Senin, 29 September 2025

Cerita Sri Tempuh Perjalanan Semarang-Jakarta Demi Perjuangkan Hak Guru, Tapi Sidang di MK Ditunda

Guru dari Semarang gugat usia pensiun ke MK, minta disamakan dengan dosen. Ia hadir langsung sidang uji UU Guru & Dosen.

(Kompas.com/Fitria Chusna Farisa)
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) - Sri Hartono, guru SMA dari Semarang, hadir langsung dalam sidang MK terkait gugatan usia pensiun guru agar disamakan dengan dosen. 

TRIBUNNEWS.COM - Seorang guru bersertifikat pendidik, Sri Hartono, mengajukan pengujian Undang-Undang Guru dan Dosen ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Ia meminta agar usia masa pensiun guru yang semula 60 tahun, disamakan dengan masa usia pensiun dosen, yakni 65 tahun.

Perkara itu teregister di MK dalam nomor 99/PUU/XXIII/2025.

Seharusnya, Selasa (5/8/2025) hari, perkara nomor 99 memasuki agenda mendengar keterangan pemerintah dan presiden.

Namun persidangan harus ditunda akibat pemerintah dan DPR belum siap memberikan keterangan.

Sri, hadir langsung dalam persidangan kali ini.

Ia bertolak dari Semarang untuk hadir di persidangan.

Perjalanan dari Semarang ke Jakarta bukan sekadar soal jarak, tapi juga tentang tekad dan pengorbanan.

Dia rela meninggalkan aktivitas belajar dan mengajar di sekolah demi menempuh ratusan kilometer untuk memperjuangkan keadilan di Mahkamah Konstitusi.

Sri Hartono datang sebagai pemohon uji materi, bukan sekadar penonton sidang. 

Ia membawa harapan ribuan guru lain yang merasa diperlakukan tidak adil.

Dia menyisihkan biaya transportasi, akomodasi, dan logistik tentu menjadi beban tersendiri bagi seorang guru.

Setelah menempuh perjalanan jauh, sidang yang seharusnya berlangsung ditunda karena pemerintah belum siap memberikan keterangan.

Kekecewaan itu nyata, tapi Sri tetap hadir dan tegar.

“Saya dari Semarang, yang mulia,” kata Sri.

“Langsung hadir dari Semarang?” tanya Ketua MK Suhartoyo.

“Langsung dari Semarang,” tegas Sri.

Sri, yang merupakan Guru Bahasa Inggris di SMA 15 Semarang ini pun disarankan oleh hakim untuk hadir secara daring via Zoom.

Opsi lain juga diberikan, misalnya dengan Sri menunjuk kuasa prodeo yang berkediaman di Jakarta.

“Sepanjang yang bersangkutan paham hukum acara, tata cara persidangan bisa diberi kuasa. Bapak hadir melalui Zoom, kuasa hadir di sini. Pilihan-pilihan bapak nanti dipertimbangkan,” ujar Suhartoyo.

Dalam persidangan perdana di MK, Selasa (24/6/2025), Sri hadir secara daring.

Ia mendalilkan bahwa ketentuan batas usia pensiun guru yang lebih rendah dibandingkan dosen bertentangan dengan prinsip meritokrasi dalam kebijakan Aparatur Sipil Negara (ASN).

Ia menambahkan, perbedaan tersebut tidak hanya menciptakan ketidakadilan, tetapi juga memicu ketegangan sosial antara profesi guru dan dosen.

Menurutnya, pemensiunan guru pada usia 60 tahun berdampak langsung dan nyata bagi dirinya, baik secara administratif maupun psikologis.

Lebih lanjut, Sri menyoroti fakta bahwa Indonesia saat ini menghadapi kekurangan tenaga pendidik, sebagaimana dilaporkan oleh Kementerian PANRB serta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

Oleh karena itu, pemensiunan guru berpengalaman di usia 60 tahun dinilai bertentangan dengan upaya pemerintah dalam memperkuat kualitas sumber daya manusia di sektor pendidikan.

Sri pun meminta MK menyatakan pasal yang mengatur usia pensiun guru dalam UU Guru dan Dosen bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa usia pensiun guru disamakan dengan dosen, yakni 65 tahun.

Sidang Perkara Nomor 99/PUU/XXIII/2025 

Untuk diketahui, Perkara Mahkamah Konstitusi (MK) dengan nomor 99/PUU/XXIII/2025 adalah pengujian materiil terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, khususnya mengenai batas usia pensiun guru yang ditetapkan pada usia 60 tahun.

Ringkasan Perkara

Pemohon: Sri Hartono, seorang guru bersertifikat pendidik.

Isi Permohonan: Menguji ketentuan usia pensiun guru yang dianggap diskriminatif dibandingkan dosen (yang pensiun di usia 65 tahun).

Alasan Pengujian:

Bertentangan dengan prinsip meritokrasi dalam kebijakan ASN.

Menimbulkan ketidakadilan dan ketegangan sosial antara profesi guru dan dosen.

Bertentangan dengan upaya pemerintah dalam mengatasi kekurangan tenaga pendidik.

Permintaan Pemohon: Agar MK menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai bahwa usia pensiun guru disamakan dengan dosen, yaitu 65 tahun.

Sidang perdana telah digelar pada 24 Juni 2025, dan agenda sidang lanjutan sempat ditunda atas permintaan kuasa Presiden

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan