Ketik BFF di Facebook Uji Keamanan Akun dari Hacker, Ternyata Itu Text Delight Animation
Banyak warganet Indonesia yang memberikan reaksi dengan cara mengetik kata “BFF” di kolom komentar, sesuai dengan ‘petunjuk’ tersebut.
TRIBUNNEWS.COM - Belakangan ini banyak beredar postingan di Facebook tentang cara mengecek kemanan sebuah akun Facebook.
Khusus di Indonesia, postingan tersebut biasanya diisi wajah Donald Trump dan Mark Zuckerberg.
Dalam postingan tersebut tertulis:
“Mark Zuckerberg, CEO Facebook, menemukan kata BFF, untuk memastikan akun anda aman di facebook. Ketika Bff di komentar, Jika terlihat hijau, akun anda dilindungi. Jika tidak muncul dalam warna hijau, ubah kata sandi anda segera karena mungkin diretas oleh seseorang. #copied.”
Postingan tentang cara mengetahui akun kita aman atau tidak dengan mengetik kata 'BFF'.
Segera postingan tersebut menyebar.
Banyak warganet Indonesia yang memberikan reaksi dengan cara mengetik kata “BFF” di kolom komentar, sesuai dengan ‘petunjuk’ tersebut.
Hasilnya, ada yang teks “BFF”-nya memang berwarna hijau, ada pula yang tetap berwarna hitam.
Lalu, benarkah cara tersebut mampu membuktikan aman tidaknya sebuah akun Facebook?
Faktanya itu adalah berita palsu, alias hoax.
Itu hanyalah fitur Facebook yang disebut Text Delight yang secara otomatis mengubah warna kata “BFF” yang kita tulis di Facebook menjadi hijau.
Tidak ada hubungannya dengan aman atau tidaknya akun Facebook kita.
Lalu, mengapa ada beberapa akun yang warnanya berubah menjadi hijau, adapula yang tetap berwarna hitam?
Lagi-lagi itu bukan soal faktor aman atau tidaknya akun Anda.
Penyebabnya hanyalah Anda sudah meng-update aplikasi Facebook atau browser Anda atau belum.
Jika belum, ya, kemungkinan besar fitur Text Delight tidak bisa Anda nikmati.
Dengan kata lain kata “BFF” tidak akan berubah menjadi hijau.
Soal fitur Text Delight di Facebook, sebenarnya tidak hanya kata “BFF” yang berubah warna ketika kita mengetiknya di Facebook.
Coba saja kata “Rad”, “LMAO”, “Thank You So Much”,“Congratulations” (bisa juga hanya “Congrats”), atau kata “You Got This”.
Inilah Mahasiswa di balik Geger Skandal Pembocoran Data Facebook
Nama Christopher Wylie (28), atau akrab disapa Wylie, mendadak ramai dibicarakan di media massa.
Wylie adalah whistleblower alias pembisik, atau lebih tepatnya pembocor skandal pencurian data personal pengguna Facebook oleh firma analisis data, Cambridge Analytica, bekas tempatnya bekerja.
Ia diketahui mulai bekerja di Cambridge Analytica pada tahun 2014. Berkat bakat briliannya dalam pemrograman dan ilmu data, ia didapuk sebagai kepala peneliti Cambridge Analytica.
Sebelumnya, Wylie bekerja untuk Alexander Nix, di Strategic Communication Laboratories (SCL), yang merupakan lembaga spesialis pemilu.
Pada pertengahan 2013, Wylie bertemu dengan Steve Bannon, editor BreitBart News Networking yang kemudian menjadi CEO tim kampanye Donald Trump pada pemilu Amerika Serikat (AS) tahun 2016.
Bannon juga sempat menjabat sebagai konselor senior Presiden Trump. Bannon, yang tengah menyiapkan kampanye Donald Trump kala itu, menjadi target Nix.
Nix sadar betul jika Bannon merepresentasikan dirinya sebagai orang intelektual, sehingga Nix merasa perlu merepresentasikan lembaganya seperti Bannon.
Ia kemudian membuat kantor palsu di Cambridge, mendatangkan rombongan dari London setiap Bannon berkunjung, demi mengesankan Bannon jika lembaga mereka beroperasi berlandaskan akademisi.
Lalu kantor itulah yang kemudian menjadi markas Cambridge Analytica.
Dalam sebuah wawancara dengan The Guardian, Wylie mengaku bertemu dengan Robert Mercer bersama Bannon dan Nix.
Wylie mengaku jika Bannon merayu Robert Mercer, salah satu miliarder AS, untuk mau berinvestasi.
Mercer adalah salah satu tokoh kunci pada kampanye yang menyerukan Inggris agar keluar dari Uni Eropa atau British Exit ( Brexit) yang terjadi pada tahun 2016.
Ia pun menjadi salah satu tokoh sayap kanan di AS yang mendukung Trump dalam kontestasi pemilu AS.
Pertemuan tersebut membuahkan hasil suntikan dana 15 juta dollar (sekitar Rp 206 miliar) untuk Cambridge Analytica.
Cara Cambridge Analytica mendapat data pengguna Facebook
Tahun 2014, Wylie bertemu dengan Aleksandr Kogan di Universitas Cambridge. Kogan menawarkan cara tercepat, termurah, dan berkualitas untuk memanen data pengguna Facebook.
Kepada Wylie, ia mengaku memiliki aplikasi bernama "thisisyourdigitallife" di Facebook.
Aplikasi ini bisa memberikan akses khusus, bukan hanya sekadar dari data pengguna dalam aplikasi tersebut, tetapi juga jaringan teman para pengguna aplikasi.
"Gampangnya, jika Anda menggunakan aplikasi tersebut, Saya tidak hanya akan bisa melihat profil Anda saja, tapi juga teman-teman Facebook Anda", jelas Wylie seperti dilansir dari The Guardian, Jumat (23/3/2018).
Kogan diketahui pernah mengirim e-mail kepada Wylie tentang sifat-sifat personal para pengguna Facebook yang bisa diprediksi melalui aplikasi.
Aplikasi buatan Global Science Research tempat Kogan bekerja, memang kerap menyuguhkan survei tentang kepribadian yang tersebar di Facebook.
Pengguna aplikasi ini secara tidak sadar menyerahkan dengan sukarela data personal mereka, apa yang mereka sukai, di mana mereka tinggal, serta siapa saja teman mereka.
Bahkan, Wylie menuturkan, aplikasi tersebut bisa merangsek ke pesan pribadi di Facebook, meski ia tak tahu apakah Cambridge Analytica juga mengakses pesan pribadi atau tidak.
"Kami hanya perlu menyentuh ratusan ribu akun orang, lalu menyebarkannya lebih luas ke seluruh wilayah AS", ungkap Wylie.
Memang, aplikasi Kogan hanya diunduh 270.000 pengguna Facebook, namun dampaknya hingga puluhan juta data pengguna.
Wylie menambahkan hanya perlu dua hingga tiga bulan untuk memanen 50 hingga 60 juta data pengguna.
Memanfaatkan psikologi untuk mempengaruhi pemilih Wylie sempat berujar, jika dirinya telah membuat senjata perang psikologi untuk Steve Bannon.
Menurutnya, Steve sangat ambisius karena dirinya meyakini untuk mengubah politik, harus mengubah dulu budayanya, karena politik mengalir dalam budaya.
Lantas untuk mengubah budaya, maka ubahlah masyarakatnya.
"Jika Anda ingin mengubah masyarakat, hancurkan dulu. Setelahnya, kumpulkan pecahan tersebut menjadi masyarakat baru sesuai visi Anda", imbuh mahasiswa PhD jurusan fashion trend forecasting ini.
Wylie kemudian merancang Psychological Operation (Psyop), sebuah operasi untuk menyampaikan informasi tertentu, mempengaruhi emosi audiens, memotivasi dan memberikan alasan objektif.
Untuk menjajaki pemilih, mereka mengumpulkan data banyak orang untuk membangun profil psikologisnya.
"Kami menargetkan mereka bukan sebagai pemilih, namun sebagai personal politik", jelas Wylie.
Setelahnya, tim kreatif, desainer, videografer, dan fotografer membuat konten yang akan dikirim ke target-dalam hal ini adalah para calon pemilih- yang disebar ke internet.
Menciptakan situs, blog, dan konten apapun, selama target bisa mudah mencarinya, mengkliknya, lalu membiarkan mereka masuk semakin dalam ke konstruksi yang dibangun melalui psikologi.
Wylie pun menjelaskan jika cara ini berbeda dengan cara konservatif dengan narasi di depan umum.
"Anda bisa membisikkan ke setiap telinga target, bahkan membisikkan hal berbeda dari satu target ke target yang lainnya. Kami mengambil risiko untuk mem-framing masyarakat", imbuh Wylie.
(Kompas.com/Intisari-Online.com)