Lewat Program ISWMP, Kabupaten Bandung Barat Buktikan Pemilahan Sampah Bisa Dimulai dari Rumah
Di tengah krisis pengelolaan sampah yang kian mendesak, 2 desa di Bandung Barat menunjukkan bahwa perubahan bisa dimulai dari skala terkecil
Editor:
Dodi Esvandi
TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG – Di tengah krisis pengelolaan sampah yang kian mendesak, dua desa di Kabupaten Bandung Barat menunjukkan bahwa perubahan bisa dimulai dari skala terkecil: rumah tangga.
Melalui pendekatan komunitas dan pendampingan intensif, warga Desa Cikahuripan dan Citapen berhasil menerapkan sistem pemilahan sampah yang berdampak nyata hanya dalam dua bulan.
Langkah ini menjadi bagian dari Program ISWMP (Improvement of Solid Waste Management to Support Regional and Metropolitan Cities Project), yang digagas pemerintah pusat bersama Bank Dunia.
Program ini hadir sebagai respons atas ketergantungan penuh Kabupaten Bandung Barat terhadap TPA Sarimukti—fasilitas pembuangan regional yang kini telah melebihi kapasitas dan berada di luar kendali langsung pemerintah kabupaten.
Ketergantungan pada TPA
Kondisi darurat sampah di Bandung Barat bukan sekadar soal volume, tetapi juga soal sistem.
Minimnya fasilitas pemrosesan, lemahnya koordinasi antar lembaga, terbatasnya insentif, dan rendahnya kesadaran warga membuat pendekatan “kumpul-angkut-buang” tak lagi memadai.
Ketika TPA Sarimukti terganggu, distribusi sampah terhenti dan penumpukan terjadi di berbagai titik.
Bupati Jeje Ritchie Ismail menyebut dominasi sampah plastik sebagai tantangan utama.
Namun ia menekankan bahwa masalah ini juga membuka peluang untuk inovasi dan manfaat ekonomi jika dikelola dengan tepat.
Baca juga: Eddy Soeparno Dorong Perbaikan Tata Kelola Sampah dengan Segera: Cegah Banjir Bali Berulang
Bukti Nyata dari Komunitas
RT 02 RW 10 di Desa Cikahuripan dan RT 05 RW 13 di Desa Citapen dipilih sebagai lokasi uji coba karena telah memiliki embrio kegiatan pemilahan dan dukungan tokoh lokal yang kuat.
Sejak awal 2024, kader posyandu, Karang Taruna, dan fasilitator lapangan turun langsung ke rumah warga, mengedukasi soal pemilahan dan komposting.
Hasilnya mencolok. Dalam dua bulan pendampingan (Januari–Februari 2025), jumlah rumah tangga yang memilah meningkat drastis: dari 10 menjadi 46 KK di Cikahuripan (100 persen), dan dari 12 menjadi 60 KK di Citapen (80%).
Pengurangan sampah organik mencapai 49–52 kg per pengangkutan, dan sampah daur ulang berkurang 10–20 kg.
Warga mulai memanfaatkan hasil pilahan untuk kompos atau dijual ke bank sampah dan pengelola maggot.
Infrastruktur dasar seperti ember pilah, spanduk edukasi, dan logbook pencatatan disediakan melalui dukungan program.
Keberhasilan ini tidak lepas dari kolaborasi lintas sektor: DLH, pemerintah desa, Puskesmas, hingga komunitas lokal.
Program menyediakan alat pemilahan, timbangan, spanduk edukasi, dan insentif sosial seperti stiker apresiasi. Semua kegiatan dilakukan berbasis data dan dipantau secara rutin.
Model ini dinilai mudah, murah, dan partisipatif.
Jika direplikasi secara konsisten, pendekatan kawasan seperti ini berpotensi mengurangi beban TPA dan membuka peluang ekonomi sirkular di tingkat komunitas.
Edukasi Tatap Muka: Kunci Perubahan
Salah satu pelajaran penting dari program ini adalah efektivitas pendekatan personal.
Warga lebih responsif terhadap edukasi yang disampaikan langsung oleh figur lokal yang mereka kenal.
Meski tantangan masih ada—seperti keterbatasan lahan dan harapan terhadap insentif material—keberhasilan awal menunjukkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu membutuhkan teknologi tinggi, melainkan kehadiran dan komunikasi yang dekat dengan masyarakat.
Cerita dari Desa Cikahuripan dan Citapen di Kabupaten Bandung Barat menjadi bukti nyata bahwa perubahan dalam pengelolaan sampah yang berkelanjutan bisa dimulai dari skala paling dasar: rumah tangga.
Dalam waktu hanya dua bulan, partisipasi warga dalam memilah sampah meningkat tajam—mencapai 100% di salah satu RT di Cikahuripan dan 80% di salah satu RT di Citapen.
Dampaknya langsung terasa: volume sampah yang sebelumnya menumpuk kini berkurang hingga puluhan kilogram setiap kali pengangkutan dilakukan.
Data menjadi fondasi penting dalam mendorong efektivitas program ini.
Penimbangan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat menghasilkan angka-angka akurat yang sarat makna, terutama ketika dibahas bersama warga.
Namun, data tersebut hanya akan menjadi deretan angka jika tidak diikuti dengan diskusi mendalam antara fasilitator dan warga—tentang ke mana sampah harus disalurkan, siapa saja off-taker yang tersedia di lingkungan sekitar, dan bagaimana logbook sampah bisa dimanfaatkan untuk pengambilan keputusan.
Ketika satu RT saja mampu mengurangi hampir 50 kilogram sampah organik dalam satu kali angkut, potensi dampak yang bisa dihasilkan jika model ini direplikasi di seluruh kawasan sangatlah besar.
Inilah momentum yang tepat untuk memperluas jangkauan, memperkuat dukungan, dan melanjutkan gerakan perubahan—dari rumah ke rumah, dari desa ke desa—hingga menjadi bagian dari budaya kolektif yang peduli terhadap lingkungan.
Momen Gibran Tak Sapa AHY, Wapres juga Lewati Bahlil dan Cak Imin saat Upacara Gelar Militer |
![]() |
---|
Sosok 5 Tokoh Dapat Gelar Jenderal Kehormatan: Menhan Sjafrie hingga Eks Danjen Kopassus Agus Sutomo |
![]() |
---|
Dijabat Jenderal Tandyo Budi Revita, Apa Saja Tugas dan Bagaimana Sejarah Wakil Panglima TNI? |
![]() |
---|
Detik-detik Dedi Mulyadi Temukan Warganya Rebus Ayam Hasil Mungut dari Tempat Sampah |
![]() |
---|
Program ISWMP di TPST Kertamukti Jadi Inovasi Masalah Persampahan di Bekasi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.