum akan semakin memiliki desakan dan kelengkapan untuk mengeluarkan peraturan pelaksananya. 

“Ketika memimpin pembuatan RUU TPKS berulang kali disampaikan pentingnya kerja kolaboratif dan komitmen itupun ada. Kalau semata-mata hanya menunggu, kita akan memperpanjang barisan korban. Karena itu perlu progresif. Masyarakat menggunakan UU TPKS sebagai dasar laporan, aparat penegak hukum menangani dengan menemukan praktek hukum, demikian juga dengan hakim dan semua pihak terkait,” tegasnya. 

Willy menegaskan dukungannya terhadap kelompok masyarakat, aparat penegak hukum, dan semua pihak yang mau mulai mengumpulkan praktik baik UU TPKS. Menurutnya, hukum atau aturan yang bersumber dari praktik hidup juga perlu menghidupi dirinya di dalam praktik hidup itu sendiri.

“Kalau kesadaran kita untuk mulai bergerak dari titik ke bidang menggunakan UU TPKS ini saya yakin dalam waktu dekat kita akan punya peraturan pelaksana sebagaimana diharapkan. Diujungnya, harapan akan peradaban yang anti kekerasan seksual akan semakin cerah,” tegasnya.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan