Difalitera: Membuka Jendela Sastra Menjadi Lebih Setara bagi Teman Netra
Cerita komunitas Difalitera, jadi ruang bagi pencinta sastra bagi teman netra.
Penulis:
timtribunsolo
Editor:
Garudea Prabawati
TRIBUNNEWS.COM - Pemenuhan hak-hak teman netra untuk mendapatkan akses yang inklusif merupakan sebuah keharusan, begitu kurang lebih kata Indah Darmastuti, pendiri komunitas Difalitera.
Komunitas yang mewadahi pencinta sastra, terutama bagi orang dengan tuna netra.
“Literasi itu penting untuk teman-teman supaya mereka juga bisa mengadvokasi dirinya sendiri dan mereka juga berhak mendapat pekerjaan, mereka berhak mendapat kesempatan yang sama,” ungkap Indah Darmastuti (52) ketika diwawancarai Tribunnews.com , Selasa (19/8/2025).
Komunitas Difalitera lahir dari sebuah pemikiran bahwa karya sastra seharusnya bisa dinikmati semua kalangan, tak terkecuali bagi teman netra.
Berfokus pada alih wahana dari teks sastra menjadi format audio, Difalitera membawa misi utama, yaitu membuat karya sastra yang bisa dinikmati teman netra.
Umumnya, karya sastra yang disajikan untuk penikmatnya hanya berbasis tulisan yang kurang ramah bagi teman netra.
Meski beberapa di antaranya menyajikan versi e-book yang dapat dengan mudah dibaca mesin pembaca, tetapi tidak terdapat rasa dan emosi di dalam pembacaannya.
Alih Wahana Teks Sastra untuk Akses Teman Netra
Kehadiran Difalitera menjadi jawaban atas kebutuhan teman netra untuk mengakses karya - karya sastra dalam bentuk audiobook.
Proses tersebut melibatkan kurang lebih empat orang di antaranya, penulis naskah, narator, editor, dan master web.
Indah menjelaskan bahwa nantinya naskah tersebut akan ia berikan kepada narator untuk dinarasikan.
“Narator bisa berubah-ubah, bisa siapa saja. Narator bisa kuminta siapa pun kawan-kawan penulis atau kawan-kawan penyiar radio,” jelasnya.
Setelah sudah dinarasikan, barulah audio tersebut diberikan kepada editor untuk dikakukan proses editing, seperti penambahan musik dan penyempurnaan audio.
Terakhir, audio yang sudah final akan diberikan kepada master web untuk diunggah di laman Difalitera dan bisa diakses siapa saja khususnya teman-teman netra untuk menikmati karya sastra tanpa biaya sepeser pun.
Difalitera Membuka Jalan Teman Netra Membaca Dunia

Selain audiobook, Difalitera juga melaksanakan kegiatan lain seperti Teras Baca dan berkunjung untuk mempelajari tempat-tempat tertentu.
“Aku ke asrama mereka di Jagalan. Nah dari situ aku menawarkan untuk membacakan novel ke mereka,” ujar Indah mengungkap awal mula tercetusnya Teras Baca.
Nantinya, di teras Yayasan Kesejahteraan Anak-anak Buta (YKAB), Indah bersama beberapa relawan akan membacakan karya sastra halaman demi halaman dan jika tidak selesai maka akan dilanjutkan pada pertemuan berikutnya.
Sementara itu, dalam rangka untuk mempertajam orientasi mobilitas teman netra pasca-pandemi Covid-19, Indah berinisiasi untuk membawa teman-teman netra untuk belajar sejarah secara langsung dan berkunjung ke Loji Wetan.
“Aku melihat, mengamati mereka antusias, cara belajar mereka harus seperti itu. Makanya aku melanjutkan,” ujar Indah.
Pada akhirnya, kegiatan tersebut berlanjut hingga mengunjungi tempat-tempat lain, seperti Candi Sukuh, Lokananta, hingga Rumah Atsiri.
Dalam wawancara bersama Tribunnews.com , Indah juga menceritakan mengenai kunjungan Difalitera ke Candi Sukuh yang melibatkan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB).
Indah sudah mengetahui bahwa menyentuh relief candi adalah sesuatu yang dilarang ketika berkunjung ke Candi Sukuh.
“Cara belajarnya teman netra itu kan dengan meraba, jadi mau tidak mau mereka harus meraba relief itu,” tambahnya.
Setelah itu, Indah mengirim surat kepada BPCB hingga akhirnya Difalitera diperbolehkan untuk meraba candi dan justru diberi pemandu khusus.
Berbalut keinginannya untuk membuat teman netra dapat berkembang lebih jauh, pada akhirnya kegiatan tersebut terus dilanjutkan.
“Kalau aku ingin mereka belajar menulis, aku harus menambah kosa kata mereka, aku harus mempertemukan mereka ke sumber pengetahuan itu sendiri,” ungkapnya.
Cerita Teman Netra dan Awal Mula Terbentuknya Difalitera
Wahid Noer Hidayat (26) salah satu teman netra yang ikut aktif dalam kegiatan Difalitera menceritakan pengalaman yang paling berkesan untuknya.
“Ketika kami ke Rumah Atsiri dalam rangka ultahnya Mbak Sanie, temannya Mbak Indah, di sana kita belajar banyak tanaman, aroma-aroma yang biasa dipakai untuk parfum, menurut saya berkesan,” ujar Wahid, Selasa (19/8/2025).
Selain itu, Achmad Yusuf (25) salah satu teman netra yang sudah bergabung sejak awal Difalitera berdiri juga mengaku merasakan banyak manfaat, khususnya lebih dekat dengan sastra dan dapat berorientasi secara langsung untuk mempelajari sejarah.
“Salah satunya aku lebih mengenal novel karena dulu aku tidak mengerti novel. Nah alhamdulillah dengan Difalitera aku bisa kenal novel bahkan dalam bentuk fisik. Selain novel juga puisi aku juga lebih banyak mengeksplor,” ungkap Yusuf, Selasa (19/8/2025).
Difalitera bermula pada acara bincang sastra dengan tema “Sastra dan Disabilitas” yang diadakan oleh komunitas Pawon Sastra di Solo, Jawa Tengah.
Dari acara tersebut, salah satu pembicara, yakni Agata mengungkap kesulitan mengakses sastra yang diaudiokan dengan baik sebab pembaca otomatis tidak memiliki intonasi dan emosi layaknya manusia.
Setelah itu, Indah sempat dihubungi oleh empat mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) yang meminta izin untuk mengaudiokan salah satu buku kumpulan cerpennya.
Sejak saat itu, Indah sadar bahwa kegiatan tersebut menarik untuk dikembangkan hingga pada akhirnya Difalitera terbentuk dan memiliki laman pribadi pada 10 November 2018.
Indah mengungkap, seiring dengan berjalannya waktu dan kelulusan para teman netra, saat ini yang tergabung dengan Difalitera berkisar kurang dari 25 orang.
Pemenuhan Hak-Hak Teman Netra Lebih Utama
Dalam keberjalanannya, Difalitera tidak dibantu secara berkala oleh yayasan atau instansi tertentu, melainkan mengalir dari donasi beberapa teman dan bahkan dari dana pribadi Indah Darmastuti.
Indah mengungkap, ia lebih berharap adanya perhatian terhadap pemenuhan hak-hak teman netra.
“Sebenarnya aku lebih berharap pemerintah memperhatikan hak-hak mereka. Sastra itu untuk alternatif mereka,” tutur Indah.
Lebih lanjut, Indah mengungkap bahwa pemerintah harus peduli dan menyediakan lapangan pekerjaan bagi teman-teman netra dan teman difabel lainnya.
“Peraturan pemerintah memang sudah mengharuskan setiap instansi atau pengusaha untuk menerima satu persen tenaga difabel. Satu persen untuk difabel, artinya bahwa teman netra harus bersaing dengan difabel lain,” ujarnya.
Dalam pernyataanya, Indah menekankan bahwa pemerintah semestinya menjamin hak-hak teman-teman netra.
(mg/Rohmah Tri Nosita)
Penulis adalah peserta magang dari Universitas Sebelas Maret (UNS)
Sumber: TribunSolo.com
Momen Ganjar Pranowo Cium Tangan Seorang Disabilitas yang Ingin Bertemu Mahfud MD |
![]() |
---|
Kisah Ibu Tuna Netra Rawat Putri Cantiknya yang Seorang ODGJ dan Tuna Wicara |
![]() |
---|
Sambangi Pendukung di Bekasi, Ganjar Pranowo Dihadiahi Buku oleh Anak Tuna Netra |
![]() |
---|
Bersama 1.000 Penyandang Disabilitas, Perkumpulan Lions Indonesia Rayakan Ulang Tahun Ke-54 |
![]() |
---|
PLN Berbagi Kebahagiaan dengan Kaum Tuna Netra dan Anak-Anak Panti Asuhan Merekah |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.