Belajar dari Curhatan Wanda Hamidah di IG, Nasabah Asuransi Perlu Pahami 'Pre-Existing Condition'
Dari kasus Wanda Hamidah, nasabah perlu memahami pre-existing condition yang merupakan kondisi kesehatan yang sudah ada sebelum polis berlaku.
Penulis:
Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Baru-baru ini beredar cerita viral selebriti dan mantan anggota DPR Wanda Hamidah yang curhat di media sosial Instagramnya, karena merasa tertipu oleh asuransi Prudential.
Di Instagram Story-nya, dia mengeluhkan rendahnya nilai uang yang bisa dia klaim dan kemudian dibayarkan oleh Asuransi Prudential untuk kebutuhan biaya operasi anaknya.
Nilainya sangat sedikit, hanya Rp 10 juta dari sekitar Rp 50 juta kebutuhan biaya operasi anaknya.
Sementara, yang bersangkutan mengaku sudah menjadi nasabah asuransi Prudential selama 12 tahun dan selama tidak pernah mengajukan klaim/mendapat manfaat pertanggungan.
Padahal ia belum lama ini sudah meningkatkan kualitas perlindungan yang dibayarkannya kepada perusahaan asuransi dengan harapan, nilai manfaat yang akan diterimanya bersama keluarga akan jauh lebih besar.
Baca juga: Agar Tak Alami Hal Seperti Wanda Hamidah, ini Cara Baca Polis Asuransi
Apakah yang sebenarnya terjadi dan apa yang bisa dipelajari dari kejadian ini?
Pada kolom komentar terselip sebuah komentar dari sebuah akun yang memberikan sedikit penjelasan terkait tak sesuainya manfaat asuransi yang diterima oleh anak sang politisi tersebut.
Baca juga: 5 Cara Hindari Penipuan Asuransi agar Tak Menyesal seperti Wanda Hamidah
Diduga, dari kejadian ini terdapat klausul pre-existing condition dalam asuransi. Hal ini menurut akun tersebut memang bisa berujung pada pembatalan perjanjian dan klaim dari perusahaan asuransi.
Apa sebenarnya klausul pre-existing condition dalam asuransi, dan mengapa ia bisa berujung pada pembatalan klaim nasabah?
Pengamat asuransi yang juga dosen program master di MM Universitas Gadjah Mada (UGM) Kapler Marpaung mengatakan, pre-existing condition merupakan kondisi kesehatan yang sudah ada sebelum polis asuransi berlaku.
“Biasanya, pre-existing condition ini menjadi pengecualian perlindungan yang diberikan," ujarnya.
Misalnya jika seorang nasabah telah memiliki penyakit jantung bawaan yang sudah ia derita sebelum membeli polis asuransi.
Lalu saat yang bersangkutan mengajukan Surat Permohonan Asuransi Jiwa atau Asuransi Kesehatan, penyakit bawaan tersebut tidak disampaikan kepada perusahaan asuransi.
"Maka jika setelah polis berlaku dan ia mengajukan klaim atas penyakit jantungnya, klaim tersebut bisa dibatalkan oleh perusahaan asuransi,” kata Kapler kepada media.
Bisa Dihindari
Menurut pria yang juga menjabat sebagai Chairman Wealth Management Standard Board Indonesia (WMSBI) ini, pembatalan klaim akibat dikenakannya klausul pre-existing condition bisa dihindari.
Caranya, dengan memberikan keterangan perihal riwayat kesehatan dan medis si calon nasabah secara terbuka dan transparan.
Terkait cerita viral yang berkembang baru-baru ini yang berujung pada keluhan Wanda Hamidah tadi, menurut Kapler saat nasabah memutuskan membeli polis asuransi kesehatan misalnya, seharusnya ia mengemukakan seluruh data medis yang dia miliki di surat permohonan perlindungan asuransi.
“Agar perusahaan asuransi bisa menentukan atau memutuskan, apakah asuransi akan menerima permohonan itu, atau apakah perusahaan akan menerima dengan sejumlah syarat, atau justru perusahaan asuransi akan menolak," paparnya.

Dengan demikian,jika di belakang hari terjadi klaim tidak akan timbul masalah seputar legalitasnya,” ujarnya.
“Jadi si calon nasabah harus mengemukakan semua riwayat kesehatannya. Keterbukaan harus dilakukan,” imbuhnya.
Kapler juga mengatakan, perusahaan asuransi tertentu bisa saja menetapkan kebijakan agar si nasabah masih bisa mendapatkan program perlindungan yang diberikan.
Ia mencontohkan jika si nasabah ternyata memiliki jejak medis penyakit berat tertentu, perusahaan asuransi bisa saja menyiapkan kontrak dengan klausul bahwa manfaat klaim baru bisa diterima si nasabah setelah melewati periode waktu tertentu setelah polis diterbitkan.
“Ada perusahaan asuransi yang mau menjamin risiko tertentu yang sudah terjadi sebelum polis berlaku," ujarnya.
"Hanya saja klaim baru bisa dilayani setelah dua tahun polis berlaku, misalnya. Atau ada juga yang berlaku setelah tiga tahun polis berjalan. Tergantung jenis penyakit kritisnya,” kata anggota Dewan Penasihat Asosiasi Pialang Asuransi dan Reasuransi Indonesia (ABAI) ini.
Namun demikian klausul yang bisa berujung pada solusi win-win bagi nasabah dan perusahaan asuransi ini, menurut Kapler baru bisa terwujud jika sejak awal telah diterapkan keterbukaan informasi dari nasabah kepada perusahaan asuransi.
“Ini kan semacam itikad baik dari perusahaan dalam memberikan perlindungan asuransi kepada masyarakat,” katanya.
Kapler juga mengatakan, di sisi lain industri asuransi harus mampu memberikan edukasi yang sangat rinci kepada calon nasabah, demi menghindari terjadinya mis-selling.
Berikutnya, Kapler juga mengimbau agar nasabah mau membaca setiap klausul perjanjian asuransi secara seksama, sehingga mereka bisa mengajukan keberatan atau ralat jika terdapat pasal-pasal yang dinilai tidak menguntungkan.
“Yang kurang dipahami betul oleh masyarakat sebagai calon nasabah, mereka itu sebenarnya memiliki masa free look period, atau free look provision," kata dia.
Artinya calon pemegang polis memiliki waktu untuk memeriksa terlebih dahulu polisnya, atau mempelajari kembali, untuk mengambil keputusan final.
"Jika isi klusul polis tersebut dianggap tidak sesuai dari yang diinginkan, polis bisa dibatalkan dan uang premi yang dibayarkan akan dikembalikan,” kata Kapler.
Umumnya periode free look provision ini berdurasi 14 hari sejak calon nasabah menerima polis, dan semua produk asuransi jiwa dan kesehatan menerapkan klausul tersebut sebagai itikad baik dari perusahaan asuransi, agar tak ada prasangka buruk bahwa perusahaan asuransi hanya mengejar target penjualan polis semata.
“Jadi, sebelum membeli polis, pahami produk yang diinginkan. Baca secara seksama pasal-pasal perjanjian dalam polis dan berikan semua keterangan tentang diri pribadi secara transparan dan jujur,"sarannya.
"Agen penjual tidak mengetahui kondisi sebenarnya dari calon nasabahnya, hanya pribadi si calon nasabahnya yang mengetahui,” tandas Kapler.